Rabu, 29 April 2015

Mahalnya Memaknai Proses Hukum

Mahalnya Memaknai Proses Hukum

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO, 27 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada dua proses hukum yang patut ditelisik yang terjadi pada minggu ketiga April 2015. Pertama, saat terdakwa Sutan Bhatoegana dalam nota keberatan (eksepsi) yang ditulis sendiri berjudul ”Mahalnya Arti Sebuah Kejujuran” dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (20/4/2015). Kedua, saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) yang jadi tersangka dugaan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Saat BW diperiksa penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri (23/4/2015), heboh diberitakan di media online bahwa ia akan ditahan. Tapi setelah diperiksa selama 4 jam, Bareskrim Polri memutuskan tidak menahan BW. Alasannya karena BW dinilai kooperatif dalam menjalani pemeriksaan. Pembatalan penahanan menimbulkan pertanyaan, sebab sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwwa BW akan ditahan (KORAN SINDO , 24/4/2015).

Dugaan adanya intervensi dari luar sehingga BW tidak ditahan mencuat ke ruang publik. Boleh jadi karena ada kekhawatiran akan timbul riak politik dan kecaman publik, terutama dari para aktivis dan pengamat antikorupsi. Meskipun dibantah, pimpinan KPK juga menggelar konferensi pers atas kabar penahanan yang simpang-siur.

Menurut Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki, plt pimpinan KPK lainnya Johan Budi sudah menelepon langsung Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menanyakan perihal penahanan itu (Kompas , 24/4/ 2015).

Kapolri menyebut tidak ada penahanan terhadap BW karena selain belum ada hal yang urgen dan perlu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung soal kelengkapan berkas penyidikan, juga yang bersangkutan koperatif. Namun BW diharapkan oleh petinggi penegak hukum berbaju cokelat itu tidak memprovokasi penyidik dengan menyebut dirinya dikriminalisasi dan tetap bersikap kooperatif.

Substansi Kejujuran

Pada peristiwa pertama yang patut ditelisik, Sutan menyebut dirinya menjadi korban jargon KPK mengenai adagium yang selalu digaungkan ”berani jujur itu hebat”. Sutan mengaku ”ketika dirinya jujur, kok malah dijerat”. Penulis buku Ngeri-Ngeri Sedap Menggoyang Senayan yang cukup perspektif itu sepertinya mengeluarkan semua unek-uneknya di depan pengadilan.

Sutan menyebut dirinya selalu menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya sehingga banyak mendapat tawaran menjadi narasumber. Sebagai simbol politisi yang bersih, Sutan menyebut mendapat apresiasi dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberikan kata sambutan pada bukunya.

Sutan juga tidak memasalahkan dakwaan jaksa, hanya mengeluhkan apa yang dirasakan selama diproses KPK. Tentu Sutan mengkritik KPK atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi (hadiah) atau janji dari Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karyo saat menjabat sebagai ketua Komisi VII DPR periode 2009-2014.

Ia merasa selalu jujur dalam kehidupannya sesuai dengan keinginan KPK tentang kehebatan jika berani jujur, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat maupun dalaman mengelola kekuasaan. Tapi eksepsi Sutan dijawab Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Dody Sukmono, dalam sidang Pengadilan Tipikor (23/4/2015) bahwa eksepsi Sutan hanya curahan hati (curhat) atas kasus yang sedang membelitnya.

Memaknai substansi sebuah kejujuran, bisa saja dikaji dari sisi penggunaan justice collaborator (JC). JC merupakan salah satu cara yang diberikan dalam proses hukum dengan syarat secara sukarela bekerja sama dengan penyidik atau penuntut umum membongkar siapa saja yang terlibat dalam perkara pidana itu.

JC bisa diberikan sesuai dengan Surat Edaran MA Nomor 4/2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator yang diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama antara LPSK, Kejaksaan Agung, kepolisian, KPK, dan MA. Ada beberapa syarat penerapan JC dalam SE-MA tersebut.

Pertama, hanya berlaku pada tindak pidana tertentu, serius dan/atau terorganisasi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang serius, terorganisasi, bahkan kejahatan luar biasa lantaran melanggar hakhak sosial dan ekonomi rakyat. Kedua , pelakunya bukan pelaku utama dan mengakui perbuatannya. Ketiga, bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan untuk membongkar semua yang terlibat. Keempat, mengembalikan semua aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.

Apakah Sutan akan bekerja sama mengungkap siapa pelaku yang lain, sebab yang terbaca dalam eksepsinya bukan mengakui apa yang didakwakan? Tanpa bermaksud mendikte perkara itu karena ”asas praduga tak bersalah” harus dikedepankan, sikap jujur yang didengungkan itu tidak akan berarti apa-apa dari aspek pembuktian.

Sebab informasi dari pelaku JC akan dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan itu. Namun hal itu berguna bagi pelaku JC. Kesaksian dan informasinya akan meringankan hukumannya, bahkan dapat dibebaskan dari hukuman.

Pertimbangan Penahanan

Pada peristiwa kedua soal pertimbangan atau alasan tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan, perlu menyimak ketentuan KUHAP yang saya kira sudah sering didengar publik. Penahanan dikenakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.

Dalam Pasal 21 KUHAP diatur tentang syarat formal penahanan, yaitu harus ada surat perintah penahanan dan ditembuskan kepada keluarga yang ditahan sesaat setelah penahanan. Ada juga syarat materiil yang dibagi atas dua penilaian. Pertama, penilaian objektif, yaitu ada dugaan keras bahwa tersangka/ terdakwa telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Begitu pula tindak pidana yang dilakukan–termasuk percobaan dan pembantuan–diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat 4 hurufa KUHAP). Atau melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun penjara seperti diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) huruf-b KUHAP. Misalnya melanggar Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 372, atau Pasal 378 KUHPidana.

Kedua, penilai subjektif yang digunakan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang akan melakukan penahanan. Yang dinilai secara subjektif adalah (a) ada kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti, (b) ada kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, dan (c) ada kekhawatiran tersangka/terdakwa akan mengulangi tindak pidana yang dilakukannya.

Timbul pertanyaan publik, apakah tersangka yang berbicara di ruang publik atau disebut memprovokasi kalau dirinya ditetapkan tersangka karena diduga kriminalisasi, bisa dijadikan dasar dan alasan penahanan? Ini tidak dijelaskan dalam KUHAP, kecuali dinilai lagi secara subjektif memengaruhi penyidikan.

Tapi kebiasaan selama ini di KPK, tersangka ditahan–kecuali tertangkap tangan–apabila berkas perkara penyidikan atau pemeriksaan (BAP) sudah mendekati rampung dan siap dilimpahkan ke penuntutan. Boleh jadi KPK beralasan karena saat BAP dinyatakan lengkap oleh jaksa pemeriksa, semua barang bukti dan tersangka harus diserahkan.

Apakah seperti itu yang terjadi pada BW sehingga sempat beredar berita akan ditahan meski BAP belum dilimpahkan ke kejaksaan? Kalau memang penilaian subjektif penahan terpenuhi, itu kewenangan penyidik.

Mengenai klaim dugaan kriminalisasi, tentu harus dibuktikan dalam proses hukum, mulai dari penyidikan sampai pembuktian di depan sidang pengadilan, apakah dakwaan terbukti atau tidak. Ternyata begitu mahal memaknai proses hukum di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar