Selasa, 28 April 2015

Pemimpin yang Indah

Pemimpin yang Indah

Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS, 28 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kisah ilustratif berikut menunjukkan betapa kepemimpinan sangat menentukan nasib sebuah organisasi.

Apple mendunia dan sukses fenomenal setelah Steve Wozniak berpadu dengan Steve Jobs. Richard dan Maurice McDonald mendirikan McDonald's, tetapi setelah mereka bertemu Roy Kroc, McDonald's jadi mendunia. Konon, ada satu faktor determinan yang membuat Apple dan McDonald's mendunia, yaitu kepemimpinan Steve Jobs dan Roy Kroc. Itulah sebabnya muncul sebuah paradigma spesifik dalam ilmu perilaku organisasi: apabila kinerja sebuah organisasi menurun atau tak produktif, langkah paling awal dan efektif untuk dilakukan adalah mengganti pemimpinnya.

Tak luput organisasi yang bernama Indonesia. Maksudnya, faktor kepemimpinan akan sangat menentukan gagal atau suksesnya Indonesia sebagai sebuah negara. Dan ternyata salah satu kunci kebesaran seorang pemimpin adalah keberanian. Keberanian di sini bukan secara harfiah dan sempit, misalnya keberanian untuk berperang, melawan, menaklukkan, dan lainnya. Namun, keberanian untuk mendengarkan  nurani kepemimpinan atau inner voice (Stephen Covey) dan menjalankannya tanpa kompromi.

Berdasarkan faktor keberanian mendengarkan nurani diri ini, ada dua jenis pemimpin. Pertama, pemimpin konsensus, yaitu pemimpin yang menerima dan menjalankan tugas kepemimpinannya sebagai kewajiban. Mekanisme kerja kepemimpinannya dilandasi prinsip penawaran diri, transaksional. Artinya, seorang pemimpin melakukan tawar-menawar sehingga usaha, kerja, dan kinerja kepemimpinannya selalu dihubungkan seberapa besar hasil/risiko yang ia dapatkan.

Pemimpin konsensus yang memandang kepemimpinan sebagai kewajiban ini biasanya akan lari dari tanggung jawab jika menghadapi risiko atau bahaya. Atau, jika dirasakannya penghargaan lebih kecil daripada tugas dan risiko yang diemban, mereka menjalankan tugas seadanya, ala kadarnya dan pada titik tertentu akan memilih sikap untuk diam dan permisif meski sadar bahwa kepentingan organisasi yang (lebih) besar sedang dikorbankan.

Gejala para pemimpin konsensus ini bermacam-macam, tapi intinya mereka akan selalu memperhitungkan bobot rasa aman kepemimpinan dibandingkan risiko yang harus dihadapi. Ekspresi kepemimpinan konsensus itu sangat tipikal seperti misalnya "saya hanya menjalankan tugas saya (karena tahu berhadapan dengan risiko melawan arus besar atau tidak populis), nothing to lose (biasanya dalam kondisi kepepet dan harus menjaga gengsi pribadi), saya tidak boleh melakukan intervensi (karena tahu intervensi itu akan mengusik rasa aman kepemimpinannya)". Pendeknya, keberanian para pemimpin konsensus ini sebatas pada "kewajiban" yang dihitung setara dengan penghargaan yang mereka terima, atau risiko yang dihadapi. Bahkan ia akan menentang nurani kepemimpinannya (inner voice) meski diyakininya benar. 

Kedua, pemimpin kontributif, yakni pemimpin yang memiliki keberanian untuk mendengarkan nuraninya sekaligus menjalankan nyaris tanpa kompromi. Sebagai dampaknya, pemimpin kontributif berani dan mampu melawan arus besar, suara mayoritas, suara partai, bahkan termasuk "otoritas" yang lebih tinggi (jika ada, baik itu otoritas individual maupun institusional). Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition-ungkapan kepemimpinan Steve Jobs inilah yang menentukan kebesaran dirinya sebagai pemimpin Apple.

Nurani kepemimpinan

Dalam skala berbeda, John F Kennedy (JFK) adalah contoh relatif sempurna terkait konteks tulisan ini. Bahkan JFK disebut sebagai Profile in Courage-sesuai buku yang ditulisnya-bertutur tentang delapan senator pemberani dari berbagai partai (John Quincy Adams, Daniel Webster, Thomas Hart Benton, Sam Houston, Edmund G Ross, Lucius Lamar, George Norris, dan Robert A Taft) yang mampu mempertahankan sikap sesuai pilihan yang dianggap benar meski harus bertentangan dengan kemauan orang banyak, atau tekanan apa pun lainnya. Meski untuk itu, mereka harus mengorbankan karier dan popularitas politik mereka. Artinya, semua risiko dan rasa aman kepemimpinan dikorbankan demi kepentingan lebih besar yang disuarakan oleh hati nuraninya.

Peter F Drucker menyebutkan tugas utama seorang pemimpin adalah melakukan hal yang benar, bukan melakukan sesuatu dengan benar. Dari semua uraian itu, kita paham betapa langkanya pemimpin seperti itu di Indonesia. Kita telah memilih Joko Widodo (Jokowi), dan sejak awal kita berharap ia mampu menjadi pemimpin kontributif. Namun, segenap output kepemimpinannya selama beberapa bulan ini- sampai sikap permisif selama Kongres PDIP di Bali lalu-menunjukkan sebagai presiden ia masih dalam tataran pemimpin konsensus.

Kepatuhan, loyalitas, sikap permisifnya-bukan cuma soal karakter pemimpin Jawa yang santun dan tepa selira-tapi soal keberanian untuk mendengarkan nuraninya dan melakukan sesuatu atas kepemimpinannya sendiri. Dia sadar bahwa kepemimpinannya yang selama ini lebih banyak dikendalikan oleh tekanan partai, senioritas pemimpin partai, dan tekanan arus besar lainnya membuat  output kepemimpinannya tak efisien dan tak efektif untuk kepentingan bangsa. Dia juga sadar, sikap kepemimpinannya yang permisif sungguh membuat dirinya sebagai personifikasi simbol kepala pemerintahan dan negara dijatuhkan. Mungkin Jokowi telah melakukan kewajibannya dengan benar (permisif, patuh). Namun, ia melalaikan tugas utamanya sebagai pemimpin, yaitu melakukan sesuatu yang benar (versi Drucker). Dia belum menjadi profile in courage (versi JFK).

Jokowi orang baik, tetapi ia perlu punya keberanian untuk mendengarkan nurani kepemimpinannya, sekaligus menjalankannya tanpa kompromi, bahkan jika untuk itu harus mengorbankan popularitas dan karier kepemimpinannya. Namun, pada titik itu, Jokowi akan dihormati dan dikenang sebagai pemimpin kontributif bagi bangsa ini. Mengadaptasi Dr Chaterine Roberts: pemimpin, melalui pengetahuan keinsanian yang unggul, bisa mengetahui apa arti menjadi seorang pemimpin, yaitu jika ia bisa memberikan sumbangsih (kontribusi) pada kehidupan dan kepemimpinannya. Dengan sumbangsih itu, ia seinsani-insaninya pemimpin, alangkah indahnya.

Kita pernah memiliki pemimpin insani yang indah, seperti Hoegeng atau Hatta. Dan sampai batas tertentu, sekarang salah satunya ada Menteri Susi Pudjiastuti yang berani mengatakan kalau Jokowi dan Jusuf Kalla tak melakukan perubahan, berarti kita salah pilih! Sungguh, kita merindukan pemimpin yang indah seperti itu !  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar