Kamis, 26 Maret 2015

Sulitnya Mendapatkan Kepastian Hukum

Sulitnya Mendapatkan Kepastian Hukum

Asril Sutan Marajo  ;  Ketua Jogja Police Watch (JPW)
SUARA MERDEKA, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PUTUSAN hakim Sapin Rizaldi menyangkut praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan pada Febuari lalu itu mengakibatkan apa yang disebut  Efek Sarpin (Sarpin Effect). Sejak itu pula beberapa tersangka kasus korupsi mengajukan gugatan peradilan, yang kemudian menyebabkan kekhawatiran di masyarakat dan pegiat antikorupsi terhadap pelemahan upaya pemberantasan korupsi.

Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri (PN) untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah dijalankan penegak hukum di Indonesia.

Praperadilan memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan. Upaya ini bisa dilakukan atas permintaan tersangka/keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan. Selain itu, memeriksa dan memutus perkara tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan/ penuntutan. Upaya ini bisa dilakukan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.

Menyangkut hal apa saja yang bisa dimintakan praperadilan, secara limitatif sudah diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Namun ada hal lain yang bisa diajukan, yaitu tentang tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP. Termasuk penahanan tanpa alasan atau penahanan lebih lama dari pidana yang dijatuhkan (penjelasan Pasal 95 Ayat 1 KUHAP).

Bukan Kewenangannya

Sebenarnya,sebelum putusan Sarpin yang kontroversial itu, ada beberapa putusan praperadilan yang bukan kewenangannya. Hanya kasus itu tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan heboh. Misalnya putusan PN Kupang NTT nomor 01/Pid.Pra/2012/PN.KPG yang memenangkan gugatan praperadilan tersangka penyelundupan pakaian bekas tanpa dokumen dari Timor Leste menuju Flores Indonesia, tahun 2012, dan putusan PN Sumbawa Besar (NTB) dalam perkara praperadilan nomor 01/Pid.Pra/2011/PN.SBB.

Contoh putusan yang juga kontroversial dilakukan hakim PN Jakarta Pusat, Supraja, melalui putusan nomor 04/Pid.Prap/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 2 November 2010, yang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bengkulu, Muspani.

Dalam putusannya, Supraja, selaku hakim tunggal, memerintah kejaksaan segera melimpahkan perkara atas nama tersangka Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin. Hakim itu juga memerintah KPK menggunakan peran supervisinya untuk mengambil alih perkara bila kejaksaan tak kunjung melimpahkan perkara, terkait kasus penyimpangan anggaran Rp 39 miliar yang disangkakan kepada Agusrin sejak 2006 itu.

Dalam konteks penegakan hukum, putusan hakim Supraja tergolong ”unik” karena materi yang dimintakan praperadilan di luar dari substansi Pasal 77 KUHAP, yakni keberlarut-larutan penanganan perkara bukan termasuk objek praperadilan.  Namun beberapa pengamat berpendapat, putusan itu bisa menjadi terobosan demi kepastian hukum sesuai hukum progresif Prof Satjipto Rahardjo.

Apalagi putusan itu dilaksanakan oleh Kejagung.

Tidak banyak komentar yang berarti atas putusan Supraja, bahkan karier hakim itu menanjak. Sayang, putusan hakim itu tidak menjadi yurisprudensi dalam penegakan hukum. Publik bisa melihatnya pada langkah PWI Cabang Yogyakarta dan Jogja Police Watch (JPW) menggugat praperadilan atas upaya Polri yang tidak signifikan mengungkap tewasnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin selama 18 tahun. Gugatan yang diajukan berturut-turut tahun 2013 dan 2014 dinyatakan nee bis in ideem oleh PN Sleman.

Sudah banyak pihak mendesak MA, sebagai institusi yang membawahi peradilan, untuk segera bersikap. Paling tidak menyangkut yurisprudensi berkait putusan hakim Sarpin dan Supraja. Putusan Sarpin telah dimentahkan oleh putusan hakim PN Purwokerto, Kristanto Sahat (SM, 11/3/15), dan putusan praperadilan PN Sleman yang tak sejalan dengan putusan hakim Supraja. Padahal yurisprudensi bisa menjadi  salah satu sumber hukum ketika tidak ada sumber lain (seperti UU) yang mengatur.

Dalam memutus suatu perkara, hakim dianggap sebagai orang yang tahu hukum (ius curia novit) sehingga tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Persoalan muncul ketika hakim tidak menemukan dasar putusannya itu dalam undang-undang, atau undang-undang mengaturnya secara tekstual namun penerapannya oleh hakim tersebut bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Pasal 28 Ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang  diperbarui dengan UU Nomor 38 Tahun 2009 memberi peluang kepada hakim untuk menemukan hukum sendiri melalui ijtihad. Hasil ijtihad dalam wujud putusan ini akan dinilai oleh MA, dan semestinya jadi rujukan bagi hakim lain yang mengadili perkara serupa (yurisprudensi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar