Rabu, 22 April 2015

Kartini Bukan Valentine

Kartini Bukan Valentine

Ki Supryoko  ;   Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Jogjakarta
JAWA POS, 21 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ADA fenomena sosiokultural yang menarik; akhir-akhir ini anak-anak muda sibuk merayakan Hari Valentine (Valentine’s Day) ketika 14 Februari tiba. Bahkan, beberapa hari sebelumnya, mereka mempersiapkan kartu ucapan selamat atau aneka bingkisan. Ketika Hari Valentine tiba, banyak SMS berisi ucapan selamat dan bingkisan cokelat yang ’’beterbangan’’ ke aneka jurusan. Mereka sangat antusias merayakannya.

Bagaimana dengan Hari Kartini? Ketika 21 April tiba, biasanya tidaklah semeriah ketika mereka merayakan Hari Valentine. Lebih dari itu, bahkan banyak anak muda kita yang acuh tak acuh dengan Hari Kartini.

Benar bahwa Presiden Soekarno pernah menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1974, yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan nasional sekaligus menetapkan hari kelahiran Kartini, 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Meski begitu, perayaan Hari Kartini tidak semeriah Hari Valentine.

Beda Orientasi

Orientasi Hari Kartini dan Hari Valentine berbeda. Hari Kartini diambil dari hari kelahiran RA Kartini di Jepara, Indonesia, yang memperjuangkan terwujudnya emansipasi perempuan Indonesia. Pada sisi lain, Hari Valentine diambil dari hari dipenggalnya kepala St. Valentine atau Santo Valentinus di Roma, Romawi, yang melawan kebijakan Kaisar Claudius.

Bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan bagi bangsanya, itu tidak perlu diragukan. Dalam buku Door Duisternis tot Licht (1911) yang dihimpun J.H. Abendanon yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa serta dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran (1922) yang disusun Armijn Pane dkk, terlukis keinginan kuat Kartini untuk mengantarkan perempuan pribumi pada derajat yang sama dengan pria.

Pada usia 12 menjelang 13 tahun, Kartini mulai dipingit orang tuanya. Dia baru saja selesai belajar di Europese Lagere School (ELS) dan ingin melanjutkan sekolah dokter di Belanda, tetapi tidak diizinkan ayahnya. Dia pun belajar mandiri dan mengungkapkan keinginannya untuk membawa kemajuan bagi perempuan pribumi kepada sahabat-sahabatnya.

Di rumah, dia membaca koran, majalah, dan buku-buku bermutu. Koran De Locomotief dan majalah De Hollandsche Lelie merupakan menu bacaannya. Buku-buku berbahasa Belanda karangan Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de Jong van Beek, dan sebagainya juga menjadi menu bacaannya. Buku Max Havelaar karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, serta roman Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner bahkan dibacanya berkali-kali. Dari belajar mandiri itulah, Kartini tumbuh menjadi perempuan cerdas yang cekatan dalam berkorespondensi.

Ketika dinikahi Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada 12 November 1903, Kartini segera mendirikan sekolah perempuan di kompleks kabupaten dan Kartini sendiri yang menjadi gurunya. Jadi, peringatan Hari Kartini lebih berorientasi pada emansipasi perempuan Indonesia.

Valentine berbeda dengan Kartini. Kaisar Claudius membuat kebijakan tidak boleh ada perkawinan pria dengan perempuan karena mengakibatkan para pria enggan menjadi prajurit kerajaan untuk menundukkan negara-negara sekitar.

St. Valentine melawan kebijakan Kaisar Claudius dengan tetap mengawinkan pria dengan perempuan yang saling mencintai. Ketika kegiatan itu diketahui kerajaan, Valentine ditangkap dan pada 14 Februari 269 M kepalanya dipenggal. Seperempat abad kemudian, tepatnya 496 M, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai Hari Valentine. Jadi, perayaan Hari Valentine lebih berorientasi pada ekspresi kasih sayang antara pria dan perempuan.

Kewajiban Pemerintah

Mengapa pada era globalisasi ini peringatan Hari Kartini semakin surut, tetapi perayaan Hari Valentine semakin meriah? Itulah permasalahan kita sekarang.

Mengenai Valentine, jawabannya sederhana. Perayaan itu meriah karena kelihaian marketing orang Eropa dan AS dengan menciptakan mitos-mitos baru seolah-olah yang mereka rayakan adalah pesan St. Valentine. Anak muda Jepang yang dulu tidak mengenal Hari Valentine sekarang getol merayakannya. Lebih dari itu, dalam merayakan, muncul tradisi baru yang disebut Girichoko, yakni kewajiban para perempuan memberikan hadiah cokelat kepada teman pria; seolah itu semua pesan St. Valentine.

Masyarakat Taiwan dulu juga tidak mengenal Hari Valentine karena telah memiliki ’’Hari Raya Anak Perempuan’’ yang disebut Xi Qi. Namun, kini banyak anak muda Taiwan yang lebih senang merayakan Hari Valentine daripada Hari Raya Anak Perempuan.

Anak muda Indonesia pun cenderung demikian, lebih suka merayakan Hari Valentine daripada Hari Kartini. Merayakan Hari Valentine tentu tidak dilarang, tetapi jangan melupakan Hari Kartini.

Kalau kita ingin masyarakat antusias memperingati Hari Kartini seperti beberapa tahun lalu, pemerintah wajib memperbaiki ’’marketing’’ Hari Kartini. Pemerintah harus mampu mengondisikan peringatan Hari Kartini sembari meyakinkan masyarakat akan pentingnya mengimplementasikan konsep emansipasi perempuan di tengah-tengah era globalisasi sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar