Jumat, 27 Maret 2015

Perlukah Perppu Anti-ISIS?

Perlukah Perppu Anti-ISIS?

Sidratahta Mukhtar  ;  Dosen tetap Ilmu Politik dan Keamanan Internasional
FISIPOL UKI; Penulis buku “Militer dan Demokrasi” juga “Politik Islam dalam Dunia yang Berubah” (2015)
SINAR HARAPAN, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Tampaknya pemerintah mulai resah menghadapi ancaman ISIS yang berkembang pesat di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir. Dalam sejarahnya, ISIS yang dideklarasikan Al Bagdadi, lahir dari situasi krisis dan instabilitas politik dan agama di Timur Tengah.

Ketika gelombang demokrasi sampai ke Suriah, berkecambahlah berbagai kelompok oposisi; sebagian murni merupakan gerakan pro demokrasi. Lebih banyak lagi adalah kelompok-kelompok militan-radikal dengan semangat sektarianisme keagamaan.

Ketika mendeklarasikan berdirinya “Negara Islam” itu, dengan cepat ISIS memiliki pendukung di Indonesia. Berbagai jaringan dan sel-sel terorisme yang berserakan mulai menemukan momentum baru untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatannya, setelah negara (Polri, BNPT, dan lembaga antiteror lainnya) mulai menghadapinya, baik dengan pendekatan lunak maupun dengan pendekatan keras.

Menariknya, di tengah pemerintah memperkuat peran dan langkah-langkah dalam penanggulangan terorisme, pendukung dan anggota ISIS mengalami peningkatan. Bila pada 2014 diperkirakan baru sekitar 60 orang, dengan propaganda politik kekerasan yang mereka lakukan, kini jumlahnya sudah meningkat drastis menjadi lebih dari 600 orang.

Saat ini pemerintah ingin mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menghadapi maraknya warga Indonesia yang memilih bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Tampaknya pemerintah memandang migrasi dan keberangkatan warga Indonesia ke Irak dan Suriah beberapa waktu lalu, menjadi dasar pertimbangan pemerintah; bahwa hal itu sudah dikategorikan kegentingan dan situasi yang dipandang perlu untuk membuat Perppu Anti-ISIS.

Pahadal, mestinya pemerintah memaksimalkan kekuatan nasional dan lembaga-lembaga pemerintah terkait, untuk menghadapi gelombang warga negara yang pindah dan bergabung dengan ISIS. Memang, harus diakui gerakan dan internasionalisasi lembaga ISIS sangat cepat, baik dengan menggunakan jaringan Al-Qaeda atau sel-sel terorisme di kawasan dan dunia yang sudah ada; maupun dengan potensi dunia maya seperti media sosial, media massa, juga jaringan internasional dan nasional yang tersedia.

Sebenarnya, pemerintah memiliki semua potensi strategis dan taktis, dalam menanggulangi ancaman ISIS dan perkembangan terorisme baru (new terrorism) di Tanah Air. Masalahnya, pemerintah kurang dapat mensinergiskan dan menyingkronkan berbagai potensi yang ada.

Artinya, peran badan keamanan seperti Densus 88 Polri, BNPT, dan BIN belum memadai untuk menghadapi ancaman terorisme ISIS. Oleh karena implementasi peran dan kerja pemerintah kurang mampu menandingi pertumbuhan ISIS dalam dua tahun terakhir di Indonesia, pemerintah perlu memberdayaan potensi strategis keamanan nasional dari unsur TNI, pemerintah daerah, dan kementerian-kementerian terkait lainnya.

Pendekatan Keamanan Komprehensif

Salah satu pendekatan pertahanan dan keamanan yang masih problematis di Indonesia saat ini adalah belum adanya strategi, pola, dan sistem keamanan yang dapat menyinergiskan peran serta tugas semua instrumen keamanan nasional. Menghadapi ancaman perang asimetrik yang terjadi seperti ISIS, tidak mungkin dapat diatasi dengan komprehensif tanpa kerja sama dan koordinasi antaraktor dan lembaga keamanan nasional.

Masalahnya, RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang dirancang untuk sinergi dan koordinasi tak kunjung rampung, setelah lebih dari satu dasawarsa dibahas dalam program legislasi nasional. Indonesia mengalami semacam ketakutan menyusun regulasi yang berbau “pendekatan politik keamanan”, sebab pada masa lalu UU Antisubversi yang berlaku pada zaman Orde Baru, digunakan untuk menjerat aktivis dan tokoh politik radikal, yang ketika kita memasuki era demokratisasi dikategorikan sebagai kebijakan yang melanggar HAM dan diskriminasi terhadap warga negara.

Namun, yang dapat dijadikan model adalah negara seperti AS dan beberapa negara di Eropa yang membuat regulasi antiterorisme yang menyerupai UU antisubversi, dan ternyata efektif dalam menghadapi ancaman terorisme di tingkat domestik. Dalam konteks pemerintah ingin membuat Perppu Anti-ISIS itu, mungkin lebih baik dilanjutkan pembahasan RUU Kamnas agar menyempurnakan UU tentang Polri dan TNI yang ada dalam kerangka sistem keamanan yang komprehensif ke depan.

Untuk menghadapi ISIS yang mendapat dukungan yang cukup besar dari jaringan kelompok fundamentalisme di Indonesia, perlu dilakukan dialog dan pendekatan kemanusiaan kepada mereka. Asas praduga tak bersalah perlu dikedepankan, agar menimbulkan respek dan kepercayaan terhadap pemerintah saat ini. Peningkatan kepercayaan terhadap pemerintah dapat mengurangi harapan, dukungan, dan loyalitas pada ISIS.

Meskipun berbagai potensi terorisme dan fundamentalisme yang berkembang di Indonesia saat ini dikategorikan sebagai basis terorisme agama (religious terrorism), terdapat faktor-faktor yang memberikan ruang bagi pilihan dan harapan masyarakat pada ISIS; yakni adanya ketidakpastian politik, sosial dan ekonomi, serta ketidakpastian hukum.

Bila pemerintah dan masyarakat sipil dapat mengatasi secara bersama masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, konflik sosial, dan korupsi, dengan sendirinya akan muncul public trust yang memberi peluang bagi dukungan publik dan harapan terhadap peran negara, dalam membangun masyarakat dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu terburu-buru membuat kebijakan Perppu Anti-ISIS. Pemerintahan kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla saat ini perlu memaksimalkan perannya dalam mengatasi masalah-masalah sosial, pembangunan, dan kesejahteraan bangsa yang pada akhirnya akan memberikan efek positif dan konstruktif pada perubahan orientasi masyarakat yang menolak ancaman ISIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar