Kamis, 26 Maret 2015

Perpanjangan MoU RI-Freeport : Mencari Titik Ekuilibrium

Perpanjangan MoU RI-Freeport :

Mencari Titik Ekuilibrium

Ichsan Montang  ;  Mahasiswa Commercial & Company Law,
Erasmus University Rotterdam
DETIKNEWS, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kutipan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas ramai diperbincangkan orang mengingat pada akhir Januari 2015 pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperpanjang negosiasi kontrak karya dengan Freeport untuk jangka waktu enam bulan ke depan.

Permasalahan utama antara pemerintah dan Freeport terletak pada pengimplementasian Pasal 170 juncto Pasal 103 (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) di mana setiap pemegang kontrak karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan, yaitu 12 Januari 2014.

Pengolahan dan pemurnian hasil tambang dilakukan melalui suatu pabrik smelter. Untuk membangun pabrik smelter tidaklah mudah, selain membutuhkan investasi sangat tinggi sebuah smelter wajib memiliki sarana dan prasarana memadai seperti ketersediaan listrik, bahan baku, dan lahan luas.

Pemerintah secara tersirat memahami bahwa terdapat permasalahan dalam pembangunan smelter dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No.1 tahun 2014 (“Permen 1/2014”). Berdasarkan peraturan ini, tidak semua perusahaan pertambangan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di Indonesia. Pemerintah membatasi bahwa hanya perusahaan tambang dengan bahan tambang kadar tertentu, yang wajib melakukan pengolahan hasil tambang di Indonesia. Hal ini merupakan suatu kemunduran dari semangat UU Minerba, yang sebelumnya mewajibkan seluruh pemegang izin usaha pertambangan dan kontrak karya melakukan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia.

Berdasarkan Permen 1/2014, Freeport diwajibkan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia. Freeport menyatakan bahwa sampai dengan 12 Januari 2014 mereka belum sanggup untuk membangun smelter akan tetapi berjanji untuk terus mengupayakan pembangunan. Setelah negosiasi alot maka pemerintah dan Freeport membuat nota kesepahaman/MoU untuk memberikan Freeport izin ekspor mineral mentah dalam jangka waktu Juli 2014-Januari 2015 dengan syarat Freeport wajib membangun pabrik smelter di Indonesia.

Menjelang berakhirnya periode MoU pada akhir Januari, Freeport belum membangun smelter tetapi telah bernegosiasi dengan PT Petrokimia Gresik untuk menyewa lahan di Gresik guna dijadikan smelter. Permasalahan pun muncul ketika pemerintah dan DPR bersikeras agar Freeport membangun smelter di Papua.

Lalu apakah perpanjangan MoU ini sudah tepat? Secara hukum tidak tepat, karena Freeport tidak mematuhi peraturan pertambangan yang berlaku dengan belum membangun smelter. Akan tetapi, tindakan pemerintah dapat dibenarkan karena apabila MoU tidak diperpanjang maka izin ekspor Freeport pun akan dicabut, akibatnya Freeport akan mengurangi jumlah produksi dan dampak luasnya adalah kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja dengan karyawan yang mayoritas berkewarganegaraan Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia mencoba berupaya untuk tetap menyelamatkan nasib pekerja Indonesia di Freeport.

Penulis berpendapat bahwa untuk menciptakan win-win solution antara pemerintah dan Freeport, maka dapat ditempuh langkah-langkah berikut:

Pertama, pemerintah memberikan klausul tegas dalam perpanjangan MoU bahwa Freeport wajib melakukan tindakan konkrit pembangunan smelter, seperti: pembayaran uang sewa lahan, pembelian bahan baku pembangunan smelter dan memberikan uang jaminan pembangunan smelter. Apabila tidak ada langkah konkrit dalam jangka waktu MoU, maka izin ekspor Freeport akan dicabut.

Kedua, pemerintah membebaskan Freeport untuk membangun smelter di mana pun asalkan tetap di wilayah Indonesia mengingat tidak ada dasar hukum yang mewajibkan Freeport untuk membangun pabrik smelter di Papua. Lokasi pembangunan smelter murni semata-mata keputusan bisnis Freeport.

Ketiga, apabila pemerintah tetap menuntut pembangunan smelter di Papua, maka pemerintah wajib membantu Freeport dalam pembangunan smelter, seperti dengan cara menjamin bahwa biaya sewa lahan untuk smelter di Papua setidaknya sama dengan uang sewa yang ditawarkan oleh PT Petrokimia Gresik, memudahkan perizinan terkait pembangunan smelter, serta menjamin ketersediaan listrik dan air selama masa pembangunan smelter dan selama smelter beroperasi di Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar