Kamis, 26 Maret 2015

Pelajaran Berduka dari Tetangga

Pelajaran Berduka dari Tetangga

Raisa Annisa  ;  Kandidat Master in Public Policy, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore
JAWA POS, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SAAT ini rakyat negara tetangga kita, Singapura, sedang berduka. Mantan Perdana Menteri sekaligus founding father mereka meninggal. Semua berduka. Keluarga, rekan kerja, penduduk pada umumnya, hingga saya dan rekan-rekan warga asing yang menumpang di jiran ini merasa begitu kehilangan. Encik Lee Kuan Yew –begitu sapaan warga keturunan Melayu kepada beliau– sudah lama menderita pneumonia dan mengembuskan napas terakhir pada Senin, 23 Maret 2015, pukul 03.18. Sama dengan kebijakan-kebijakannya selagi beliau hidup, kabar sakitnya Lee Kuan Yew (LKY) menjadi sorotan tidak hanya di level regional, tetapi juga internasional. Bahkan, beberapa waktu terakhir banyak kabar berembus, termasuk di Indonesia, bahwa beliau sudah meninggal. Cukup banyak spekulasi tentang hidup LKY, bahkan hingga waktu-waktu terakhirnya. Kantor Perdana Menteri Singapura bahkan membawa satu kasus kebohongan berita kematian LKY ke kepolisian negara.

Sebagai negara tetangga, kehidupan dan kebijakan-kebijakan LKY tidak bisa lepas dari pandangan mata Indonesia. Berdasar data Singapore Tourism Board, 2013, jumlah turis Indonesia menduduki posisi pertama pengunjung Negeri Singa ini. Singapura sudah seperti provinsi ke-35 dari Indonesia karena banyaknya orang Indonesia yang datang ke sini. Masih berdasar survei STB, alasan para turis negara kita datang untuk melihat tiga hal; clean, efficient, and modern city. Hal yang mungkin sulit kita dapatkan di kota-kota besar di negara kita.

Jika kita melihat sejarah, Singapura tidak ada bedanya dengan ibu kota negara kita pada tahun-tahun 50-an hingga awal 80-an. Sebagai wilayah jajahan Inggris saat itu, Singapura masih dianggap negara dunia ketiga dengan masalah-masalahnya, misalnya kemacetan, kepadatan penduduk, penyakit menular, dan kemiskinan. Keadaan mulai berubah ketika LKY menjadi perdana menteri bertangan dingin yang berambisi membawa negeri dunia ketiga ini menjadi kelas pertama (from third world to first class). Sebagai warga Singapura berpendidikan Inggris dan terlatih sebagai pengacara, LKY mendirikan PAP (People Action Party) berjuang untuk rakyat Singapura lepas dari jajahan Inggris dan berkeinginan kuat untuk menjadi bagian dari federasi Malaysia saat itu. Sayangnya, keinginan itu ditepis oleh Malaysia yang beralasan Singapura didominasi oleh etnis Tionghoa. Sejak itu, LKY ingin membuktikan banyak hal kepada Malaysia dan kepada dunia. Dua hal yang selalu dia tekankan kepada rakyat Singapura adalah untuk bekerja keras, dan patuh kepada hukum. Hal itu membuat Singapura dikenal dengan disiplin dan meritokrasinya hingga sekarang. Terlepas dari kebijakan-kebijakannya yang masih kontroversial, tidak bisa dimungkiri bahwa apa yang kita lihat di Singapura sekarang adalah jerih payah LKY yang dengan kepemimpinannya bisa membawa Singapura menjadi dianggap dan disegani oleh dunia.

Lalu, apa dampaknya kepergian LKY di Indonesia? Seperti yang digambarkan di banyak media, LKY dikenal dekat dengan Soeharto. Terence Lee Chek Liang dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) menggambarkan hubungan bilateral Indonesia-Singapura selama Orde Baru merupakan titik balik dari antipati rezim Soekarno menjadi kawan baik di rezim Soeharto. Kedua kawan akrab itu mungkin sudah berreuni kembali di alam yang lain, melihat dari jauh peninggalan mereka yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Namun, apa yang dirasakan saat kepergian Soeharto di Indonesia sangat berbeda dengan kepergian LKY di Singapura. Reformasi pada 1998 berhasil menggulingkan rezimnya dan serta-merta membuat sebagian rakyat murka. Meskipun beberapa tahun setelahnya muncul ide kreatifnya orang Indonesia yang membuat meme Soeharto dengan komentar ’’Piye...penak zamanku tho?’’ (Bagaimana… enak zamanku kan?) yang menggambarkan keinginan kembali ke masa lalu karena melihat demokrasi yang kebablasan.

Hikmah yang bisa kita ambil dari keadaan berduka itu adalah, pertama, bagaimana LKY begitu dicintai rakyatnya. Di negeri sekuler itu, begitu banyak doa dan harapan mendoakan beliau lekas sembuh dan diberi kesempatan berada di perayaan SG50, Ulang Tahun ke-50 Singapura. Beribu doa datang dari anak-anak lewat karya-karya penuh ucapan doa, juga dari media sosial yang tidak terputus. Berbeda sekali dengan komentar-komentar saat kepergian Soeharto pada masa itu. Yang lebih mudah ditemukan adalah sumpah serapah bahwa Soeharto sulit meninggal karena banyak dosa, banyak utang, atau ucapan-ucapan lain yang menunjukkan bahwa rakyat sudah tidak lagi menghargai mantan pemimpinnya.

Kedua, dari kepergian LKY di Singapura, kita bisa belajar bagaimana rakyat bisa menghargai pemimpin. Singapura tidak punya apa-apa pada awalnya. Bahkan, air saja harus mengimpor dari Malaysia. LKY membawa Singapura kepada keadaan yang sekarang dan rakyat berterima kasih untuk itu. Jika ada yang bilang LKY berbeda dengan Soeharto, tentu rasanya kurang tepat. Pada masa kekuasaan LKY, kebijakan land acquisition act (LAA) membuat rakyat ’’harus rela’’ menyerahkan tanah, peternakan, dan berpindah ke rumah susun (HDB). Oposisi dan gerakan sosialis ditentang, demi menciptakan stabilitas ekonomi. Para perokok dikucilkan, pembuang sampah sembarangan diberi sanksi sosial, peminum alkohol disulitkan dengan harga jual yang mahal. Integrasi rasial ’’dipaksakan’’ dengan kebijakan ethnic integration policy yang membatasi kuota rasial di perumahan umum (HDB) mereka.Rakyat Singapura juga tidak bisa ’’bebas’’ berekspresi dan berkumpul. Banyak hal yang dikorbankan dan kelompok yang menderita. Tidak sedikit kritik keras atas kepemimpinan LKY. Tetapi, ketika LKY pergi, pada akhirnya mereka sadar bahwa itu dilakukan pemimpinnya juga untuk kebaikan mereka.

Dari momen tetangga yang berduka, mari kita merefleksi tentang bagaimana dengan cara kita memperlakukan pemimpin. Rasa-rasanya ketika Pemimpin kita masih ada dan hingga akhir hayatnya, kita belum mencerminkan nilai-nilai yang ada di bangsa ini. Contohnya, saat ini. Ketika dua kubu berseberangan, pendukung kandidat presiden masih saja perang mulut di media sosial. Sumpah serapah, kata-kata karma, kualat, dan ’’apakah sudah menyesal pilih Jokowi?’’ rasanya bisa menjadi kata kunci pencarian komentar pada berita-berita yang minim data dan sensasional hanya pada judulnya. Cukup sulit mencari komentar dan berita positif tanpa bumbu yang benar-benar objektif dalam menilai kinerja pemerintah dan pemimpin kita.

Pepatah bijak mengatakan ’’rumput tetangga selalu lebih hijau’’, yang diartikan tidak perlulah membanding-bandingkan, karena kelihatannya negara lain lebih makmur. Apalagi, Singapura negara kecil, tidak seperti Indonesia yang besar dan beragam. Tetapi, mungkin kita lupa bahwa supaya bisa tahu seberapa jauh kita berlari, kita tidak bisa hanya mengukur diri sendiri. Kita harus punya pembanding. Untuk itu, pembanding yang paling mudah adalah tetangga kita. Singapura dengan segala pencapaiannya sudah jauh meninggalkan tetangga-tetangganya di Asia Tenggara. Dalam pidatonya, Perdana Menteri Lee Hsien Loong yang juga anak kandung LKY mengatakan, meskipun LKY sudah tiada, Singapura harus tetap semangat, meneruskan perjuangannya. Mereka berduka, namun tetap melihat ke depan untuk bangsanya, terutama di usia emas tahun ini. Lalu, apakah kita sebagai tetangga masih akan terus stagnan menghadapi dunia karena terlalu banyak mengurusi urusan dalam rumah tangga? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar