Kamis, 30 April 2015

Hari ini Dua Puluh Tahun yang Lalu

HARI INI DUA PULUH DUA TAHUN YANG LALU
HARI YANG AKU NANTI
     KINI TELAH HADIR BERSAMAKU DI SINI
KEDUA TANGANNYA MEMEGANG KEDUA TANGANKU
KEDUA MATANYA MENATAP KEDUA MATAKU                          
IA TERSENYUM
     LALU MASUK MENEMBUS JANTUNGKU
          SAMBIL BERBISIK “HAPPY BIRTHDAY DYAH AYU”

TIBA-TIBA AKU MERASA SEMUA MATA TERTUJU PADAKU
     MEREKA MENYAPA DAN MENAGIH JANJIKU
     “HAI, PAKABAR DYAH AYU?  AKU RINDU PADA JANJIMU”

SEKETIKA AKU TERJAGA DARI MIMPIKU
MIMPI UNTUK MERAIH CITA-CITAKU
MIMPI UNTUK MEMELIHARA IBADAHKU
MIMPI UNTUK MERAJUT CINTAKU
DAN MIMPI-MIMPI LAIN YANG TERPENDAM DALAM LUBUK HATIKU

MIMPI-MIMPI ITULAH YANG BELAKANGAN INI SELALU MENGGANGGU TIDURKU

ENTAH BERAPA KALI AKU MENCOBA MEMBUNUH MEREKA
     DENGAN BELAJARKU, DENGAN SHOLATKU, DENGAN KETEKUNANKU
TETAPI SEKIAN KALI PULA MEREKA MENERTAWAIKU
     LALU MENCIBIR “PERCUMA SAJA, DYAH AYU”

HARI INI, SEKALI LAGI
     AKU BERJANJI PADA DIRIKU
          MENITI SEBUAH JALAN BARU    
          MENATAP LANGIT MASA DEPAN BARU
NOW YOU MUST BE THE WINNER, UNLESS YOU WILL BE THE LOSER...FOREVER

HARI INI DUA PULUH DUA TAHUN YANG LALU
     ORANG BILANG AKU KELUAR DARI RAHIM MAMAKU
AKU MENANGIS
     ORANG-ORANG DI SEKITAR GEMPAR MENYAMBUT KEHADIRANKU
ORANG BILANG AKU LAHIR SEBELUM MAMA MEMBAWAKU
     KE SEBUAH RUMAH SAKIT DI KOTAKU 

HARI INI
     AKU INGIN MERENUNG
          MENYAKSIKAN KEMBALI KISAH PERJALANAN HIDUPKU
               YANG BISA MEMBUATKU TERSENYUM
               BISA PULA MEMAKSAKU MENITIKKAN AIR MATA 

HARI INI
     AKU INGIN MELUPAKAN SEMUANYA
     YANG KUINGIN HANYALAH MENRAKTIR KAMU-KAMU
MAU NONTON ATAU MAKAN-MAKAN, ITU UP TO YOU

IJINKANLAH PADA HARI SPESIALKU INI
     AKU MEMBAGI SEPOTONG KUE KEBAHAGIAANKU PADAMU


                                                                                                                            2016


Buruh dan Korporasi Global

Buruh dan Korporasi Global

Rekson Silaban  ;  Direktur Indonesia Labor Institute
KOMPAS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memperingati Hari Buruh Dunia 1 Mei, wadah konfederasi serikat buruh dunia (ITUC) menyampaikan pesan end greedy corporate, mengakhiri keserakahan korporasi. Pesan ini dipilih sebagai respons ITUC atas memburuknya perilaku bisnis korporasi multinasional (KM) di seluruh dunia. Jajak pendapat yang disiarkan ITUC menghadirkan fakta tentang keserakahan KM yang hanya fokus pada profit, tanpa mengindahkan hak pekerja dan lingkungan. Saat ini 60 persen produk global diproduksi perusahaan rantai pemasok global KM. Mereka memilih menggunakan subkontraktor dengan pekerja kontrak untuk terus mereduksi biaya upah dan biaya produksi. Taktik ini dilakukan untuk meminimalkan berbagai hambatan hukum dengan mengalihkannya menjadi tanggung jawab perusahaan lain. Kekuatan KM terus membesar.

Dari hasil jajak pendapat itu juga ditemukan fakta tentang menurunnya kedaulatan negara akibat tekanan KM. Banyak pemerintah lebih mendengar lobi KM ketimbang partai politik atau suara rakyat. Fakta tentang terus membesarnya kekuatan finansial KM berbanding terbalik dengan situasi ketenagakerjaan dengan pertumbuhan eskalasi pekerja kontrak, tingginya penganggur kaum muda, dan meluasnya pekerja informal. Itulah bukti yang tidak bisa dibantah sistem ekonomi global saat ini berlangsung dengan tidak adil. Sudah saatnya itu harus diakhiri.

Kelemahan utama sistem ekonomi saat ini adalah terciptanya sistem persaingan yang membuat negara-negara saling berlomba mendapatkan investasi KM dengan menawarkan syarat minimal dan syarat kerja fleksibel. Akibatnya, abad ke-21 ini terancam berjalan dengan perlombaan ke arah dehumanisasi. Padahal, Deklarasi Philadelphia saat pendirian ILO pada 1919 secara tegas menyatakan bahwa buruh bukan barang komoditas. Buruh seharusnya subyek, bukan obyek, bisnis. Perdagangan buruh ke negara lain seharusnya dihentikan. Buruh bebas bekerja di luar negeri. Namun, biarlah karena keinginannya sendiri, bukan karena keterpaksaan akibat kemiskinan dan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja.

Komitmen Presiden Joko Widodo menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) secara bertahap layak didukung. Menyambut 70 tahun usia kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan momentum menjadikan Indonesia negeri yang lebih beradab. Sebab, apabila dilihat fakta, hanya negara-negara miskin yang mau memperdagangkan rakyatnya. Tiongkok dan India yang memiliki penduduk besar tidak memiliki program perdagangan migran ke luar negeri dan Indonesia bukanlah negara miskin. Rakyat Indonesia miskin karena pengelolaan yang buruk.

Komitmen Philadelphia di atas memudar sejalan dengan tingginya tensi kompetisi ekonomi dan tiadanya kerangka kerja ekonomi global mencegah kecenderungan negatif tersebut terus berlangsung. Bank Dunia sendiri ikut mendorong agar negara-negara terus memperbaiki regulasi pasar kerja dengan terus melakukan efisiensi biaya-biaya buruh. Ini akan membuat pemerintah terus mengadopsi sistem pengupahan biaya rendah karena dalam laporan tahunannya, yang dikenal dengan Doing Business Report, selalu disajikan peringkat negara dengan indikator kesulitan dan kemudahan berbisnis.

Indikator yang kontroversial

Dengan kata lain, pemerintah dibagi dalam dua kategori: berkebijaksanaan yang bersahabat dengan buruh versus berkebijaksanaan yang bersahabat dengan bisnis. Peringkat itulah yang selalu menjadi rujukan pebisnis di seluruh dunia apabila ingin memulai investasi di sebuah negara.

Indikator regulasi pasar kerja yang dibuat sebenarnya kontroversian karena membuat penilaian atas dasar kemudahan melakukan bisnis, termasuk kemudahan melakukan rekrutmen dan PHK. Semakin mudah biaya merekrut dan PHK, maka semakin baiklah peringkat negara tersebut. Itulah sebabnya Indonesia dikategorikan dalam peringkat proburuh karena dianggap banyak memberikan perlindungan hukum kepada buruh, khususnya besaran pesangon dan lamanya proses PHK. Padahal, analisis itu hanya didasarkan pada apa yang tertulis di undang-undang, bukan berdasarkan realitas. Sebab, dalam kenyataannya, buruh Indonesia sangat mudah di-PHK, bahkan dengan sewenang-menang, mayoritas tidak mendapat pesangon sesuai dengan UU. Namun, realitas ini tidak jadi bagian analisis laporan Bank Dunia.

Sementara itu, serikat buruh juga mengalami penurunan pengaruh karena berhadapan dengan berbagai kontradiksi eksternal di atas. Secara tradisional, lawan buruh adalah kapitalis serakah, tetapi saat ini wajah kapitalis berwujud dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang dalam UU prokapitalis hasil pesanan mereka bersembunyi dalam kebijakan pemerintahan liberalis, berlindung pada partai politik, bersekongkol dengan perusahaan lokal, dan sebagainya sehingga serikat buruh tidak berhadapan dengan satu entitas, tetapi dengan lawan yang beragam, samar, dan target yang selalu bergerak (relokasi usaha, pengalihan kapital).

Peta pertarungan juga bergeser dari lokal ke global. Serikat buruh diharuskan melakukan kerja sama global untuk mengimbangi pengaruh KM. Beberapa inisiatif global sudah berjalan, seperti kesepakatan kerangka kerja internasional (IFA) antara serikat buruh internasional dan perusahaan KM; kesepakatan antara pembuat sepatu sport internasional dengan serikat buruh garmen dan tekstil; panduan berbisnis untuk KM yang disepakati di ILO; standar operasi bisnis IFC (anak perusahaan Bank Dunia) untuk lingkungan dan sosial.

Aksi internasional

Beberapa upaya internasional sudah dilakukan untuk mengontrol pengaruh KM, mulai dari yang bersifat kode etik sampai dengan yang bersifat mengikat. Namun, itu dirasakan belum mangkus karena mekanismenya yang rumit dan tidak pasti. Yang sudah lama ada adalah panduan operasi KM yang dibuat kelompok kerja sama negara-negara industri maju (OECD). Panduan ini memiliki mekanisme komplain ke negara asal KM, tetapi dengan syarat negara di mana KM beroperasi harus mendirikan wadah kontak nasional. Badan inilah yang bertugas mengajukan gugatan apabila ada KM yang merugikan hak buruh dan lingkungan.

Untuk bisa berjalan, badan ini harus didirikan pemerintah dengan melibatkan unsur tripartit. Untuk Indonesia, badan ini sangat perlu karena bisa dimanfaatkan untuk mengejar pengusaha asing yang banyak kabur meninggalkan kewajibannya. Kasus kaburnya pengusaha sudah banyak terjadi tanpa upaya internasional. Buruh biasanya mengadu ke Disnaker atau DPRD, tetapi tidak ada hasil. Kasus terbaru adalah kaburnya perusahaan T Yee Wo dari Batam pada Januari 2015 dengan meninggalkan utang kepada 308 buruh. Tahun lalu pengusaha PT Mutiara Mitra Busana Apparelindo di Jakarta Utara kabur meninggalkan 458 buruh. Padahal, perusahaan ini memproduksi merek pakaian dari KM terkenal (Tommy Hilfiger, S Oliver, Polo Ralph Lauren). Sejauh ini Indonesia belum melakukan tindakan apa pun terhadap pengusaha yang lari meninggalkan kewajibannya terhadap buruh. Padahal, dengan kerja sama internasional, pelaku pasti bisa digugat karena data tentang keberadaan mereka ada di pemerintah. Jika tindakan tidak dilakukan, modus operandi ini akan terus berlangsung.

Gagasan internasional besar yang saat ini sedang dirancang adalah panduan operasi KM yang dirurumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Guiding Principles on Business and Human Rights). Gagasan ini diperkenalkan pada 2011 oleh John Ruggie sebagai representasi khusus PBB untuk urusan bisnis dan hak asasi manusia. Tujuannya agar ada mekanisme hukum yang bersifat mengikat untuk mengadili KM yang melanggar hak asasi manusia. Gagasan itu awalnya dianggap kontroversial karena sudah pernah dicoba, tetapi tidak mendapat dukungan. Dalam mekanisme di WTO pernah dicoba mengaitkan antara perdagangan dan hak buruh, tetapi upaya ini gagal dengan alasan bahwa sudah ada badan ILO yang mengurusi soal ketenagakerjaan.

Kali ini gagasan dibawa ke badan PBB, proses akhirnya akan diputuskan pada Juni 2015. Yang cukup menarik, Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung adanya mekanisme ini. Tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) yang selama ini dijadikan sebagai cara menunjukkan komitmen sosial perusahaan dinilai kurang berhasil mengingat motif TSP utamanya ditujukan untuk menaikkan citra positif korporasi ketimbang membantu kebutuhan rakyat.

Tanpa mengabaikan beberapa aksi TSP yang bermanfaat, alokasi dana TSP perusahaan umumnya selalu ditujukan untuk memperkuat posisi perusahaan, bukan untuk memperkuat masyarakat. Apalagi, kegiatan TSP hanya bersifat sukarela, tidak bisa diharapkan untuk bertanggung jawab dalam kerangka: perlindungan, penghormatan, pemulihan, seperti gagasan yang dimajukan John Ruggie. Apabila mekanisme ini diterima, akan diperoleh beberapa manfaat: perusahaan akan menjadi hati-hati menjaga perilaku berbisnis, menurunkan konflik sosial dan konflik dengan buruh, mencegah eksploitasi lingkungan, serta berkontribusi mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Komitmen politik Presiden Jokowi menciptakan bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian harus diterjemahkan dalam aksi nyata dalam berbagai bidang. Dalam bidang ketenagakerjaan, misalnya, menjadikan Indonesia sebagai negara yang dihormati, bukan surga buat pelaku bisnis serakah. Seperti pendirian Brasil di bawah Presiden Lula, "Jangan kita akhiri abad ini seperti cara kita melakoni abad ke-20 dengan mengeksploitasi negara lain."

Parpol Bersengketa dan Kepesertaan di Pilkada

Parpol Bersengketa dan Kepesertaan di Pilkada

Toto Sugiarto  ;  Ketua Departemen Riset dan Konsulting PARA Syndicate
KOMPAS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam rangkaian pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait pemilihan serentak gubernur, bupati, dan wali kota, Komisi II DPR, 24 April 2015, membuat sejumlah rekomendasi. Salah satu di antaranya, jika dituruti, akan membuat KPU dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melenceng dari rel yang semestinya.

Salah satu rekomendasi yang dapat menjadi pemicu masalah tersebut menyebutkan bahwa jika belum ada putusan hukum tetap, putusan terakhir pengadilan sebelum masa pendaftaran calon menjadi pedoman KPU dalam menentukan siapa yang berhak mengusung calon.

Bias kepentingan KMP

Terkait rekomendasi tersebut, setiap kubu di partai politik yang sedang bersengketa, yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memiliki penyikapan yang berbeda. Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie setuju terhadap rekomendasi ini: bahwa KPU harus berpegang pada putusan hukum tetap, dan jika belum ada putusan hukum tetap, berpegang pada putusan terakhir. Sementara Partai Golkar kubu Agung Laksono berpandangan bahwa surat keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai alat legalitas ada di kubu mereka.

Di PPP, kubu Djan Faridz memiliki sikap bahwa rekomendasi DPR merupakan jalan tengah terbaik, yaitu putusan dengan kekuatan hukum tetap atau putusan terakhir. Sementara PPP kubu Romahurmuziy bersikap bahwa KPU seharusnya hanya berpegang kepada putusan hukum tetap.

Rekomendasi DPR tersebut penuh aroma perseteruan politik sempit. Isi rekomendasi terlihat menguntungkan salah satu kelompok, yakni Koalisi Merah Putih (KMP). DPR terlihat tidak mengedepankan kepentingan republik.

Dugaan kepentingan KMP ini terlihat dari selarasnya rekomendasi yang dihasilkan dengan dukungan "kubu KMP" di Partai Golkar dan PPP, yaitu kepengurusan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie dan PPP kubu Djan Faridz. Keduanya mendukung penuh rekomendasi DPR. Kedua kubu ini pun mayoritas di parlemen dibanding seterunya.

Dengan kata lain, rekomendasi DPR agar KPU mengikuti putusan terakhir jika sampai tahap pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap, tampak bias kepentingan kubu KMP. Hal ini tak mengherankan karena kekuatan dominan di DPR adalah pendukung KMP, baik dilihat dari sisi fraksi Partai Golkar dan PPP ataupun dari sisi komposisi keseluruhan anggota DPR.

Mesti mampu bersikap

Sebagai institusi penyelenggara pemilu yang mandiri, KPU hendaknya mampu mengambil sikap sendiri. KPU juga tidak perlu menjadi mediator konflik. Dalam kondisi yang terjepit dua kepentingan politik yang berlawanan, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jangan terbawa irama pertikaian. Penyelenggara pemilihan harus memiliki "orkestra" sendiri.

Jika mengikuti rekomendasi yang membahayakan di atas, yaitu apabila belum ada putusan hukum tetap KPU berpegang pada putusan hukum terakhir, selain akan melanggar undang-undang juga bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika putusan yang berkekuatan hukum tetap nantinya berbeda daripada putusan terakhir sekarang ini, maka akan menjadi sengketa dengan lokus kesalahan ada di KPU.

Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan ini KPU harus mengedepankan upaya menjunjung supremasi hukum. Karena itu, KPU-yang akan memutuskan paling lambat 30 April 2015 ini-sebaiknya berpegang pada UU dan menjalankan perintah UU yang ada. Jika pengesahan Menkumham sedang dalam proses hukum, hendaknya KPU berpegang kepada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kepengurusan parpol tersebut telah disahkan Menkumham. Dengan demikian, selain tidak melanggar hukum, KPU juga tidak akan terseret ke dalam konflik internal parpol.

Idealnya, pengadilan mempercepat proses hukum untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan ganda Partai Golkar dan PPP tersebut. Dengan demikian, pada tahap pencalonan sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kemungkinan ideal lain, partai bersengketa menyelesaikan sengketa di internalnya masing-masing.

Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa permasalahan ini bisa selesai sebelum tahap pendaftaran calon. Jika sampai masa pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap atau belum ada penyelesaian lain, sebaiknya parpol bersengketa tidak diikutsertakan dalam pilkada pada Desember 2015.

Lentera penerang jalan

Sikap rigid KPU seperti ini diperlukan agar penyelenggara tidak terjebak ke dalam konflik politik dan penyelenggaraan pilkada pada kondisi derail, tergelincir keluar dari rel. Sementara bagi calon yang sedianya akan menggunakan parpol yang tidak bisa ikut dalam pilkada, masih terbuka kesempatan melalui jalur perseorangan.

Bagaimana dengan sikap Bawaslu? Badan ini seolah tidak terkait langsung dengan permasalahan PKPU, tetapi hendaknya Bawaslu tidak hanya diam dalam persoalan ini. Jika terjadi sengketa di kemudian hari akibat KPU salah mengambil sikap, Bawaslu juga yang akan sibuk.

Dengan demikian, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas penyelesai sengketa pemilu, Bawaslu memiliki kepentingan langsung. Karena itu, Bawaslu harus mengingatkan KPU untuk memutuskan jalan terbaik, yaitu jalan yang tidak berpotensi memunculkan masalah dan tidak membuat pilkada tergelincir dalam kondisi keluar dari relnya.

Di tengah kondisi ketegangan politik yang diwarnai partai bersengketa, KPU dan Bawaslu perlu teguh pada kemandiriannya. Kedua penyelenggara pemilu ini harus mampu menjadi lentera penerang jalan agar proses politik republik tidak tergelincir dari rel yang semestinya.

Mary Jane, Hukuman Mati yang Tertunda

Mary Jane, Hukuman Mati yang Tertunda

Tri Agung Kristanto  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Demikianlah pesan mantan Hakim Agung Bismar Siregar terkait dengan kemungkinan keraguan hakim dalam membuat putusan.

Peringatan Bismar itu terasa mendapatkan tempat ketika pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla giat menetapkan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati, khususnya dalam kasus peredaran gelap narkoba. Dalam dua kali pelaksanaan eksekusi, kegaduhan selalu menyertainya.

Kegaduhan tak hanya terjadi di dalam negeri karena masih ada warga yang bersikap pro dan kontra terhadap hukuman mati, tetapi juga terjadi di luar negeri. Masyarakat internasional bereaksi karena sebagian besar terpidana mati yang dieksekusi dalam dua kejadian di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, dan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, adalah warga negara asing.

Walaupun pemerintahan Jokowi-Kalla baru berlangsung enam bulan, Jokowi-Kalla sudah dua kali melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati, yaitu pada 18 Januari dan 29 April lalu. Sebanyak 14 narapidana mati telah dieksekusi. Semula ada 16 terpidana yang akan dieksekusi. Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Sebagian tertunda karena berbagai alasan.

Di Indonesia, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly, pada Januari lalu terdapat tidak kurang 133 terpidana mati. Mereka terdiri dari 57 narapidana mati untuk kasus narkoba, 2 terpidana mati kasus terorisme, dan 74 narapidana mati perkara pidana umum, misalnya pembunuhan berencana.

Selain memiliki narapidana mati, Kementerian Luar Negeri melaporkan, hingga Februari lalu tercatat 229 warga negara Indonesia terancam dieksekusi mati di Malaysia, Tiongkok, dan Arab Saudi. Sebagian besar dari warga negara Indonesia itu, 131 orang terancam dieksekusi mati karena terlibat kasus narkoba. Mereka memerlukan pembelaan dari pemerintah agar terbebas dari hukuman mati itu.

Mary Jane lolos

Dalam pelaksanaan eksekusi Rabu (29/4) dini hari di Nusakambangan, perhatian khalayak lebih banyak tersedot pada terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso. Mary Jane bersama Serge Areski Atlaoui asal Perancis dan Myuran Sukumaran (Australia) sebenarnya termasuk yang akan dieksekusi pada Januari lalu. Namun, mereka batal dieksekusi karena tengah mengajukan upaya hukum untuk menghindari dari regu tembak.

Serge namanya kembali dikeluarkan dari daftar yang harus dieksekusi Rabu lalu karena masih mengajukan upaya hukum menggugat keputusan presiden yang menolak permohonan grasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, diduga tekanan besar dari Pemerintah Perancis-lah yang membuat Serge, yang disebut-sebut sebagai ahli peracik ekstasi dan sabu, terhindar lagi dari eksekusi. Apalagi, PTUN Jakarta, Selasa lalu, menolak gugatan Serge.

Sementara Mary Jane dan Myuran kembali akan dieksekusi karena permohonan grasi dan peninjauan kembali (PK) perkaranya telah ditolak oleh Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Myuran, yang disebut sebagai bagian dari jaringan pengedar narkoba "Bali Nine", akhirnya dieksekusi bersama tujuh terpidana mati lainnya, termasuk Zainal Abidin, satu-satunya terpidana mati asal Indonesia, Rabu dini hari.

Mary Jane yang sudah berada di Nusakambangan tak jadi dieksekusi karena ada perintah dari Presiden Jokowi untuk membatalkannya. Sebuah bukti baru, selain besarnya tekanan dari masyarakat internasional dan nasional, yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu tertahan. Selasa, Maria Kristina Sergio, yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.

Fakta baru itu, misalnya, mendorong anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Charles Honoris, mendesak Presiden Jokowi membatalkan eksekusi terhadap Mary Jane. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pun meminta eksekusi terhadap Mary Jane dibatalkan. Presiden yang sempat bertemu dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, Selasa, di Jakarta, sebenarnya sudah menyerahkan pelaksanaan eksekusi itu kepada eksekutor (jaksa). Namun, pada detik-detik terakhir Jokowi membatalkan keputusannya itu.

Langkah Presiden tersebut sejalan dengan peringatan yang disampaikan Bismar Siregar. Ada potensi kesalahan dalam putusan terhadap Mary Jane. Potensi kesalahan putusan itu pun sebenarnya juga ada pada kasus Zainal Abidin, yang oleh polisi yang memeriksanya disebutkan bekerja jual-beli ganja. Profesi yang tak masuk akal. Sekalipun bekerja seperti yang disebut polisi, tak mungkin seorang tersangka atau terdakwa mengakui.

Pembelaan untuk Zainal kini sudah terlambat. Namun, untuk Mary Jane masih terbuka peluang untuk meluruskan putusan hakim jika memang ada kesalahan. Namun, dalam hukum, memang lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada memenjarakan seorang yang tak bersalah.

Kini, kejaksaan tinggal menunggu proses hukum terhadap Maria Kristina di Filipina untuk terus atau tidak eksekusi terhadap Mary Jane. Di sisi lain, Mary Jane dapat memakai pengakuan Maria Kristina, yang mungkin saja menjebaknya, sebagai bukti baru (novum) untuk kembali mengajukan PK.

Saatnya mengevaluasi

Lepas dari benar atau tidak putusan hakim terhadap Mary Jane, keputusan penundaan eksekusi itu melegakan berbagai kalangan, terutama keluarganya. Namun, bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum di Indonesia, kondisi itu seharusnya menjadi saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali kebijakan eksekusi terhadap terpidana mati, termasuk penerapan hukuman mati.

Bagi terpidana mati kasus narkoba yang terus mengulangi perbuatannya, termasuk mengoordinasikan peredaran gelap narkoba dari dalam penjara dengan bantuan oknum aparat, seperti yang ditunjukkan Freddy Budiman, masyarakat tentu tak akan keberatan jika eksekusi segera dilaksanakan. Namun, untuk terpidana mati yang tidak segera dieksekusi dan telah menunjukkan perbaikan perilaku dan penyesalan yang luar biasa, Presiden bisa menunjukkan penghargaannya dengan memberikan keringanan hukuman, menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman dengan waktu tertentu (20 tahun).

Mahkamah Konstitusi (MK) memang menyatakan hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia tak bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak hidup setiap warga negara. Namun, MK mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan hukuman mati itu, misalnya dengan memberikan masa waktu penantian. Jika dalam 10 tahun, misalnya, seorang terpidana mati menunjukkan perilaku yang baik, bisa saja hukuman itu diubah. Prinsipnya, manusia memang tidak berhak untuk menentukan hidup atau mati manusia lainnya.

Enam Bulan yang Hambar

Enam Bulan yang Hambar

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apakah pembaca kaget dengan hasil survei evaluasi enam bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dirilis harian ini?

Saya yakin, mayoritas pembaca akan hadir dengan jawaban yang sama: tidak. Meski terjadi sedikit kenaikan (7,1 persen) di bidang politik dan keamanan, jawaban "tidak" tersebut sulit untuk digeser karena adanya penurunan tingkat kepuasan di bidang-bidang lain.

Khusus di wilayah penegakan hukum, dibandingkan tiga bulan pertama, tingkat kepuasan responden mengalami penurunan melebihi 16,5 persen. Merujuk hasil survei Kompas (27/4), pada tiga bulan pertama, mayoritas responden (59,7 persen) memberikan nilai baik atas kinerja di bidang hukum. Namun tiga bulan berikutnya, penilaian responden menurun tajam menjadi 43,2 persen.

Bagaimana menjelaskan penurunan tajam tingkat kepuasan responden terhadap kinerja bidang hukum pemerintahan Jokowi-JK selama enam bulan pertama berkuasa? Pertanyaan ini menjadi begitu penting karena tingkat kepuasan dalam bidang hukum menurun dua kali lebih besar dibandingkan enam bulan pertama pemerintahan SBY-JK. Hasil survei Kompas (20/4/2010), kepuasan kepada SBY-JK hanya menurun dari 61,2 persen pada tiga bulan pertama menjadi 53,2 persen tiga bulan berikutnya.

Dukungan ke KPK

Dalam posisi sebagai pemerintah baru, duet Jokowi-JK memiliki peluang besar meraih kepuasan masyarakat dalam berbagai bidang, termasuk bidang hukum. Pandangan begini hadir karena 42 prioritas utama penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK dapat dikatakan amat padat dan konkret yang sekaligus merupakan jawaban terhadap sebagian besar agenda hukum dan penegakan hukum negeri ini.

Banyak pihak percaya, bilamana Jokowi berupaya dengan keras merealisasikan pohon janji di wilayah hukum dan penegakan hukum sejak awal, tingkat kepuasan responden tidak akan mengalami penurunan. Bahkan, bukan tidak mungkin kepuasan responden pada tiga bulan pertama akan melewati persentase yang pernah diraih SBY-JK.

Namun, selama tiga bulan pertama, Jokowi tidak menunjukkan pergerakan signifikan mewujudkan janji bidang hukum yang tertuang dalam Nawacita. Meskipun demikian, kepuasan responden masih berada di atas angka 50 persen.

Salah satu alasan yang mungkin dapat menjelaskan kepuasan responden masih berada di atas garis merah pada tiga bulan pertama: Jokowi-JK lebih banyak fokus menghadapi tekanan politik karena terbelahnya dukungan dari DPR. Di tengah tekanan politik dari sebagian kekuatan politik di DPR, pasti tidak mudah mewujudkan agenda bidang hukum. Begitu pula sorotan tajam sebagian kalangan dalam pengangkatan Jaksa Agung pun tak mampu menghancurkan kepuasan masyarakat.               

Oleh karena itu, sulit dibantah, turunnya tingkat kepuasan masyarakat pada tiga bulan kedua hampir pasti dipicu oleh ketidakmampuan Jokowi-JK merealisasikan janji mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terkait dengan komisi antirasuah ini, Jokowi-JK berjanji mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan KPK.

Alasan mendasar Jokowi sampai kepada janji itu, dalam praktik pemberantasan korupsi, KPK telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. Karena itu, KPK harus dijaga sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuatan politik. Tidak hanya itu, begitu pentingnya posisi dan perannya di tengah desain besar agenda pemberantasan korupsi, Jokowi-JK merasa perlu menegaskan komitmen mereka untuk menolak segala bentuk upaya yang dapat berujung pada pelemahan KPK.

Namun, ketika ujian untuk membuktikan dukungan ke KPK datang, Jokowi-JK tak menunjukkan dan memberikan respons memadai. Buktinya, ketika KPK diobok-obok setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, langkah nyata untuk melindungi KPK tak hadir dengan layak. Padahal, banyak pihak mendesak Jokowi agar bersikap tegas menghentikan kemungkinan pihak-pihak tertentu menggunakan institusi kepolisian melakukan serangan balik kepada KPK. Tidak hanya itu, Jokowi pun diminta menunjukkan sikap tegas mencegah kepolisian melakukan tindakan kriminalisasi terhadap semua elemen KPK.

Mencermati situasi yang melilit KPK setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak keliru menilai bahwa Jokowi-JK gagal melewati ujian pertama pelemahan KPK. Padahal, sekalipun dikatakan ujian pertama, sejauh ini, peristiwa tragis yang dialami KPK sejak pertengahan Januari lalu dapat dikatakan sebagai serangan paling mematikan sejak lembaga ini dibentuk.

Harusnya, membaca komitmen yang tertuang dalam Nawacita, tak ada alasan tidak melakukan langkah darurat menyelamatkan KPK. Namun, entah apa yang sesungguhnya terjadi, langkah nyata penyelamatan yang berpihak kepada KPK dan sekaligus berpihak kepada agenda pemberantasan tidak hadir.

Boleh jadi, penyelamatan KPK bukanlah variabel tunggal menurunnya tingkat kepuasan masyarakat. Misalnya, dalam periode tiga bulan kedua, Jokowi juga dihadapkan pada inkonsistensi dalam proses pengusulan calon Kepala Polri. Padahal, dalam Nawacita dinyatakan akan memilih Kepala Polri yang bersih dan antikorupsi. Namun, ketika mengusulkan nama Budi Gunawan ke DPR, komitmen tersebut pantas digugat dan dipertanyakan.

Dalam batas penalaran yang wajar, isu di sekitar pengusulan calon Kepala Polri tidak akan begitu banyak menurunkan tingkat kepuasan responden bilamana Jokowi mampu mengambil langkah konkret menyelamatkan KPK. Namun, begitu KPK dibiarkan porak poranda, imajinasi Jokowi dalam bidang hukum sangat dipertanyakan. Bahkan tidak terlalu berlebihan mengatakan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda yang bukan prioritas selama enam bulan pertama Jokowi-JK.

Pemulihan cepat

Apabila hendak melihat secara positif, rendahnya tingkat kepuasan terhadap agenda hukum tidak berarti kiamat bagi Jokowi-JK. Bahkan, dalam waktu tak terlalu lama, kepuasan masyarakat dapat didorong naik untuk segera keluar dari zona merah. Karena sumbangan terbesar atas kemerosotan di bidang hukum dipicu komitmen kepada KPK, pemulihan cepat mestinya juga diarahkan ke lembaga ini.

Dalam waktu dekat, karena masa jabatan pimpinan KPK akan segera berakhir, Jokowi harus memilih anggota tim seleksi yang tidak diragukan masyarakat. Selain dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada KPK, tim seleksi harus berasal dari kalangan yang memiliki komitmen yang tidak diragukan dalam agenda pemberantasan korupsi. Melihat gejala yang muncul ke permukaan, pertimbangan ini perlu disampaikan karena tim seleksi menjadi titik penting guna menyelamatkan masa depan KPK. Seandainya Jokowi salah dalam memilih anggota tim seleksi, KPK kian sulit diselamatkan.

Banyak pihak percaya, sekiranya Jokowi-JK mampu membuktikan komitmen mereka dalam menyelamatkan KPK sebagaimana tertuang dalam Nawacita, kepuasan masyarakat dalam bidang penegakan hukum pelan-pelan dapat dipulihkan lagi. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, Jokowi-JK tak hanya akan dinilai tak memiliki keinginan menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, tetapi lebih dari itu: pasangan ini dapat saja dinilai secara sengaja menyisihkan agenda di bidang hukum. Dengan demikian, selama enam bulan pertama agenda hukum terasa begitu hambar.

Jokowi, Suhu Panas Jakarta, dan Resep Ora Mikir

Jokowi, Suhu Panas Jakarta, dan Resep Ora Mikir

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cicero (106-43 SM), politisi dan filsuf Romawi, tidak pernah peduli dengan citra dirinya: dipersepsikan baik atau buruk. Bagi Cicero, mengabdi dan berbuat baik kepada publik dan bangsanya adalah sangat penting. Maka, ketika ia dipandang sinis dan dicibir, terutama oleh lawan-lawan politiknya sehingga ia tak populer di mata publik, Cicero yang kerap dipandang sebagai tokoh ambisius itu tak ambil pusing.

Kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak seperti Cicero. Jokowi biasanya juga "ora mikir" ketika menjawab berbagai hal menyangkut dirinya. Misalnya ketika pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, ia bisa menjawab pertanyaan tentang popularitasnya naik atau turun dengan jawaban enteng, "ora mikir".

Akan tetapi, Senin (27/4), tampaknya ia agak keluar dari gaya jawaban khasnya. Pada acara Silaturahim Pers Nasional di Auditorium TVRI Jakarta, Presiden Jokowi menyadari popularitasnya menurun. Namun, penurunan popularitas itu, menurut Presiden Jokowi, adalah risiko kebijakan pemerintah yang melakukan perubahan di banyak hal. Kebijakan pemerintah saat ini diakui ibarat pil pahit. Perubahan yang dilakukan pemerintahan Jokowi sekarang ini butuh kesabaran dan pengorbanan. Jokowi pun menjanjikan, "Lihat tiga, empat, atau lima tahun yang akan datang."

Memang, survei Litbang Kompas terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam enam bulan ini menurun. Kinerja dua bidang terpuruk, yaitu hukum dan ekonomi. Pada enam bulan ini (April), kinerja bidang hukum buruk, justru tambah buruk sampai 56,8 persen, padahal survei pada masa tiga bulan lalu (Januari) angkanya 40,3 persen.

Bidang ekonomi lebih parah lagi. Dari penilaian buruk 57 persen pada Januari lalu terus terjungkal sampai 74,6 persen pada April ini. Untung saja kinerja politik dan keamanan ada peningkatan sedikit dari penilaian buruk 39,3 persen berubah menjadi 32,2 persen. Pada awal April lalu, survei Indo Barometer juga menunjukkan realitas yang sama. Dalam enam bulan ini, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi hanya 57,5 persen, sedangkan kepuasan terhadap Jusuf Kalla cuma 32,2 persen.

Jokowi naik ke tampuk istana kepresidenan periode 2014-2019 tidak hanya dengan dukungan dan pujaan mayoritas publik, tetapi juga celaan dan hinaan destruktif. Pada April ini, pas enam bulan Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk sekitar 245 juta jiwa ini. Selama setengah tahun ini, Presiden yang merupakan kader PDI-P itu bertahan dari tembakan lawan-lawan politiknya, terutama Koalisi Merah Putih, juga sisa-sisa simpatisan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memenuhi jagat maya media sosial. Bahkan, ini runyamnya, Jokowi pun harus bertahan dari serangan kawan-kawan yang mendukungnya, yakni politisi PDI-P, antara lain dalam kasus kebijakan migas dan mencuatnya pelemahan KPK.

Kisah hubungan Jokowi dan PDI-P memang unik jika tidak ingin disebut aneh. Sudah menjadi rahasia umum apabila orang-orang PDI-P kesulitan untuk menembus istana dan mendekati Jokowi. Tidak heran di lingkaran ring 1 pun muncul istilah trio macan yang dituding menghalangi partai dengan Jokowi, yaitu Rini Soemarno (Menteri BUMN), Andi Wijajanto (Sekretaris Kabinet), dan Luhut Pandjaitan (Kepala Staf Kepresidenan). Padahal, Rini dan Andi, misalnya, pada masa lalu termasuk orang dekat Megawati Soekarnoputri dan PDI-P. Jokowi kelihatannya memang menjaga jarak agar partai tidak terlalu mengatur urusan negara. Jokowi selalu mengajukan syarat profesionalisme untuk masuk ke kabinet, misalnya, bukan melulu terkait bagi-bagi kekuasaan atau jatah-jatahan partai. Sayangnya, sewaktu mengurusi BUMN-BUMN, justru terjadi bagi-bagi posisi ketika pendukung dan relawan Jokowi menjadi komisaris-komisaris.

Kisruh paling terumbar adalah saat pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, Januari silam. Publik pun mampu membaca tangan PDI-P terulur dalam proses pencalonan Komjen BG karena BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjabat presiden. Namun, kabarnya Jokowi yang menunjuk kursi Kapolri mungkin saja sebagai balas budi. Runyamnya, pencalonan itu menimbulkan kontroversi, terutama setelah BG dijadikan tersangka oleh KPK. Megawati tampaknya meradang karena dianggap sebagai penyebabnya. Sampai-sampai hubungan Istana Presiden dan Teukur Umar (kediaman Megawati) kurang harmonis. Di sisi lain, KMP di DPR pun tampaknya njlomprongke. Menerima baik pencalonan BG, tetapi sebetulnya sengaja menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Untunglah Jokowi membatalkan pencalonan BG karena dinilai kontroversi. Sayangnya, alasan kontroversi tidak dipakai Jokowi saat melantik BG sebagai Wakil Kepala Polri.

Barangkali Jokowi dalam situasi yang sulit bergerak. Apalagi cap petugas partai muncul sangat verbal dan jelas. Ketua Umum PDI-P Megawati dalam pidato penutupan di Kongres IV di Sanur, Bali, 11 April lalu, mengingatkan bahwa politisi PDI-P yang memiliki jabatan di eksekutif ataupun legislatif adalah petugas partai.

"Ingat, kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai," kata Megawati seraya melanjutkan, "Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai." Pidato itu memang tidak menunjuk seseorang, kecuali institusi legislatif dan eksekutif. Namun, sudah sangat terbaca mudah bahwa sasaran utama pidato soal petugas partai adalah Presiden Jokowi, kader PDI-P yang kemudian menjadi presiden periode 2014-2019.

Namun, sayangnya, para politisi bahkan sekelas elite partai pun semestinya menempatkan bangsa dan negara jauh di atas partai, seperti diperlihatkan Presiden Filipina Manuel Quezon (1878-1944) atau Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) yang memilih mengabdi untuk bangsa dan negara dan menanggalkan kepentingan partai begitu terpilih menjadi pemimpin bangsa. Jangan sampai istilah "presiden boneka" seperti terjadi pada pilpres lalu ada benarnya. Kata filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), di dalam individu jarang terjadi kegilaan, tetapi di dalam kelompok, partai politik, bangsa, dan zaman, kegilaan adalah biasa.

Seperti kata Perdana Menteri Inggris Winston Churchill (1874-1965) yang menegaskan bahwa dalam perang hanya dapat membunuh satu kali, tetapi di politik bisa berkali-kali, memang nyatanya Jokowi tetap melenggang meski ditembaki dari sana-sini. Maka, ia pun terus blusukan. Ia menemui nelayan. Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Presiden Jokowi berdialog dan menjelaskan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (solar) kepada nelayan. Ia menjelaskan tentang kebijakan maritimnya.

Ia juga membagikan kartu sakti pasca kenaikan harga bahan bakar minyak. Jokowi juga membagikan traktor kepada petani agar bisa segera membajak sawah untuk segera menanam padi dan seterusnya menghasilkan beras unggulan supaya mimpi swasembada pangan bisa terwujud.

Dalam enam bulan ini, langkah blusukan-nya memang jauh ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan tentu saja Jawa. Istana sering ditinggalkannya. Tetapi, suhu ibu kota Jakarta selalu panas. Enam bulan memanah barulah masa-masa awal. Perjalanan masih panjang. Seperti ketidakpuasan di bidang hukum dan ekonomi, Jokowi mesti berkonsentrasi penuh untuk membenahi dan memperbaikinya.

Di tengah nada pesimistis, Jokowi harus memperlihatkan komitmen pemberantasan korupsi dan membersihkan negeri ini dari koruptor yang tidak kapok-kapok. Jokowi tentunya lebih banyak berbuat agar rakyat terhindar dari beban kehidupan. Semakin kinerja membaik, langkah pemerintahan di bawah Jokowi-JK semakin ringan.

Tetapi, sebaliknya akan berat jika berbagai persoalan kusut tak terurai. Terlebih lagi banyak moncong senjata yang diarahkan dari berbagai sudut, yang mungkin bisa membakar suhu panas Jakarta. Kali ini resep "ora mikir" pasti tidak mujarab.