Selasa, 21 April 2015

Menyegarkan Pemikiran Feminisme di Indonesia

Menyegarkan Pemikiran Feminisme di Indonesia

Farid Muttaqin  ;  Mahasiswa Doktoral, Departemen Antropologi,
State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, AS
KOMPAS, 21 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak sekali Indonesia dijadikan rujukan sebagai gerakan feminisme progresif dalam perjuangan melawan patriarkisme, misoginisme, dan seksisme.

Meski turunan dari ketiga sumber diskriminasi dan kekerasan seksual dan jender tersebut sangat kompleks, seperti politik jender dan seksualitas negara, fundamentalisme dan konservatisme agama, tradisionalisme sosial-budaya, gerakan feminisme kita dinilai memiliki kemampuan dalam menantang masalah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan gerakan feminisme kita yang sanggup menggabungkan aktivisme politik dan aktivisme intelektual, dan itu sudah berlangsung sejak awal sejarahnya.

Politik jender

RA Kartini menggagas pendidikan perempuan, salah satunya atas dasar perenunganintelektual tentang budaya feodalisme Jawa yang tidak emansipatorik yang berpusatpada sistem aristokrasi lokal. Nyai Walidah Ahmad Dahlan juga demikian. Demi ikut sertadalam gerakan pembaruan pemikiran Islam yang digagas Kiai Ahmad Dahlan, Nyai Walidah menginisiasi pendidikan agama bagi perempuan Muslim di Yogyakarta. Nyai Walidah secara langsung sedang menantangotoritas keislaman patriarkat. Tentu saja, Kartini dan Walidah menjadi bagian penting dari gerakan nasionalisme Indonesia meski dalam bentuk yang berbeda.

Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menerapkan politik jender dan seksualitas dengan mengenalkan ideologi ibuisme negara: formalisasi visi dan misi keperempuanan yang tradisional sebagai ideologi jender dan seksualitas negara. Soeharto melanggengkan peran jender berdasarkan jenis kelamin melalui, misalnya, UU Perkawinan (UU No 1/1971) dan pembentukan organisasi istri para pegawai pemerintahan. Soeharto menstigma Gerwani sebagai contoh kelompok perempuan sesat karena terlalu aktif dalam ”berpolitik” dan mengabaikan tugas tradisionalnya sebagai istri dan ibu. Yang hebat, gerakan feminisme Indonesia di masa Soeharto mampu memahami politik jender dan seksualitas seperti itu dan akhirnya menjadi bagian penting gerakan melawan rezim Orde Baru dengan menekankan dimensi ketidakadilan jender dan diskriminasi seksualitas sebagai ”misi” perjuangan.

Salah satu pencapaian penting pasca-Orde Baru adalah berkembangnya penafsiran Al Quran berperspektif feminisme atau tafsir sensitif jender. Agenda ini menjadi upaya sangat progresif dalam menantang dan melawan penggunaan sumber-sumber keagamaan sebagai argumen dan legitimasi pandangan dan perilaku patriarkat, misoginis, seksis, dan bias jender.

Dalam agenda ini tersirat kesadaran dan pemahaman di kalangan para aktivisnya jika penggunaan sumber keislaman seperti itu merupakan indikasi politisasi agama, terutama di kalangan pengikut fundamentalisme dan konservatisme agama. Apalagi, juga disadari, negara di era reformasi ini lebih sering terlihat diam dan abai terhadap persoalan ini. Tanpa kemampuan menggabungkan aktivisme politik dan intelektual akan tidak mudah terlibat intensif dalam agenda tafsir keislaman yang berperspektif feminisme ini.

Lalu, mengapa perlu menyegarkan (lagi) pemikiran feminisme? Saya melihat, di luar pencapaian dan keberhasilan di atas, ada satu bagian dalam gerakan pemikiran feminisme kita yang mengalami stagnasi, yaitu terkait pembelajaran tentang jender dan seksualitas, dan oleh karena itu perlu penyegaran atau pembaruan.

Salah satu pusat belajar (learning center) jender dan seksualitas adalah pelatihan jender atau pelatihan sensitivitas jender yang difasilitasi banyak organisasi feminis. Pelatihan jender ini juga menjadi salahsatu media utama ”pengaderan” bagi mereka yang akan dan ingin terlibat dalam gerakan feminisme. Media lain yang cukup populer sebagai pembelajaran jender dan seksualitas adalah diskusi warga, yang menyertakan berbagai kelompok komunitas, seperti majelis taklim, arisan, dan pelajar.

Saya termasuk terlibat langsung dalam pelatihan jender ini, baik sebagai ”kader” maupun akhirnya sebagai ”fasilitator”. Karena pengalaman ini pula saya melihat stagnasi dalam aspek pembelajaran jender ini.

Pertama dan utama, stagnasi tersebut terkait materi yang tidak (banyak) mengalami perubahan. Hampir dalam setiap kegiatan pelatihan dan diskusi warga kita mengenalkan pengetahuan jender dan seks dalam cara pikir dualisme yang simplistis. Misalnya seks adalah perbedaan atas dasar biologis dan jender adalah perbedaan hasil proses sosial-budaya.

Sekarang ini pengetahuan tentang jender dan seks sudah berkembang sangat pesat. Salah satu perkembangan paling berpengaruh adalah tentang keterkaitan dinamis dan kompleks, tidak lagi dualistik, dalam konstruksi jender dan seksualitas.

Sedikit contoh, banyak pandangan kita tentang ”seks” yang selama ini melulu ”biologis” sesungguhnya dipengaruhi sistem sosial, budaya, dan politik. Teknologi ”memilih jenis kelamin” lewat in vitro fertilization (IVF) yang merefleksikan pandangan determinasi biologis terhadap konstruksi jender juga menjadi bahan analisis bagi perkembangan pengetahuan jender dan seks yang menekankan keterkaitan dinamis dan kompleks antara keduanya.

Kita harus menyadari, isu-isu terkait jender dan seks berkembang pesat. Hal ini dengan sendirinya menuntut kita ”memperbarui” pengetahuan dan pemikiran kita tentang keduanya sehingga bisa memberi jawaban lebih relevan terhadap persoalan yang berkembang.

Media kaderisasi

Sebagai media kaderisasi, pembelajaran jender pada tingkat dasar seharusnya sudah sangat menekankan aspek politik jender. Di sini, penting sekali membangun kemampuan analitis para kader tentang bagaimana jender dan seksualitas menjadi alat dan target politik dan politisasi rezim tertentu di semua level, yang setiap saat juga mengalami perubahan.

Dengan pendekatan pengetahuan jender dan seks yang dualistis dan statis, saya melihat, akan sulit menghadirkan proses pembelajaran yang bisa menyentuh aspek politik jender secara komprehensif.

Ini sekadar contoh yang diperlukan dalam pembaruan pembelajaran jender, bagian dari upaya penyegaran pemikiran feminisme kita. Diharapkan, dengan penyegaran seperti ini, kita akan memiliki ”kader” gerakan feminisme yang memiliki analisis politik kuat sekaligus mampu membangun argumen komprehensif dalam merespons berbagai bentuk politisasi jender dan seksualitas. Tradisi ”mengintegrasikan” aktivisme politik dan akademik sebagai kekuatan gerakan feminisme kita dengan demikian juga akan terus berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar