Minggu, 31 Mei 2015

Angin Segar Industri Baja Ringan?

Angin Segar Industri Baja Ringan?

Ahmad Heri Firdaus  ;  Peneliti Indef
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
PROGRAM penyediaan satu juta rumah oleh pemerintah tentu tidak hanya membawa angin segar bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mestinya juga memberi harapan besar bagi pelaku industri dasar di Indonesia. Bagaimana tidak, guna memenuhi target pembangunan sejuta rumah tersebut tentunya akan mendorong tumbuhnya berbagai industri yang terkait dengan penyediaan komponen input pembangunan rumah. Sedikitnya terdapat dua kelompok industri dasar yang terkait langsung dalam penyediaan input pembangunan rumah tersebut, yaitu industri barang galian nonlogam serta industri dasar besi dan baja.

Industri barang galian nonlogam mencakup banyak komponen yang sangat menentukan pembangunan rumah itu sendiri, di antaranya industri semen, keramik dan atap rumah. Adapun, industri dasar besi dan baja mencakup kom ponen konstruksi rangka atap rumah yang saat ini penggunaannya semakin populer. Di antaranya produk baja ringan yang kini menjadi penyokong utama pembuatan rangka atap rumah dan berbagai bangunan lainnya.

Terbukti pada 2013 saja pertumbuhan penjualan baja ringan mencapai 30% dan diperkirakan terus tumbuh seiring dengan program sejuta rumah dan program-program infrastruktur lainnya.

Namun harapan besar tersebut tidak serta merta membuat produsen baja ringan bergembira. Pasalnya saat ini industri baja ringan tengah dihadapkan kondisi sulit hingga banyak produsen baja ringan terancam gulung tikar, utamanya produsen yang termasuk golongan menengah ke bawah. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah terdahulu yang telah menerapkan safeguard agreement untuk bahan baku baja ringan yakni galvalume.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini sejatinya memiliki tujuan baik, yaitu untuk melindungi produsen galvalume lokal. Kebijakan ini muncul dengan dalih impor galvalume meningkat sekitar 27% pada 2013. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menekan impor bahan baku. Namun di satu sisi, kebijakan ini dapat mematikan industri baja ringan dalam negeri jika tidak dilakukan dengan tepat. Jika tidak memperhatikan kondisi suplai dan demand, alih-alih dapat melindungi galvalume dalam negeri, yang terjadi justru semakin membanjirnya berbagai produk jadi seperti baja ringan dan sebagainya.

Kondisi suplai galvalume saat ini hanya 60% dari kebutuhan nasional yang disediakan produsen galvalume lokal. Tentu kebutuhan nasional masih banyak tergantung impor galvalume karena peningkatan permintaan terlebih adanya program sejuta rumah pemerintah.

Penerapan safeguard agreement langsung direspons negatif oleh industri baja ringan, saat impor galvalume sebagai bahan baku baja ringan menurun secara drastis pada Agustus 2014, sebulan setelah kebijakan ini diterapkan pada Juli 2014. Para produsen beralih untuk mengimpor coil strip, galvalume yang sudah dipotong, karena kenaikannya lebih dari 10 kali lipat sejak diterapkan safeguard agreement. Namun, tentu saja harga impornya jadi lebih mahal karena adaya proses pemotongan.

Impor yang berkurang dan produksi galvalume dalam negeri belum memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat galvalume menjadi langka di pasaran. Tentu sesuai hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi, harga di dalam negeri akan meningkat. Hal ini mungkin sebuah keuntungan produsen lokal, namun akan berdampak negatif pada produsen baja ringan.

Jika dilihat lebih jauh, struktur industri galvalume dalam negeri sangat tidak memihak pada produsen baja ringan.Jumlah produsen galvalume dalam negeri hanya 3 perusahaan, yaitu PT NS Bluescope Indonesia, PT Sunrise Steel, dan PT Sarana Central, sedangkan jumlah produsen baja ringan mencapai ratusan unit. Tentu pasar yang tercipta adalah pasar oligopsoni, yakni penjual lebih sedikit daripada pembeli.

Kebutuhan galvalume yang belum bisa sepenuhnya dipenuhi produksi dalam negeri menjadikan impor menjadi pilihan yang harus diambil. Tujuannya jelas, menghindarkan shortage pasokan dalam negeri. Apabila shortage terjadi, harga bahan baku galvalume akan meroket. Imbasnya, produk turunan dari galvalume seperti baja ringan akan meningkat pula.

Dilema pemerintah

Walupun bertujuan baik, pemerintah juga harus melihat dampak penerapan safe guard agreement secara luas. Terutama produsen baja ringan yang membutuhkan pasokan untuk menunjang program pemerintah, namun justru pasokan bahan baku dihambat.Tentu akan ada efek domino dari adanya hambatan pasokan bahan baku. Pertama, impor barang jadi akan meningkat. 

Hal ini akan menjadi pilihan utama produsen baja ringan dengan beralih hanya menjadi pedagang barang jadi baja ringan. Alasannya ialah baja ringan yang sudah jadi tidak terkena bea masuk impor. Jika terjadi hal ini, akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan akhirnya pengangguran akan meningkat.

Kedua, penggunaan kayu untuk rangka rumah akan semakin meningkat yang pada ujungnya akan berpotensi menimbulkan illegal logging. Ketiga, akan mematikan industri turunan seperti industri jasa pemotongan galvalume. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya impor coil strip.Ini akan mengurangi penghasilan industri jasa pemotong galvalume.

Keempat, pasar persaingan semakin tidak efisien. Hal ini terkait dengan struktur pasar industri galvalume nasional yang oligopsoni. Impor yang berkurang akan membuat kekuatan menguasai pasar akan semakin besar dan akan mengakibatkan pasar tidak efisien dan tidak sehat. Terlebih jika produsen galvalume juga bermain di pasar baja ringan. Hal ini disebabkan sistem penguasaan dari hulu ke hilir ini sudah lazim di Indonesia.Tentu praktik ini akan mengakibatkan kerugian ganda bagi produsen baja ringan. Ini biasa disebut dengan integrasi vertikal yang juga dilarang dalam UU Antimonopoli.

Jika dilihat dari keempat dampak tersebut, pemerintah hendaknya lebih mendorong agar terjadi efisiensi, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Efisiensi ini akan menguntungkan semua pihak termasuk produsen baja ringan. Efisiensi ini dapat berbentuk tekanan kepada produsen galvalume dan produsen bahan baku galvalume dalam hal ini PT Krakatau Steel.

Selain itu, kebijakan safeguard agreement perlu dikaji ulang untuk mengantisipasi munculnya guncangan negatif yang lebih besar lagi pada industri baja ringan. Kajian tersebut harus mempertimbangkan seluruh pelaku industri baja ringan secara luas, bukan hanya industri galvalume.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar