Sabtu, 25 April 2015

Bangsa Pemberang

Bangsa Pemberang

Kartini Sjahrir  ;   Antropolog dan mantan Duta Besar RI
untuk Argentina, Paraguay, dan Uruguay
KOMPAS, 24 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun ini Indonesia genap berusia 70 tahun, cukup matang untuk menentukan arah dalam hidup  berbangsa dan bertanah air. Namun, pada kenyataannya, bangsa kita belum cukup dewasa untuk menjalani nasion Indonesia.

Indonesia adalah negara maritim, dengan rangkaian kepulauan yang membujur dari barat ke timur, dari Sabang hingga Merauke. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dunia, terdiri atas beragam suku dengan kebudayaan yang berbeda pula.

Tidaklah mengherankan ketika Sumpah Pemuda 1928, para pemuda mencanangkan: "Bertanah air satu Tanah Air Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia, dan  berbahasa satu Bahasa Indonesia". Jelas tersirat di sana  akan adanya keragaman etnis dan budaya Nusantara yang bermuara menjadi nasion Indonesia atau kita kenal sekarang sebagai NKRI. Itulah maknanya. Nasion Indonesia adalah nasion pluralistik dalam wadah  negara maritim.

Kemajemukan atau pluralisme ini secara ketat dikawal oleh lima prinsip dasar dalam Pancasila. Selama 70 tahun, kita mengalami pasang surut kehidupan bernegara; dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, dari guncangan konflik suku/ras, agama, ideologi politik, korupsi, hingga separatisme dan terorisme. Akankah kita mampu mempertahankan nasion yang pluralistik tersebut? Mampukah kita menjadi negara demokratis?

Bangga jadi Indonesia

Saya teringat awal-awal tahun 1970-an dan 1980-an, ada rasa bangga  menjadi orang Indonesia. Bangsa yang ramah tamah, suka menolong, dan mempunyai toleransi tinggi terhadap lingkungannya. Di ranah tempat saya dibesarkan tahun 1950-an dan awal 1960-an, di tengah rimba raya Sumatera di Riau, Idul Fitri, Natal, Imlek,  dan Tahun Baru adalah hari-hari yang sangat kami, anak-anak, nantikan. Tak peduli anak siapa dan tak peduli apa agamanya.

Hari-hari besar seperti itu  berarti akan ada makanan enak, minuman sirop atau sarsaparilla, baju baru, dan  sekaligus menerima "salam tempel". Kami, sekali lagi,  tidak pernah mempersoalkan agama. Agama adalah pilihan masing-masing dan semua agama baik adanya.

Tidak pernah ada larangan untuk pergi bernatal ke rumah keluarga Kristen atau berlebaran di tetangga yang Muslim.  Semua bergembira bersama, berbagi makanan bersama dan melaksanakan ibadah masing-masing dalam kesatuan sebagai warga negara. Perbedaan bukanlah hal yang untuk dipertentangkan melainkan untuk dikelola.

Sebagai warga negara, relasi hubungan  kita dikelola oleh ayat-ayat konstitusi dan bukan oleh ayat-ayat suci. Ayat konstitusi dengan jelas mengatur lalu lintas hubungan antarindividu, kelompok, etnis, ras, dan golongan yang berada dalam naungan nasion Indonesia. Secara jelas dan tegas ayat konstitusi  yang dituangkan dalam berbagai aturan yang memberikan sanksi hukum bagi mereka yang melanggar. Agama tidak campur tangan urusan negara. Itulah kesepakatan kita ketika bersedia menjadi bagian dari nasion Indonesia.

Akan tetapi, ini barangkali cerita dulu. Simaklah apa yang kita lakukan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir sejak memasuki era Reformasi. Adakah kita mereformasi diri? Agaknya jauh panggang dari api. Coba lihat. Kita menjadi bangsa yang pemberang terhadap saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Kalau perlu kita hukum dengan membakar dan merusak rumah ibadah mereka. Di mana sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu?

Kita berang melihat orang lain lebih baik bekerjanya dan lebih baik penghidupannya. Untuk itu kalau perlu kita rusak kendaraannya atau kita cemooh dia. Kita berang melihat saudara, teman, tetangga lebih populer, lebih disukai di masyarakat atau di tempat kerjanya. Lalu kita olok-olok, cari-cari kesalahan, dan kalau perlu memfitnah.

Kemiskinan vs keadilan

Ketika ada seorang miskin mencuri jambu atau rambutan tetangga, dengan penuh semangat kita membawa ke pengadilan dan mendapat hukuman penjara. Prosesnya berlangsung cepat. Bagaimana dengan para koruptor kelas kakap dan atau mafia-mafia narkoba? Apakah hukuman yang mereka terima setimpal dengan kerugian yang ditanggung masyarakat? Apakah proses pengadilannya berlangsung cepat atau sengaja ditunda-tunda dengan alasan "perlu bukti-bukti kuat"?

Bagi orang kaya dan penguasa berlaku pepatah: "kalau proses peradilan bisa diperlambat kenapa dipercepat?" Sebaliknya bagi kaum miskin, papa, dan tak berkuasa: "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?"  Di mana sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu? 

Kita penuh dengan aura keberangan ketika harus  menegakkan  sila Keadilan Sosial. Masih segar dalam benak saya ketika Dr Sjahrir (alm) pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini mengidap kanker korupsi pada stadium akhir. Korupsi itu sudah begitu rupa merasuki semua urat nadi dalam tubuh.

Rasa malu "menilep" uang negara sirna sudah. Bahkan kalau perlu, korupsi itu dilegalkan dengan cara memasukkan pengeluaran-pengeluaran fantastis yang tak ada kaitannya dengan kemaslahatan publik apakah itu dalam bentuk anggaran pendapatan dan belanja daerah ataupun bentuk-bentuk  pengeluaran lainnya. Tak ada rasa malu dan jengah bahwa sikap akal-akalan itu secara kasat mata dilihat dan dinilai oleh publik.

Tak ada rasa malu ketika menjadi bahan olok-olokan di media sosial dan bahkan ironisnya ada juga rasa bangga muncul di media massa. Publik kenyang mendengar kata "hak angket" yang hendak dilakukan para anggota-anggota legislatif kita ketika keinginan berkuasa,  berkorupsi dan berkolusi begitu kuatnya. Sebuah parodi kehidupan berbangsa yang menyesakkan dada. Di sana rasa perikemanusiaan dan keadilan sama sekali punah.

Ketika pemimpin-pemimpin yang baik,  yang menggunakan akal sehatnya, yang menghargai pluralisme, yang sangat anti korupsi, dan bersikap demokratis mulai berkecambah dari tingkat  kota, kabupaten, provinsi, dan bahkan ke tingkat nasional, lihatlah betapa terjalnya jalan yang harus mereka tempuh.

Wali Kota  Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, Bupati Simalungun JR Saragih, Bupati Kuningan Utje CH Suganda, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah,  Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, sampai Presiden RI Joko Widodo adalah beberapa contoh dari sejumlah nama pemimpin harapan Indonesia masa depan.

 Kita semua menjadi saksi bagaimana pemimpin-pemimpin ini setiap jam, setiap saat "digoreng", "dikerjain", "didemo", "dipelintir ucapan-ucapannya" atas nama keadilan bangsa Indonesia. Meskipun mereka bekerja keras dan sungguh-sungguh berupaya memajukan daerahnya, tak ada penghargaan sepadan. Di manakah rasa keadilan dan perikemanusiaan itu?

Kita berang melihat bangsa lain lebih maju dari kita dan berang melihat pemimpin-pemimpin yang baik satu per satu mulai bermunculan. Kita juga berang bila keinginan kita tidak terpenuhi apalagi kalau merasa diri sangat berkuasa.

Kita berang melakukan musyawarah mufakat dan bersikap demokratis terhadap keputusan-keputusan yang diinginkan publik yang tidak selalu sesuai dengan harapan kita.  Itulah wajah kita, wajah yang penuh dengan kemarahan yang bermuara dalam sikap yang "senang lihat orang susah, dan susah lihat orang senang".

Kepicikan berpikir

Sikap pemberang biasanya lahir dari sikap arogan, sikap mau menang sendiri, dan kepicikan berpikir. Amat sulit menjaga Pancasila sebagai dasar negara yang menopang kemajemukan nasion Indonesia bilamana warganya memiliki karakter pemberang.  Mengutip ucapan Jean Jacques Rousseau, "Demokrasi itu ibarat buah penting untuk pencernaan. Hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya." Maka, bagaimana kita mencerna buah demokrasi itu bila lambung kita penuh dengan bakteri amarah?

 Saya sering melihat film-film atau membaca mengenai seseorang yang harus diterapi  karena bawaannya marah melulu dengan metode   yang disebut anger management. Jangan-jangan kita sebagai bangsa perlu juga mengikuti terapi bagaimana mengelola kemarahan  melalui koridor yang benar, agar besaran kemarahan (magnitude) bisa dikurangi hingga seminim mungkin.

Kalau suka marah, sulit berpikir yang benar dan sulit menggunakan akal sehat. Ada baiknya memulai terapi ini dalam lingkup kecil dulu: RT/RW, kelurahan, kecamatan, naik pada tingkat kabupaten/kota, lebih luas lagi tingkat provinsi dan hingga  kepada lingkup nasional.

 Peralatan untuk terapi anger management sudah kita miliki yaitu Pancasila. Berpulang kepada kita, apakah kita mau menjalankan terapi ini atau kita sudah tidak peduli lagi. Terapi ini adalah bagian dari apa yang kita sebut sebagai revolusi mental, yaitu suatu perubahan kelakuan, tata kelakuan, dan hasil kelakuan.

Revolusi mental menjadikan bangsa Indonesia toleran, bukan lagi bangsa yang pemberang. Tidak hanya itu, revolusi mental menjadikan kita bangsa yang demokratis, berperikemanusiaan, peka terhadap keadilan, menghargai musyawarah/mufakat, dan berketuhanan Yang Maha Esa dalam tatanan nasion Indonesia yang pluralistik.

Kita masih mempunyai kesempatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar