Jumat, 27 Maret 2015

Teladan Diplomasi ala Lee

Teladan Diplomasi ala Lee

Hendra Kurniawan  ;  Dosen Pendidikan Sejarah; Juru Bicara Lingkar Studi Dosen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SETELAH sekian lama berjuang melawan penyakit pneumonia akut yang dideritanya, pendiri sekaligus perdana menteri (PM) pertama Singapura, Lee Kuan Yew, berpulang. Ia wafat pada hari Senin (23/3) dini hari dalam usia 91 tahun.

Perdana Menteri Hsien Loong telah mengumumkan masa berkabung nasional selama 7 hari untuk menghormati mendiang ayahandanya itu yaang rencananya dimakamkan pada Minggu (29/3). Wafatnya Lee menjadi kehilangan besar tidak hanya bagi Singapura tapi juga dunia. Bapak Singapura itu adalah tokoh besar yang banyak memberi sumbangsih bagi perkembangan negara- negara di Asia, khususnya Asia Tenggara, melalui ASEAN.

Lee sosok pembawa damai yang turut berjuang dalam upaya penggabungan Singapura dengan Malaysia tahun 1963. Namun perbedaan kondisi sosial memaksa Singapura memisahkan diri dari Negara Federasi Malaysia.

Pada 9 Agustus 1965, Singapura berdiri sendiri sebagai negara berdaulat di bawah kepemimpinan Lee. Lee menyadari bahwa Singapura tak memiliki wilayah dan potensi alam memadai. Tapi selama 31 tahun menjabat PM, ia berhasil membawa kemajuan bagi negaranya, yang kemudian berhasil menempatkan diri sebagai negara yang berpengaruh dalam bidang ekonomi.

Ia menyulap Singapura dari kota pelabuhan kumuh dan berlumpur menjadi kota raya yang molek dan kaya. Didukung rakyat dan pemerintahannya yang dinamis perekonomian negara itu maju pesat. Singapura dihuni warga multiras, seperti keturunan India, Sri Lanka, Tionghoa, dan Melayu.

Namun lewat politik budaya multikultural yang dianut, mereka berhasil menunjukkan identitas diri sebagai kesatuan bangsa. Sebagai negara tetangga, hubungan kita dengan Singapura tidak selalu harmonis. Pada masa awal berdirinya, Singapura menghadapi konflik dengan Indonesia berkait kasus Usman-Harun.

Dua personel Korps Komando Operasi/ KKO (kini Korps Marinir) TNI AL itu dijatuhi hukuman mati oleh Singapura setelah tertangkap saat menjalankan misi komando Ganyang Malaysia. Presiden Soeharto mengajukan permohonan agar Usman-Harun tidak dihukum mati namun pemerintah Singapura di bawah Lee tetap bersikukuh pada keputusannya.

Dua prajurit itu tetap harus menjalani hukuman gantung di Penjara Changi pada 17 Oktober 1968. Jasad keduanya dikembalikan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Dua tahun kemudian, Lee berkunjung ke Indonesia, bahkan ia bersedia memenuhi permintaan Soeharto untuk meletakkan sendiri karangan bunga di makam Usman dan Harun.

Artinya, Singapura bersedia mengakui penghormatan yang diberikan oleh Indonesia terhadap dua pahlawan bangsa itu. Sejak itu hubungan Indonesia dengan Singapura membaik. Bahkan Lee memiliki hubungan personal dengan Soeharto hingga masa tua mereka. Kebetulan keduanya juga memiliki kesamaan gaya kepemimpinan.

Menjadi Teladan

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Lee dalam upaya diplomatiknya bisa menaruh hormat dan menjaga perasaan negara tetangga. Meskipun pernah berkonflik yang merugikan negaranya, Lee tetap optimistis menjalin hubungan bilateral dan persaudaraan yang baik dengan Indonesia. Pemerintah kita pun tetap menghargai kedaulatan Singapura atas hukuman mati yang dijatuhkan. Sebaliknya Singapura melalui Lee juga menghargai negara kita dengan bersedia berziarah ke makam Usman dan Harun. Sikap Lee kiranya bisa menjadi teladan para pemimpin negara saat ini.

Taruhlah persoalan diplomasi antara Indonesia dan Australia yang berulang kali mencapai titik didih. Dari masalah penyadapan pembicaraan telepon oleh Australia hingga persoalan eksekusi mati yang dijatuhkan oleh Indonesia terhadap warga Australia yang jadi pengedar narkotika. Kemunculan kasus penyadapan jelas menunjukkan hilangnya etika dalam hubungan bertetangga.

Penolakan hukuman mati juga semestinya bisa dilakukan tanpa harus melukai kedaulatan hukum negara lain. Dengan demikian persoalan diplomasi kedua negara tidak perlu sampai ke ranah publik. Kerendahan hati Lee memberikan warisan berharga bagi keterciptaan hubungan antarnegara yang harmonis dan saling menghormati.

Hubungan bilateral antarnegara merupakan hal penting dan turut menentukan kemajuan suatu negara. Dalam dunia yang makin global tidak akan ada negara yang bisa hidup sendiri. Masyarakat berharap teladan diplomasi ala Lee terus menginspirasi bagi keterciptaan dunia yang lebih damai. Selamat jalan Sang Inspirator!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar