Senin, 30 Maret 2015

Rambu-rambu Interpretasi UU

Rambu-rambu Interpretasi UU

Adi Andojo Soetjipto  ;  Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
KOMPAS, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Judul tulisan di atas menunjukkan bahwa apabila seorang hakim akan melakukan interpretasi terhadap undang-undang, dia tidak boleh bersandar pada pendapat pribadinya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum mengenai jenis dan rambu-rambu ini ditulis secara panjang lebar dan dijadikan pegangan buku bagi pakar-pakar hukum secara luas. Adalah hal yang berbeda antara menemukan hukum dan menginterpretasikan undang-undang.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hakim sebagai penegak hukum dan penegak keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ini berarti bahwa hakim harus bisa mengenali, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Menemukan hukum sama dengan menciptakan hukum. Di sini jelas bahwa hakim mempunyai tugas ”menemukan hukum” (rechtsvinding). Dari istilah ”menemukan”, ”menggali”, dan ”menciptakan” dalam Pasal 27 UU tersebut kiranya jelas apabila terdapat kekosongan UU. Kalau tidak ada kekosongan, hakim tidak boleh menciptakan hukum semau-maunya.

Beda dengan menginterpretasikan UU. Hukumnya sudah ada dan diatur oleh UU itu. Dalam menginterpretasikan UU ada rambu-rambu yang mengikat hakim agar tidak melampauibatas yang diizinkan (batas-batas ultima atau ultiemegrenzen). Ia mesti dari pengertian hukum itu sendiri dan selalu menjaga agar actieradius-nya tidak terlalu jauh sehingga kepastian hukumnya dikorbankan.

Jadi, hakim tidak bisa seenaknya melewati batas kemungkinannya untuk sebuah UU itu diinterpretasi. Hakim di negeri ini sebenarnya hidup dalam negara, di mana peraturan perundangannya sudah diatur dengan sempurna. Jadi, mereka tinggal menerapkan kepastian hukumnya karena itu ia sudah terjamin.

Terikat ”aturan main”

Akan tetapi, hakim di Indonesia tidak boleh puas menjadi hakim apabila hanya menjadi ”corong undang-undang”. ”La bouche de la lois,” kata Monstesqieue. Jadi, hakim tidak boleh sekadar melaksanakan ”schablonen arbeit”, hakim itu harus otonom.

Menginterpretasikan UU, seperti kita tahu, harus berpegang pada ”interpretatie instrumentarium”, seperti argumentum a contratio dan argumentum fortiori. Hakim dalam mengadakan interpretasi harus selalu menjunjung tinggi dan tetap terikat pada ”aturan main” berdasarkan asas yang telah ditentukan dalam ilmu pengetahuan hukum. Sebutlah seperti (1) asas proporsionalitas (dalam melakukan interpretasi harus mempertimbangkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan) serta (2) asas subsidiaritas (dalam melakukan interpretasi harus dihasilkan pemecahan yang tidak menimbulkan kerugian besar).

Hakim dalam melakukan interpretasi selalu harus mempertimbangkan keseimbangan antara (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) cara yang digunakan, dan (3) hasilnya tidak akan menimbulkan gejolak yang bisa meresahkan masyarakat ataupun menimbulkan reaksi yang hebat dari masyarakat.

Setelah membaca tulisan di atas, kiranya para pembaca dapat menilai mengenai putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara gugatan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar