Sabtu, 25 April 2015

Memimpin Perubahan Otonomi

Memimpin Perubahan Otonomi

Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
KOMPAS, 25 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Amanat Menteri Dalam Negeri pada peringatan Hari Otonomi Daerah XIX mengambil tema selaras dengan semangat Nawacita Presiden Joko Widodo "Menghadirkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis dan Melayani Masyarakat".

Meski terbilang seremoni besar di instansi pemerintah, disertai pembacaan amanat Mendagri hingga ke daerah, tak banyak warga di negeri ini tahu apalagi ikut merayakan hari besar ini.  Mungkin lantaran publik-terutama yang berada di pinggir secara geografis, seperti desa dan daerah kepulauan maupun secara kebijakan, seperti lapisan warga marjinal-sudah lama tak merasakan kehadiran negara. Negara memunggungi mereka, tak terurus dan bergulat sendirian dengan pahitnya realitas keseharian. Pengabaian justru kerap terjadi lewat politik eksploitasi, aksi perburuan rente, atau pun gerak lamban dan sikap "malas mau tahu" dari pemerintahan yang tak bekerja.

Terjemahan bermasalah

Butir ketiga Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran, sejatinya tidak saja menjadi jawaban normatif (yang sudah kerap kita baca dari rekomendasi kajian para pakar atau retorika pejabat birokrasi), tetapi merupakan terobosan struktural pada tingkat kebijakan negara. Bayangkan, puluhan tahun kita meyakini strategi fokus pada sejumlah pusat pertumbuhan, kini negara hendak hadir justru dari pinggir lewat penguatan desa dan daerah.

Sayangnya, biang klasik yang terus berulang terjadi di negeri ini, gagasan besar demikian terbukti belum menggema kuat di bilik-bilik racikan strategi dan instrumentasi kebijakan pada level kementerian hingga pemerintah daerah. Sumbatan, setidaknya dukungan yang tak disertai langkah gegas, membuat resonansi perubahan berpantul lemah. Sebagian aktivis, pengamat, dan media menengarai: bahkan pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, sebagai instrumen perencanaan induk lima tahun ke depan, elan perubahan tersebut belum optimal digelorakan secara teknokratik.

Yang lebih mencemaskan, pantulan lemah dan gerak lamban terlihat lebih terang lagi pada strategi operasional birokrasi. Dalam kasus transfer dana desa, meski kebijakan utama, seperti UU, PP, hingga peraturan menteri sudah disiapkan, mesin birokrasi tak kunjung bekerja dalam kekuatan penuh di level implementasi: sangat lamban dan terkesan saling lempar tanggung jawab. Hingga akhir April, baru 28 dari 416 kabupaten memperoleh transfer pusat. Masalahnya tak semata teknis, tetapi berkenaan lemahnya komitmen dan kesiapan instrumentasi kebijakan baik di Dirjen Perimbangan Keuangan maupun pemda yang masih enggan menata persiapan operasional dan peraturan bupati sebagai syarat alokasi dana.

Setali tiga uang, ikhtiar menghadirkan negara lewat instrumen fiskal di tingkat pemda menempuh jalan tak kalah sulit. Setiap tahun, pemerintah memang terus menambah alokasi ke daerah, terutama melalui dana perimbangan. Namun, hingga otonomi mulai menginjak usia matang saat ini, pertambahan secara nominal ini sesungguhnya tak mendongkrak persentase alokasi dan lebih lagi belum sepadan dengan beban urusan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi dimaknai pembebanan tugas, bukan pelimpahan urusan.

Desain desentralisasi fiskal ini berhulu pada kebijakan nasional dan tentu jauh dari ide "politik anggaran" Jokowi. Dan, seolah menggenapi desain ini, tata kelola (manajemen) keuangan di banyak daerah sejauh ini masih sulit keluar dari segi tiga masalah klasik: proporsi alokasi yang memberat ke belanja birokrasi ketimbang belanja publik, daya serap anggaran yang tak optimal dengan menyisakan sisa lebih penggunaan anggaran dan dana "menganggur' di perbankan, serta sikap tak disiplin dalam penyusunan RAPBD hingga  mala-administrasi (berbasis opini BPK) dan korupsi anggaran yang menyeret 331 kepala/wakil kepala daerah dan 3.169 anggota DPRD yang pernah/sedang menjabat sejak 2005 hingga saat ini tersangkut masalah hukum. Kombinasi bermasalah sisi desentralisasi fiskal dan manajemen keuangan di atas membuat APBD sejauh ini masih sulit diandalkan sebagai sumber pembiayaan bagi layanan publik, stimulus ekonomi, dan kinerja pembangunan secara umum.

Memimpin perubahan

 Mendagri mengamanatkan penyelesaian aneka masalah otonomi, termasuk terjemahan bermasalah di atas, pada tingkat teknokratik. Sebagian poin yang disampaikan pada naskah pidato 27 April 2015, antara lain, penguatan kapasitas regulasi di daerah dan kelembagaan yang diisi SDM aparatur profesional. Tentu amanat ini tak salah, dan memang sejalan kapasitas sebagai menteri, namun jelas jauh dari cukup. Solusi pada level mikro-organisasional demikian sudah diambil sebagai jalan kebijakan selama ini, dan hasilnya otonomi belum membawa kita ke mana-mana, alih-alih membawa rakyat masuk dalam sistem permainan malah terus terlempar ke garis tepi pembangunan, serta belum mengantar kesejahteraan ke seantero Nusantara hingga garis batas terjauh di Marore dan Miangas pada belahan utara.

Gagasan kemajuan besar, bahkan terbilang revolusi struktural dalam Nawacita, meniscayakan hadirnya pemimpin perubahan dan perangkat pendukung [sistem] yang solid dan determinatif. Presiden sendiri yang mesti memandu perubahan, termasuk mengambil risiko atas segala konsekuensi. Menimbang magnitude perubahan yang diusung di tengah profil kekuatan politik dalam formasi kabinet, legislatif dan corak asimetris kepemimpinan lokal, kapasitas resume power wajib dimiliki dan dikapitalisasi Presiden.

Tidak ada otoritas yang bisa membetulkan terjemahan bermasalah pada instrumentasi kebijakan, baik aras fiskal, perencanaan, dan operasional di level kementerian hingga daerah, kecuali-sesuai amanat konstitusi-Presiden sebagai sumber kekuasaan dan penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan di Republik ini. Kerasnya "rebutan desa" antara Kemendagri dan Kemendesa awal Januari 2015, misalnya, menunjukkan Presiden justru absen dan terkesan membiarkan para pembantunya bertengkar sendiri, sebelum akhirnya terbit regulasi yang terlambat dan mengatur jalan kompromi yang jauh dari jalan pembaruan yang diusung UU desa.

Pada level kepemimpinan berikutnya adalah Mendagri. Sebagai pembina umum pemerintahan daerah, Mendagri memiliki tugas dalam koordinasi kebijakan sektoral kementerian (termasuk aspek fiskal dengan urusan) maupun vertikal pusat dan daerah dan antarelemen di daerah itu sendiri (kepala daerah dan DPRD). Sejauh ini, kualitas kepemimpinan demikian tak tampak menonjol, bahkan pada penyelesaian sebagian kasus yang mestinya berada dalam domain menteri justru didelegasikan ke otoritas lebih rendah. Dalam perkara relasi pusat-daerah, maupun koordinasi di pusat antara rezim sektoral dengan rezim otonomi, UU No 23/2014 sejatinya menjadi modal amat kuat bagi Mendagri untuk memandu segala inisiasi menuju desentralisasi yang efektif dan akuntabel.

Kepemimpinan bagi perubahan dalam bidang otonomi, setidaknya pada setahun-dua ke depan, berada pada tangan Presiden dan Mendagri. Transformasi ke kekuatan berbasis sistem, yakni birokrasi pusat dan pemda, sulit berlangsung jika determinasi belum tampak pada kedua elemen jabatan ini. Kalau tetap seperti hari ini, jangan-jangan ikhtiar menghadirkan negara itu tak lain berwujud hadirnya para kandidat kepala daerah disertai segala atribut politik mereka pada 269 daerah sepanjang paruh kedua 2015 hingga awal 2016. Rakyat memang merasakan kehadiran mereka, lewat hiburan di panggung kampanye, transaksi suara atau janji kosong lain. Namun, kita semua tahu, kalau semua itu sesaat dan manipulatif.

Sesudah politik, dengan segala ingar-bingarnya, posisi rakyat tetap tak terjawab dalam semesta sistem otonomi kita. Negara tetap dan terus tak hadir, apalagi di pinggiran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar