Kamis, 26 Maret 2015

Sengkarut Konflik Parpol

Sengkarut Konflik Parpol

Refly Harun  ;  Ahli Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Partai politik di negeri ini seperti istana pasir. Sedikit angin menerpa, partai sudah pecah. Tak peduli partai muda atau partai paling tua, semua terbelah.

Partai Demokrasi Indonesia – kini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan -- pernah pecah. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga pecah. Partai Golongan Karya (Golkar) pun ikut pecah. Hukum kerap tak mampu merestorasi mesin partai yang sudah terbelah.

PPP dan Golkar kini tertatih-tatih menanti penyelesaian konflik. Sebagian nasib mereka ditentukan campur tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Menkumham punya stempel negara yang bisa mengesahkan salah satu kubu yang bertikai. Tidak untungnya, sang menteri berasal dari partai seberang, yang sangat mungkin punya agenda berbeda.

Mahkamah Partai

Pembentuk UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) paham betul bagaimana pentingnya menyelesaikan sengketa parpol, terutama sengketa kepengurusan. Itulah sebabnya diintroduksi mahkamah parpol untuk menyelesaikan segala rupa sengketa parpol secara internal, termasuk sengketa kepengurusan.

Mekanisme penyelesaian mahkamah parpol menggeser mekanisme sebelumnya yang diatur dalam UU 2/2008. Mekanisme terdahulu menyatakan bahwa penyelesaian sengketa parpol dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Bila tidak tercapai, tersedia dua pilihan penyelesaian, melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

Jalan pengadilan ditempuh dengan mengajukan perkara kepada pengadilan negeri, yang harus memutus dalam jangka waktu 60 hari. Bila tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri, hanya tersedia upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA harus menyelesaikan dalam tenggat waktu 30 hari. Alhasil, dalam rentang 90 hari (3 bulan) perkara sudah akan selesai.

Jalan di luar pengadilan dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Rekonsiliasi adalah cara penyelesaian yang mengandalkan kesadaran para pihak yang berselisih untuk merekatkan kembali perbedaan-perbedaan yang timbul sehingga menyatu kembali. Jalan ini tidak mudah karena semata-mata mengandalkan kesadaran pihak yang berperkara. Itulah sebabnya dikenalkan juga jalan mediasi.

Penyelesaian dengan cara mediasi mengandalkan peran seorang penengah (mediator). Mediator sekaligus menjadi seorang negosiator, yang menegosiasikan jalan pemecahan kepada kedua belah pihak. Keputusan akhir tetap berada pada masing-masing pihak yang bertikai. Tanpa penerimaan kedua belah pihak terhadap jalan penyelesaian yang ditawarkan, tak akan ada islah.

Menyadari kelemahan tersebut, UU 2/2008 mengenalkan pula pola arbitrase. Dalam pola ini, kesepakatan para pihak berada di awal, yaitu ketika bersepakat menunjuk seorang arbiter (pengadil). Setelah ditunjuk atas kesepakatan kedua belah pihak yang bertikai, arbiter akan bertindak sebagai hakim untuk memproses dan memutuskan kasus. Apa pun putusan arbiter seyogianya ditaati karena sang arbiter telah ditunjuk berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Faktanya, di bawah rezim UU 2/2008, konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berlarut-larut hingga hampir menggagalkan kepesertaan partai tersebut dalam Pemilu 2009. Hal ini karena konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid terjadi menjelang Pemilu 2009. Hingga pendaftaran dan pengundian nomor urut partai, belum ada putusan pengadilan atau kesepakatan dari dua kubu yang berselisih.

Hanya ‘kebaikan’ Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebabkan PKB bisa ikut Pemilu 2009 meski mendaftar dengan kepengurusan terbelah. Saat itu, sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebelum ada keputusan atas konflik kepengurusan, yang diakui adalah yang tercatat di Kemenkumham. Yang tercatat di Kemenkumham kebetulan Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Yenny sebagai Sekretaris Jenderal.

Ujung dari kemelut PKB tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah kemenangan kubu Muhaimin melalui jalan pengadilan. Muncul juga suara tak sedap saat itu bahwa kemenangan kubu Muhaimin karena intervensi istana. Kebetulan kubu Muhaimin mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Konflik PKB yang berlarut-larut itulah yang menggerakkan perubahan parsial UU 2/2008 menjadi UU 2/2011 dengan mengintroduksi keberadaan mahkamah partai. Mahkamah partai diharapkan menjadi jalur cepat untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan parpol, yang sudah menjadi bahaya laten bagi partai apa pun. Tak peduli partai besar, menengah, ataupun partai yang baru berdiri.

Jalan mahkamah berbeda dengan jalan rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase yang lebih mengandalkan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai. Jalan mahkamah adalah jalan ‘pemaksaan’. Suka atau tidak, pihak yang berselisih harus melalui jalan mahkamah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas konflik Golkar, yang menitahkan jalan mahkamah terlebih dulu dalam penyelesaian sengketa internal, sudah sangat benar. Mahkamah parpol dibayangkan sebagai jalan akhir sehingga putusannya dikatakan 'final dan mengikat'.

Nyatanya, saat dua konflik terjadi, dalam internal PPP dan Golkar, mahkamah parpol tak mampu menyelesaikan misi sucinya. Sebagian karena campur tangan kekuasaan, yang menyebabkan konflik harus menempuh jalan panjang berliku untuk sampai pada penyelesaian akhir. Sebagian lagi karena problem mahkamah partai itu sendiri.

Tanpa Mayoritas

Dalam sengketa Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, putusan mahkamah partai mencuatkan interpretasi berbeda justru dari para anggota mahkamah sendiri. Profesor Muladi, sang ketua mahkamah partai, menyatakan tidak ada putusan yang memenangkan salah satu kubu. Bersama Muladi, ikut pula mantan hakim konstitusi, HAS Natabaya. Dua anggota mahkamah partai lainnya, Andi Matalatta dan Djasrin Marin, bersikukuh bahwa putusan mahkamah partai memenangkan kubu Agung Laksono.

Saya mencoba membaca putusan Mahkamah Partai Golkar. Sungguh, putusan tidak jelas, tidak lazim. Tidak ada pendapat mayoritas dalam putusan tersebut. Empat hakim terbelah dua. Dua memenangkan kubu Agung Laksono (Andi Matalatta dan Djasrin Marin). Dua orang lagi (Muladi dan HAS Natabaya) tidak memenangkan kubu Agung Laksono, tetapi tidak pula kubu Aburizal Bakrie.

Pada titik ini, interpretasi atas putusan pun bisa terbelah. Mereka yang mendukung Aburizal Bakrie akan dengan cepat mengatakan tak ada putusan yang dibuat mahkamah partai. Dengan demikian, penyelesaian konflik akan disandarkan pada proses di pengadilan negeri (tingkat pertama) dan MA (tingkat kasasi). Untuk itu kubu Aburizal telah mengajukan gugatan ke pengadilan pascaputusan mahkamah partai.

Bagi yang pro terhadap Agung Laksono, akan dengan cepat pula menyatakan bahwa putusan mahkamah partai telah memenangkan Agung Laksono. Setidaknya, skor pertandingan menjadi dua untuk Agung Laksono, nol untuk Aburizal, dan dua tidak untuk keduanya (abstain). Pendapat ini diperkuat dengan argumen sahih bahwa mahkamah partai harus sampai pada putusan, seberat apa pun itu. Tidak mungkin sebuah mahkamah tidak memutuskan.

Argumentasi bahwa mahkamah parpol harus dapat memutuskan tersebut memang dapat dibenarkan. Lazimnya dalam putusan sebuah mahkamah, perkara bisa dinyatakan tidak dapat diterima (karena syarat-syarat permohonan tidak terpenuhi), ditolak (karena dalil pemohon tidak terbukti), atau dikabulkan (karena dalil pemohon dibenarkan). Soalnya, mana yang mau dijadikan putusan, karena tidak ada suara mayoritas.

Tidak heran bila pendukung Aburizal dan Agung Laksono terus ribut soal ‘cara benar’ memahami putusan mahkamah partai. Keributan bertambah-tambah karena Menkumham Yasonna Laoly sudah memberikan lampu hijau kepada kubu Agung Laksono.

Pesan moral dari semua ini adalah, percekcokan, sengketa, konflik, atau apa pun namanya yang melanda suatu parpol sebaiknya diselesaikan oleh parpol itu sendiri. Dibutuhkan jiwa besar untuk mau mengalah demi kemenangan bersama. Bila tidak, jangan salahkan pihak lain yang berkepentingan mengintervensi penyelesaian konflik internal tersebut. Politik sering bukan soal benar dan salah, tetapi menang dan kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar