Rabu, 22 April 2015

Mantra Membangun Desa

Mantra Membangun Desa

Ismail Hasani  ;   Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;  Direktur Riset Setara Institute
KOMPAS, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Promosi ”1 desa 1 miliar” pada Pemilu 2014 adalah mantra politik yang diucapkan dalam banyak pertemuan politik saat itu. Meski materi itu bukanlah gagasan para kandidat, melainkan bersumber dari UU No 6/2014 tentang Desa, daya tarik materi kampanye itu sempat memukau masyarakat yang mengimpikan pembangunan desa dengan paradigma desa membangun menuju kesejahteraan dan keadilan.

Secara sederhana, paradigma ini bertolak dari pengakuan negara atas otoritas desa sebagai satu kesatuan hukum yang otonom. Desa bukan obyek pembangunan, melainkan subyek yang bisa mandiri, termasuk mendesain sektor pembangunan mana yang paling prioritas bagi sebuah desa. Tugas negara terbatas pada penyediaan alokasi dana dan berbagai standar, sementara tugas membangun diserahkan kepada desa.

Meskipun desa membangun bukan paradigma baru, karena sebelumnya telah menjadi praktik di desa-desa di beberapa wilayah, kehadiran UU Desa telah menjadi spirit baru pembangunan pedesaan. Sebelumnya pembelajaran juga diperoleh dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan yang berlangsung selama 10 tahun. Meskipun paradigmanya sentralistis, model dan pendekatan PNPM Mandiri dalam pengambilan keputusannya mengadopsi paradigma desa membangun.

PNPM Mandiri telah berkontribusi pada peningkatan pengetahuan kepala desa dan pelaku pemberdayaan desa dengan prinsip kerja partisipatif dan orientasi pembangunan inklusif.

Menguji mantra

Begitu pemerintahan baru terbentuk, tekad UU Desa menyejahterakan masyarakat langsung menghadapi sejumlah ujian. Ujian pertama terkait dengan kewenangan kementerian yang menangani urusan desa. Ketegangan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ini berjalan hampir enam bulan dan baru selesai setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan dua peraturan presiden, yaitu Perpres 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Perpres 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dua peraturan yang merupakan penegas dari Perpres 165/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja pada intinya mengatur kewenangan dua kementerian terkait dengan desa. Kemendagri akan tetap memiliki kaki hingga ke desa yang dikelola Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, sedangkan Kementerian Desa akan mengurus urusan desa selain soal pemerintahan.

Jalan tengah ala Jokowi ini dianggap solusi politik tepat, tetapi tetap menyisakan potensi masalah hukum karena membonsai otonomi desa dengan tetap menjadikan desa sebagai unit pemerintahan paling rendah di bawah Kemendagri yang menganut rezim hukum pemerintahan daerah. Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang otonom dalam NKRI.

Selain itu, potensi lapangan muncul terkait kepatuhan kepala desa pada standar-standar yang dikeluarkan dua kementerian. Namun, setidaknya langkah Jokowi ini telah memutus kebekuan pembangunan desa sehingga akselerasi pembangunan desa bisa segera berjalan.

Ihwal akuntabilitas dana desa adalah ujian kedua implementasi UU Desa. April 2015 adalah awal implementasi UU Desa, khususnya tahap awal pencairan dana desa. Pada tahap awal, desa baru akan memperoleh alokasi Rp 250 juta-Rp 280 juta. Jumlah ini pun dibatasi penggunaannya sesuai dengan standar prioritas pembangunan desa, yang tertuang dalam Permendes 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Pencairan dana juga baru bisa dilakukan setelah desa melengkapi dokumen pokok RPJM Desa, APBDesa, dan RKP Desa. Untuk pemenuhan dokumen, atas bantuan fasilitator PNPM dan inisiatif para kepala daerah, desa-desa hampir semuanya telah memenuhi.

Namun, potensi ujian justru datang dari pemerintahan desa. Memang tidak pada tempatnya pemerintah meragukan kemampuan pemerintah desa dalam mengelola keuangan. Namun, pembelajaran praktik PNPM menunjukkan bahwa dana pemberdayaan sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi di lapangan tidak banyak dirasakan masyarakat. Betul bahwa hanya di angka 0,5 persen tingkat korupsi dana PNPM (data 2012), tetapi dari berbagai kasus yang muncul, cukup bagi Kementerian Desa menjaga marwah pembangunan desa dengan standar akuntabilitas yang tinggi. Tantangan akuntabilitas ini harus dijawab oleh Kementerian Desa dengan mencipta atau mengadopsi model-model pengawasan yang telah diinisiasi PNPM atau masyarakat sipil.

Memastikan dana desa tidak dikorupsi oknum pemerintahan desa dan pemerintahan daerah tidak cukup mengandalkan pendamping yang akan direkrut oleh Kementerian Desa secara massal. Rekrutmen dalam jumlah besar, dengan kompensasi yang lumayan tinggi untuk standar sarjana, jelas berpotensi memunculkan masalah. Apalagi, standar tenaga pendamping yang ditetapkan oleh Permendes 3/2015 jauh lebih longgar dibandingkan dengan standar yang tercantum dalam UU Desa.

Marwah desa

Mantra ”1 desa 1 miliar” memang tak mudah direalisasikan dalam tahun 2015-2016. Menteri Marwan Jafar menjanjikan baru pada 2018 dana desa bisa digenapi sesuai dengan mantra politik membangun desa seperti saat pemilu. Bahkan, jumlahnya hingga Rp 1,4 miliar sesuai dengan persentase alokasi dana dalam skema APBN pada setiap tahunnya. Mantra yang teruji secara bertahap ini bisa dimaklumi mengingat tingkat kesiapan desa yang variatif dan penerapan standar akuntabilitas tinggi dari penggunaan dana desa. Sebagai dana yang bersumber dari APBN, pengelolaan dana desa tunduk pada rezim hukum keuangan negara, di mana ia harus dikelola dengan standar akuntansi negara, termasuk menjadikan dana tersebut sebagai obyek audit BPK dan BPKP.

Dana desa berbeda dengan dana yang bersumber dari tanah bengkok. Jika pada masa sebelumnya sumber dana dari tanah bengkok menjadi otoritas penuh kepala desa, dalam skema UU Desa, dana ini harus dikelola secara transparan, akuntabel, berbasis perencanaan, dan menjadi obyek audit.

Berbagai ujian yang muncul harus dikelola secara sehat, solutif, dan berintegritas. Menteri Desa tak perlu ragu membuat jaring pengaman berlapis meski berdampak pada keterlambatan karena menjaga marwah pembangunan desa jauh lebih utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar