Selasa, 26 Mei 2015

Alun-alun Demokrasi

Alun-alun Demokrasi

Putu Setia  ;  Wartawan Senior Tempo, @mpujayaprema
KORAN TEMPO, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Meski banyak yang menentang, Dewan Perwakilan Rakyat tetap ngotot membangun gedung baru. Bukan cuma gedung, ada tujuh butir yang dibangun di kawasan parlemen itu. Tim Proyek Reformasi pun sudah dibentuk, dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera.

Ihwal gedung, Fahri beralasan ruang kerja semakin sempit. Penyebabnya, setiap anggota DPR memiliki staf lebih banyak dibanding dulu. Termasuk staf ahli. Diakuinya, anggota Dewan yang terpilih adalah mereka yang disukai rakyat, bukan orang yang siap bekerja untuk tugas-tugas parlemen. Jadi, mereka perlu didampingi oleh banyak staf.

Tak disebutkan apakah Fahri sendiri termasuk kelompok itu. Namun dia bersemangat untuk menyebutkan bahwa dari tujuh butir yang dibangun di kawasan parlemen itu ada yang disebut Alun-alun Demokrasi. Istilah yang keren, mungkin ini hasil temuan tim ahli anggota DPR.

Apa itu Alun-alun Demokrasi? Di alun-alun ini rakyat boleh menyampaikan segala macam aspirasinya dan anggota DPR wajib menerima. Alun-alun ini akan membuat masyarakat tidak lagi melakukan aksi demo di pagar DPR, apalagi seraya mendorong-dorong pagar itu sampai roboh. Aksi demo tak akan lagi memacetkan jalan. Penyampaian aspirasi akan sangat tertib dan santun, tanpa teriak-teriak sambil membakar ban bekas, karena ada alun-alun ajaib itu.

Alun-alun ini sungguh merupakan ide yang brilian. Tapi apakah itu bukan nostalgia masa lalu saat rakyat berjemur di alun-alun agar Raja keluar untuk mengetahui apa yang diinginkan rakyat? Apakah aksi demo saat ini betul-betul cuma menyalurkan pendapat dan bukan memaksakan pendapat? Jika cuma menyalurkan pendapat, itu bisa disampaikan lewat pertemuan baik-baik, dengan makan malam atau tidak. Bisa juga lewat jumpa pers, lalu wartawan menyampaikannya ke publik. Pada era Internet ini, bahkan sudah ada situs web yang khusus untuk menyampaikan petisi. Orang bisa menandatangani petisi dengan cara mengklik situs itu sambil minum kopi di rumah masing-masing.

Aksi demo yang sopan seperti itu pasti tak laku. Kurang heroik dan kurang ada "dramanya" bagi para pendemo. Lagi pula jurnalis televisi yang dibebani masalah rating pasti kehilangan gairah bekerja. Konon, pemirsa sangat suka tayangan dramatis. Pernah ada kabar, pewarta televisi terlambat datang meliput aksi demo, bakar-bakar ban sudah usai. Sang pewarta lalu membujuk demonstran agar mengulangi lagi membakar ban karena mau di-shooting. Bukankah di televisi gambar pagar dirobohkan lebih penting daripada isi tuntutan para pendemo?

Para leluhur kita pada era kerajaan, terutama di Jawa dan Bali, menciptakan alun-alun dengan segala kesakralannya. Alun-alun itu termasuk Catur Gatra Tunggal, artinya empat elemen dalam satu kesatuan. Selain alun-alun, ada keraton (puri di Bali), tempat ibadah (masjid atau pura), dan pasar. Sekarang pun masih berbekas di berbagai kota, meski fungsinya sudah berubah. Alun-alun menjadi tempat bermain, lalu pasar sudah menjadi mal.

Apakah tak terlalu idealis-dan mengada-ada-DPR membuat alun-alun yang biaya keseluruhannya termasuk gedung sampai Rp 10 triliun? Kenapa tidak membangun jembatan di pedesaan agar anak-anak tidak bergelayut di jembatan tali untuk bersekolah. Jangan-jangan, ada yang salah dalam pemilu. Rakyat memilih wakilnya hanya karena suka, bukan karena peka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar