Kamis, 30 April 2015

Jokowi, Suhu Panas Jakarta, dan Resep Ora Mikir

Jokowi, Suhu Panas Jakarta, dan Resep Ora Mikir

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cicero (106-43 SM), politisi dan filsuf Romawi, tidak pernah peduli dengan citra dirinya: dipersepsikan baik atau buruk. Bagi Cicero, mengabdi dan berbuat baik kepada publik dan bangsanya adalah sangat penting. Maka, ketika ia dipandang sinis dan dicibir, terutama oleh lawan-lawan politiknya sehingga ia tak populer di mata publik, Cicero yang kerap dipandang sebagai tokoh ambisius itu tak ambil pusing.

Kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak seperti Cicero. Jokowi biasanya juga "ora mikir" ketika menjawab berbagai hal menyangkut dirinya. Misalnya ketika pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, ia bisa menjawab pertanyaan tentang popularitasnya naik atau turun dengan jawaban enteng, "ora mikir".

Akan tetapi, Senin (27/4), tampaknya ia agak keluar dari gaya jawaban khasnya. Pada acara Silaturahim Pers Nasional di Auditorium TVRI Jakarta, Presiden Jokowi menyadari popularitasnya menurun. Namun, penurunan popularitas itu, menurut Presiden Jokowi, adalah risiko kebijakan pemerintah yang melakukan perubahan di banyak hal. Kebijakan pemerintah saat ini diakui ibarat pil pahit. Perubahan yang dilakukan pemerintahan Jokowi sekarang ini butuh kesabaran dan pengorbanan. Jokowi pun menjanjikan, "Lihat tiga, empat, atau lima tahun yang akan datang."

Memang, survei Litbang Kompas terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam enam bulan ini menurun. Kinerja dua bidang terpuruk, yaitu hukum dan ekonomi. Pada enam bulan ini (April), kinerja bidang hukum buruk, justru tambah buruk sampai 56,8 persen, padahal survei pada masa tiga bulan lalu (Januari) angkanya 40,3 persen.

Bidang ekonomi lebih parah lagi. Dari penilaian buruk 57 persen pada Januari lalu terus terjungkal sampai 74,6 persen pada April ini. Untung saja kinerja politik dan keamanan ada peningkatan sedikit dari penilaian buruk 39,3 persen berubah menjadi 32,2 persen. Pada awal April lalu, survei Indo Barometer juga menunjukkan realitas yang sama. Dalam enam bulan ini, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi hanya 57,5 persen, sedangkan kepuasan terhadap Jusuf Kalla cuma 32,2 persen.

Jokowi naik ke tampuk istana kepresidenan periode 2014-2019 tidak hanya dengan dukungan dan pujaan mayoritas publik, tetapi juga celaan dan hinaan destruktif. Pada April ini, pas enam bulan Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk sekitar 245 juta jiwa ini. Selama setengah tahun ini, Presiden yang merupakan kader PDI-P itu bertahan dari tembakan lawan-lawan politiknya, terutama Koalisi Merah Putih, juga sisa-sisa simpatisan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memenuhi jagat maya media sosial. Bahkan, ini runyamnya, Jokowi pun harus bertahan dari serangan kawan-kawan yang mendukungnya, yakni politisi PDI-P, antara lain dalam kasus kebijakan migas dan mencuatnya pelemahan KPK.

Kisah hubungan Jokowi dan PDI-P memang unik jika tidak ingin disebut aneh. Sudah menjadi rahasia umum apabila orang-orang PDI-P kesulitan untuk menembus istana dan mendekati Jokowi. Tidak heran di lingkaran ring 1 pun muncul istilah trio macan yang dituding menghalangi partai dengan Jokowi, yaitu Rini Soemarno (Menteri BUMN), Andi Wijajanto (Sekretaris Kabinet), dan Luhut Pandjaitan (Kepala Staf Kepresidenan). Padahal, Rini dan Andi, misalnya, pada masa lalu termasuk orang dekat Megawati Soekarnoputri dan PDI-P. Jokowi kelihatannya memang menjaga jarak agar partai tidak terlalu mengatur urusan negara. Jokowi selalu mengajukan syarat profesionalisme untuk masuk ke kabinet, misalnya, bukan melulu terkait bagi-bagi kekuasaan atau jatah-jatahan partai. Sayangnya, sewaktu mengurusi BUMN-BUMN, justru terjadi bagi-bagi posisi ketika pendukung dan relawan Jokowi menjadi komisaris-komisaris.

Kisruh paling terumbar adalah saat pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, Januari silam. Publik pun mampu membaca tangan PDI-P terulur dalam proses pencalonan Komjen BG karena BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjabat presiden. Namun, kabarnya Jokowi yang menunjuk kursi Kapolri mungkin saja sebagai balas budi. Runyamnya, pencalonan itu menimbulkan kontroversi, terutama setelah BG dijadikan tersangka oleh KPK. Megawati tampaknya meradang karena dianggap sebagai penyebabnya. Sampai-sampai hubungan Istana Presiden dan Teukur Umar (kediaman Megawati) kurang harmonis. Di sisi lain, KMP di DPR pun tampaknya njlomprongke. Menerima baik pencalonan BG, tetapi sebetulnya sengaja menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Untunglah Jokowi membatalkan pencalonan BG karena dinilai kontroversi. Sayangnya, alasan kontroversi tidak dipakai Jokowi saat melantik BG sebagai Wakil Kepala Polri.

Barangkali Jokowi dalam situasi yang sulit bergerak. Apalagi cap petugas partai muncul sangat verbal dan jelas. Ketua Umum PDI-P Megawati dalam pidato penutupan di Kongres IV di Sanur, Bali, 11 April lalu, mengingatkan bahwa politisi PDI-P yang memiliki jabatan di eksekutif ataupun legislatif adalah petugas partai.

"Ingat, kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai," kata Megawati seraya melanjutkan, "Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai." Pidato itu memang tidak menunjuk seseorang, kecuali institusi legislatif dan eksekutif. Namun, sudah sangat terbaca mudah bahwa sasaran utama pidato soal petugas partai adalah Presiden Jokowi, kader PDI-P yang kemudian menjadi presiden periode 2014-2019.

Namun, sayangnya, para politisi bahkan sekelas elite partai pun semestinya menempatkan bangsa dan negara jauh di atas partai, seperti diperlihatkan Presiden Filipina Manuel Quezon (1878-1944) atau Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) yang memilih mengabdi untuk bangsa dan negara dan menanggalkan kepentingan partai begitu terpilih menjadi pemimpin bangsa. Jangan sampai istilah "presiden boneka" seperti terjadi pada pilpres lalu ada benarnya. Kata filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), di dalam individu jarang terjadi kegilaan, tetapi di dalam kelompok, partai politik, bangsa, dan zaman, kegilaan adalah biasa.

Seperti kata Perdana Menteri Inggris Winston Churchill (1874-1965) yang menegaskan bahwa dalam perang hanya dapat membunuh satu kali, tetapi di politik bisa berkali-kali, memang nyatanya Jokowi tetap melenggang meski ditembaki dari sana-sini. Maka, ia pun terus blusukan. Ia menemui nelayan. Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Presiden Jokowi berdialog dan menjelaskan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (solar) kepada nelayan. Ia menjelaskan tentang kebijakan maritimnya.

Ia juga membagikan kartu sakti pasca kenaikan harga bahan bakar minyak. Jokowi juga membagikan traktor kepada petani agar bisa segera membajak sawah untuk segera menanam padi dan seterusnya menghasilkan beras unggulan supaya mimpi swasembada pangan bisa terwujud.

Dalam enam bulan ini, langkah blusukan-nya memang jauh ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan tentu saja Jawa. Istana sering ditinggalkannya. Tetapi, suhu ibu kota Jakarta selalu panas. Enam bulan memanah barulah masa-masa awal. Perjalanan masih panjang. Seperti ketidakpuasan di bidang hukum dan ekonomi, Jokowi mesti berkonsentrasi penuh untuk membenahi dan memperbaikinya.

Di tengah nada pesimistis, Jokowi harus memperlihatkan komitmen pemberantasan korupsi dan membersihkan negeri ini dari koruptor yang tidak kapok-kapok. Jokowi tentunya lebih banyak berbuat agar rakyat terhindar dari beban kehidupan. Semakin kinerja membaik, langkah pemerintahan di bawah Jokowi-JK semakin ringan.

Tetapi, sebaliknya akan berat jika berbagai persoalan kusut tak terurai. Terlebih lagi banyak moncong senjata yang diarahkan dari berbagai sudut, yang mungkin bisa membakar suhu panas Jakarta. Kali ini resep "ora mikir" pasti tidak mujarab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar