Kamis, 30 April 2015

Mary Jane, Hukuman Mati yang Tertunda

Mary Jane, Hukuman Mati yang Tertunda

Tri Agung Kristanto  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Demikianlah pesan mantan Hakim Agung Bismar Siregar terkait dengan kemungkinan keraguan hakim dalam membuat putusan.

Peringatan Bismar itu terasa mendapatkan tempat ketika pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla giat menetapkan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati, khususnya dalam kasus peredaran gelap narkoba. Dalam dua kali pelaksanaan eksekusi, kegaduhan selalu menyertainya.

Kegaduhan tak hanya terjadi di dalam negeri karena masih ada warga yang bersikap pro dan kontra terhadap hukuman mati, tetapi juga terjadi di luar negeri. Masyarakat internasional bereaksi karena sebagian besar terpidana mati yang dieksekusi dalam dua kejadian di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, dan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, adalah warga negara asing.

Walaupun pemerintahan Jokowi-Kalla baru berlangsung enam bulan, Jokowi-Kalla sudah dua kali melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati, yaitu pada 18 Januari dan 29 April lalu. Sebanyak 14 narapidana mati telah dieksekusi. Semula ada 16 terpidana yang akan dieksekusi. Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Sebagian tertunda karena berbagai alasan.

Di Indonesia, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly, pada Januari lalu terdapat tidak kurang 133 terpidana mati. Mereka terdiri dari 57 narapidana mati untuk kasus narkoba, 2 terpidana mati kasus terorisme, dan 74 narapidana mati perkara pidana umum, misalnya pembunuhan berencana.

Selain memiliki narapidana mati, Kementerian Luar Negeri melaporkan, hingga Februari lalu tercatat 229 warga negara Indonesia terancam dieksekusi mati di Malaysia, Tiongkok, dan Arab Saudi. Sebagian besar dari warga negara Indonesia itu, 131 orang terancam dieksekusi mati karena terlibat kasus narkoba. Mereka memerlukan pembelaan dari pemerintah agar terbebas dari hukuman mati itu.

Mary Jane lolos

Dalam pelaksanaan eksekusi Rabu (29/4) dini hari di Nusakambangan, perhatian khalayak lebih banyak tersedot pada terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso. Mary Jane bersama Serge Areski Atlaoui asal Perancis dan Myuran Sukumaran (Australia) sebenarnya termasuk yang akan dieksekusi pada Januari lalu. Namun, mereka batal dieksekusi karena tengah mengajukan upaya hukum untuk menghindari dari regu tembak.

Serge namanya kembali dikeluarkan dari daftar yang harus dieksekusi Rabu lalu karena masih mengajukan upaya hukum menggugat keputusan presiden yang menolak permohonan grasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, diduga tekanan besar dari Pemerintah Perancis-lah yang membuat Serge, yang disebut-sebut sebagai ahli peracik ekstasi dan sabu, terhindar lagi dari eksekusi. Apalagi, PTUN Jakarta, Selasa lalu, menolak gugatan Serge.

Sementara Mary Jane dan Myuran kembali akan dieksekusi karena permohonan grasi dan peninjauan kembali (PK) perkaranya telah ditolak oleh Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Myuran, yang disebut sebagai bagian dari jaringan pengedar narkoba "Bali Nine", akhirnya dieksekusi bersama tujuh terpidana mati lainnya, termasuk Zainal Abidin, satu-satunya terpidana mati asal Indonesia, Rabu dini hari.

Mary Jane yang sudah berada di Nusakambangan tak jadi dieksekusi karena ada perintah dari Presiden Jokowi untuk membatalkannya. Sebuah bukti baru, selain besarnya tekanan dari masyarakat internasional dan nasional, yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu tertahan. Selasa, Maria Kristina Sergio, yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.

Fakta baru itu, misalnya, mendorong anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Charles Honoris, mendesak Presiden Jokowi membatalkan eksekusi terhadap Mary Jane. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pun meminta eksekusi terhadap Mary Jane dibatalkan. Presiden yang sempat bertemu dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, Selasa, di Jakarta, sebenarnya sudah menyerahkan pelaksanaan eksekusi itu kepada eksekutor (jaksa). Namun, pada detik-detik terakhir Jokowi membatalkan keputusannya itu.

Langkah Presiden tersebut sejalan dengan peringatan yang disampaikan Bismar Siregar. Ada potensi kesalahan dalam putusan terhadap Mary Jane. Potensi kesalahan putusan itu pun sebenarnya juga ada pada kasus Zainal Abidin, yang oleh polisi yang memeriksanya disebutkan bekerja jual-beli ganja. Profesi yang tak masuk akal. Sekalipun bekerja seperti yang disebut polisi, tak mungkin seorang tersangka atau terdakwa mengakui.

Pembelaan untuk Zainal kini sudah terlambat. Namun, untuk Mary Jane masih terbuka peluang untuk meluruskan putusan hakim jika memang ada kesalahan. Namun, dalam hukum, memang lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada memenjarakan seorang yang tak bersalah.

Kini, kejaksaan tinggal menunggu proses hukum terhadap Maria Kristina di Filipina untuk terus atau tidak eksekusi terhadap Mary Jane. Di sisi lain, Mary Jane dapat memakai pengakuan Maria Kristina, yang mungkin saja menjebaknya, sebagai bukti baru (novum) untuk kembali mengajukan PK.

Saatnya mengevaluasi

Lepas dari benar atau tidak putusan hakim terhadap Mary Jane, keputusan penundaan eksekusi itu melegakan berbagai kalangan, terutama keluarganya. Namun, bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum di Indonesia, kondisi itu seharusnya menjadi saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali kebijakan eksekusi terhadap terpidana mati, termasuk penerapan hukuman mati.

Bagi terpidana mati kasus narkoba yang terus mengulangi perbuatannya, termasuk mengoordinasikan peredaran gelap narkoba dari dalam penjara dengan bantuan oknum aparat, seperti yang ditunjukkan Freddy Budiman, masyarakat tentu tak akan keberatan jika eksekusi segera dilaksanakan. Namun, untuk terpidana mati yang tidak segera dieksekusi dan telah menunjukkan perbaikan perilaku dan penyesalan yang luar biasa, Presiden bisa menunjukkan penghargaannya dengan memberikan keringanan hukuman, menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman dengan waktu tertentu (20 tahun).

Mahkamah Konstitusi (MK) memang menyatakan hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia tak bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak hidup setiap warga negara. Namun, MK mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan hukuman mati itu, misalnya dengan memberikan masa waktu penantian. Jika dalam 10 tahun, misalnya, seorang terpidana mati menunjukkan perilaku yang baik, bisa saja hukuman itu diubah. Prinsipnya, manusia memang tidak berhak untuk menentukan hidup atau mati manusia lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar