Kamis, 23 April 2015

Strategi Diplomasi Perlindungan Buruh Migran

Strategi Diplomasi Perlindungan Buruh Migran

Irfa Puspitasari  ;   Dosen hubungan internasional FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
JAWA POS, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HUKUMAN mati tenaga kerja Indonesia (TKI) pada Selasa, 14 April 2015, di Arab Saudi membuktikan bahwa diplomasi Indonesia masih seperti anjing menggonggong. Kafilah-kafilah di Riyadh tetap menjalankan misi mereka tanpa kenal ampun. Tamparan keras ini perlu disikapi para diplomat untuk memikirkan ulang strategi diplomasi yang tepat untuk memperjuangkan perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.

Problematika gugurnya pahlawan devisa yang sering terjadi merupakan pertanyaan kemanusiaan. Surat permohonan ampunan dari tiga presiden Indonesia secara berturut-turut tidak digubris. Apakah memang terjadi karena kesalahan sistem ketenagakerjaan yang belum mampu memastikan pengiriman tenaga yang siap kerja? Atau, apakah Indonesia justru belum menemukan strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut?

Moratorium TKI

Moratorium pengiriman TKI ke Saudi sungguh merupakan kebijakan yang populer. Tetapi, apakah hal itu bisa dilaksanakan secara riil? Dengan permintaan yang besar serta ketersediaan tenaga kerja yang melimpah dari Indonesia, masih saja banyak terjadi pengiriman TKI di bandara-bandara Jakarta ke Riyadh.

Strategi moratorium akan jauh lebih berhasil apabila dilakukan investigasi secara periodik dan acak di bandara-bandara serta di badan pelatihan TKI. Upaya menteri ketenagakerjaan pada awal 2015 patut diacungi jempol atas temuan tersebut. Tapi, itu saja tidak cukup.

Hukuman Mati

Sebagian pihak, seperti advokasi untuk buruh migran dan utusan untuk Indonesia ke Brasil dan ke Australia, bisa melihat hukuman mati itu sebagai balasan karena Indonesia sebelumnya bersikeras melanjutkan hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Pendapat tersebut kurang bisa diterima karena konteks pelanggaran hukum serta negaranya berbeda. Melonggarkan hukuman mati untuk pengedar narkoba seperti melakukan barter antara nyawa TKI dan nyawa penduduk di dalam negeri.

Para pengedar narkoba dengan sengaja memanfaatkan celah imigrasi dan merugikan masyarakat luas. Sementara itu, sebagian buruh migran di Saudi, hanya dengan gaji yang lebih rendah dari upah untuk pekerja lokal, dituntut beradaptasi secara cepat dalam lingkungan yang sungguh berbeda.

Bagi sebagian di antara mereka yang kurang beruntung, istilah tenaga kerja adalah eufimisme perbudakan yang telah dialami bangsa Asia-Afrika pada abad ke-17. Hukuman bagi budak yang berusaha berontak atau melarikan diri adalah hukuman mati. Sistem perbudakan itulah yang perlu dihapus.

Strategi Diplomasi Tiga Pengaruh

Alih-alih melakukan barter nyawa WNI di luar dengan WNI di dalam negeri, terdapat strategi yang sebetulnya tepat sasaran. Indonesia sebetulnya memiliki political leverage, economical leverage, dan cultural & spiritual leverage dalam menghadapi kerasnya medan ketenagakerjaan domestik di Saudi.

Tiga strategi pengaruh tersebut diawali dengan menggunakan pengaruh politik. Indonesia selama ini sering menjadi singa diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan politik dan keamanan negara-negara Timur Tengah. Misalnya, saat terpojoknya Iran soal dugaan kepemilikan senjata nuklir dan jaminan atas hak asasi manusia Palestina.

Sudah saatnya Indonesia menggunakan jalur-jalur diplomasi tersebut untuk menerapkan double edge diplomacy ala Indonesia di Timur Tengah. Pada ujung luar, Indonesia memperjuangkan kepentingan negara-negara Timur Tengah sebagai bagian dari solidaritas Asia. Pada ujung yang mengarah ke dalam, Indonesia memperjuangkan WNI yang berada pada posisi rentan di Saudi.

Strategi pengaruh kedua adalah menggunakan jalan ekonomi. Indonesia tiap tahun mengirimkan sekitar 13 ribu jamaah haji dan sekitar 6,3 juta jamaah umrah yang menyumbang devisa besar bagi Saudi. Jumlah itu merupakan yang terbesar se-Asia Tenggara setiap tahun.

Devisa yang besar tersebut membuat kekayaan negara yang sudah dianugerahi minyak itu semakin melimpah. Rumah-rumah megah dibangun sebagai tempat tinggal warga Riyadh dan kota-kota besar lainnya. Rumah-rumah megah dengan tembok yang kukuh dan tinggi itulah tempat para buruh migran dari Indonesia bekerja.

Sebagian di antara mereka yang kurang beruntung mendapat perlakuan selayaknya budak pada zaman jahiliah. Harga tangan seorang TKI yang teledor saat menyetrika, misalnya, sama dengan pelapis emas di baju hitam kebesaran konglomerat Saudi. Miris. Niat para jamaah untuk membersihkan dosa justru digunakan sebagian penduduk Saudi untuk memuaskan nafsu amarah mereka.

Jalur devisa tersebut setidaknya bisa dikurangi. Ide moratorium haji dan umrah ini sempat keluar dari salah seorang anggota DPR beberapa tahun lalu, tetapi kurang populer. Sebagian masyarakat yang kurang memahami atau yang lebih mementingkan prestise untuk dipanggil haji atau hajah menentang usul tersebut dan menggunakan alasan-alasan religius.

Sebagian masyarakat yang bekerja sebagai agen perjalanan tentu saja juga menentang usul tersebut karena merugikan mereka. Kesulitan ini perlu ditanyakan kepada nurani Majelis Ulama Indonesia dan kesungguhan para diplomat Indonesia. Bila nurani sudah terdengar pada kesungguhan upaya, pasti ada jalan tengah demi kebaikan bangsa bersama.

Strategi pengaruh ketiga, perlu kelihaian para diplomat jalur resmi dan informal secara budaya dan spiritual. Strategi tersebut perlu didukung dua kelompok, yakni penyelenggara haji dan umrah serta kelompok penyedia jasa TKI ke Saudi. Apabila strategi kedua untuk menahan devisa dari haji dan umrah sulit diterapkan, setidaknya ada upaya budaya dan keagamaan secara struktural untuk terus memperjuangkan.

Secara sederhana, apabila mulut telah berucap, tangan telah berbuat semampunya, maka hati bisa berdoa. Secara bersama-sama, perlu dibangun solidaritas dari kontingen jamaah haji dan umrah serta para TKI di Saudi. Cara itu bisa dilakukan, misalnya, dengan secara damai mengadakan doa bersama di tempat-tempat umum supaya bisa menyuarakan kepada publik Saudi betapa pentingnya perlindungan kemanusiaan para TKI bagi bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar