Jumat, 27 Maret 2015

Polemik Hak Angket DPR

Polemik Hak Angket DPR

Gun Gun Heryanto  ;  Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
REPUBLIKA, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Para politisi DPR, terutama Koalisi Merah Putih (KMP), kini kembali menggulirkan bola panas pada masa persidangan ketiga. Mereka menginisiasi hak angket yang ditunjukkan untuk pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang telah mengeluarkan keputusan mengakui kepengurusan Partai Golkar Agung Laksono.

Inisiatif ini kemudian dibingkai dalam guliran isu intervensi pemerintah pada urusan internal partai politik dan dirangkai dengan kejadian sebelumnya, yakni sikap pemerintah saat mengakui kepengurusan Romahurmiziy di PPP. Inisiatif untuk menggulirkan hak angket melahirkan pro-kontra soal argumentasi yang menjadi sandarannya.

Putusan Menteri Hukum dan HAM merujuk pada keputusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang ditafsiri memenangkan munas versi kubu Agung. Pengakuan Kemenkumham ini disandarkan pada Pasal 32 Ayat 2 Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2011 bahwa penyelesaian perselisihan internal parpol dilakukan melalui Mahkamah Partai.

Pada Pasal 5 UU tersebut juga dinyatakan putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Kubu Aburizal Bakrie (ARB) pun merujuk pada UU yang sama, bedanya yang digunakan adalah Pasal 24 UU No 2 Tahun 2011. Menurut mereka, Kemenkumham tak boleh mengesahkan kepengurusan parpol yang baru selama konflik internal belum selesai. Argumennya, mereka masih akan memproses gugatan baru di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Seluruh polemik soal kepengurusan Golkar versi siapa yang diakui pemerintah, sebenarnya adalah urusan menyangkut elite parpol. Bagaimana para politisi di Golkar bertarung serta mengelola konflik untuk menyikapi urusan internal mereka sendiri. Situasi semacam inilah yang oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya, Relating Dialogues and Dialectics (1996), digambarkan dapat menghadirkan dialektika relasional. Akan muncul silang-sengketa dan beragam argumen berbeda ke ruang publik guna memperkuat posisi politik masing-masing.

Terlalu berlebihan jika DPR mengangkat isu ini menjadi hak angket para wakil rakyat di Senayan. Benarkah hak yang akan digulirkan ini bersentuhan dengan kepentingan masyarakat secara luas? Ada kekhawatiran kegaduhan yang diciptakan dari hak angket inilah yang diharapkan para politisi agar menjadi tekanan psikologis dan politis bagi pemerintah sehingga bisa menaikkan daya tawar mereka.

Jika merujuk ke Pasal 79 UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), hak angket didefinisikan sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Makna hak angket di atas tidak sinkron dengan maksud yang sedang digagas sejumlah kalangan di DPR terkait keputusan Menkumham dalam kasus Golkar.

Ketidaksinkronan khususnya terkait aspek kepentingan publik yang berdampak luas karena ini hanya berdampak pada kubu yang berselisih di parpol. Dalam perspektif lebih luas, justru hak angket ini akan mereduksi kepentingan strategis masyarakat luas dengan kepentingan sekelompok politisi.

Jika pun keputusan Kemenkumham tendensius ke salah satu kubu dan dianggap keliru, saluran penyelesaiannya adalah di internal partai atau legal standing di pengadilan, bukan melalui hak angket DPR. Periode pemerintahan Jokowi-JK ini berada di era terbuka, jika pun pemerintah intervensi sejumlah parpol dan melakukannya secara eksesif, pelan tapi pasti pemerintah sedang bunuh diri politik.

Meniup gelembung politik (bubble politic) merupakan modus lama bekerjanya pengonstruksian realitas politik para politisi DPR. Tindakan ini dirancang secara sadar dan terorganisasi guna memengaruhi persepsi khalayak sehingga intersubjektivitas yang dibangun antarsesama masyarakat bisa dibentuk atau dimanipulasi sesuai keinginan politisi.

Sebagian besar politisi sangat paham bahwa hal dominan dalam politik adalah persepsi publik sehingga beragam operasi untuk mengendalikan opini menjadi sangat penting. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka "The Agenda Setting Function of Mass Media" yang dipublikasikan Public Opiniom Quarterly (1972) mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Perspektif agenda setting memandang media massa bisa membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting.

Sejumlah politisi yang menjadi inisiator hak angket Kemenkumham secara demonstratif mengangkat istilah "begal politik", abuse of power, dan lain-lain ke permukaan. Mereka menginisiasi hak angket di DPR dan menabuh "genderang perang" untuk orang di lingkar istana, seperti Yasonna Laoly.

Tekanan semacam ini biasanya untuk dua kepentingan sekaligus. Pertama, negosiasi jangka pendek, yakni perubahan sikap pemerintah menyangkut kepengurusan yang diakui. Kedua, delegitimasi kekuasaan dengan memperbanyak isu yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintah. Di tengah tekanan inilah, para politisi kerap membuka ruang lobi dan negosiasi sehingga kerap mewujudkan zona nyama kekuasaan.

Seharusnya, DPR lebih fokus pada optimalisasi fungsi-fungsi DPR, baik dalam kontrol, anggaran maupun legislasi. Pemanfaatan seluruh hak-hak mereka juga diarahkan pada sebesar-besarnya kepentingan publik. Sering kali, efek dari permainan para politisi ini menyebabkan retrogresi politik, yakni pemburukan dan penurunan kualitas politik yang diakibatkan gejala masing-masing elemen politis, termasuk parpol bekerja hanya untuk mendapatkan akses kekuasaan.

Karena itulah, publik harus kritis menyikapi hak angket yang digulirkan politisi di DPR maupun sikap pemerintah. Publik bersikap dengan panduan rasionalitas, bukan dengan isu yang dicangkokkan para politisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar