Selasa, 26 Mei 2015

Diplomasi Krisis Pengungsi

Diplomasi Krisis Pengungsi

Andi Purwono ; Dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
PEMERINTAH Indonesia dan Malaysia membuat pernyataan bersama untuk siap menampung pengungsi dan pendatang asal Myanmar dan Bangladesh yang terkatung-katung di laut asalkan mereka ditempatkan di negara ketiga atau dipulangkan dalam waktu satu tahun. Kedua negara juga sepakat memberikan bantuan kemanusiaan kepada sekitar 7.000 migran yang saat ini masih berada di laut. Kesanggupan bersyarat ini dibuat seusai perundingan tripartit menteri luar negeri dua negara dengan Menlu Thailand di Putrajaya, Malaysia (20/5/15). Sudah memadaikan langkah ini, mencermati krisis pengungsi dan berbagai tekanan internasional agar negara-negara Asia Tenggara mengambil sikap memadai ? Krisis ribuan pengungsi yang membanjiri perairan Asia Tenggara memang telah menjadi isu internasional.

Berbagai lembaga internasional meminta negara Asia Tenggara untuk menyelamatkan 10.000 migran dari Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di lautan dan nasibnya terombang-ambing. Di tengah tudingan mempingpong, nyatanya dalam beberapa hari terakhir Indonesia dan Malaysia telah menyelamatkan 2.000 pengungsi. Kebijakan Indonesia dan Malaysia adalah tepat dan proporsional dalam perspektif kemanusiaan dan politik. Pertama; langkah itu merupakan jalan tengah sekaligus emergency exit antara dua kutub pemikiran tentang kewajiban kemanusiaan di satu sisi dan kepentingan nasional serta kedaulatan negara di sisi lain. Artinya, darurat kemanusiaannya relatif tertangani sembari mencari solusi politik yang lebih permanen dan pasti. Menghadapi berbagai krisis kemanusiaan akibat bencana alam (natural disaster) maupun konflik (man made disaster), masyarakat internasional memang telah lama mendorong aksi kemanusiaan. Di sisi lain pengungsi ini menjadi ancaman kepentingan nasional banyak negara kawasan dan menggerogoti kedaulatan negara.

Mereka menjadi ancaman dari sisi kedaulatan wilayah, serta menjadi beban sosial ekonomi dan politik bagi negara. Padahal, negara juga tengah menanggung berbagai kewajiban kesejahteraan bagi warga negaranya sendiri. Ini tercermin dari pernyataan beberapa pejabat negara dimaksud yang tidak berkenan jika pengungsi menepi ke wilayahnya. Bahkan Thailand terlihat sangat giat memberantas sindikat penyelundupan manusia. Kedua; kebijakan Indonesia dan Malaysia yang memberi syarat juga tepat karena sejatinya mereka bukanlah penyebab krisis. Ini akan memancing komunitas internasional untuk mencari solusi yang lebih permanen dan komprehensif. Sikap yang lebih jelas termasuk uluran bantuan konstruktif justru harus muncul kepada negara asal pengungsi. 
Artinya, sangat urgen upaya diplomasi kemanusiaan yang melibatkan semua aktor agar problem pengungsi ini bisa diminimalisasi dari hulunya. 

Mencari Solusi 

Selama ini ASEAN dikritik karena dinilai gagal mencegah krisis Rohingya. Myanmar bersikukuh bahwa warga Rohingya merupakan pendatang ilegal dari Bangladesh, sehingga tanggung jawabnya seharusnya ada pada Bangladesh. Myanmar juga mengakui memiliki tanggung jawab internasional namun tidak ingin dipersalahkan. 

Pernyataan Menlu Retno Marsudi bahwa krisis kemanusiaan ini merupakan tanggung jawab bersama ASEAN menjadi cerminan sikap untuk secara kolektif mencari solusi tanpa intervensi. Termasuk dalam kaitan ini adalah bukan pendekatan tekanan yang dikedepankan ke Myanmar melainkan pendekatan konstruktif. Menurut catatan UNHCR, sekitar 25 ribu warga Bangladesh dan Rohingya memilih melarikan diri sejak awal 2015. 

Pada tataran implementatif, yang mendesak lebih lanjut adalah bagaimana mengawal kebijakan Indonesia dan Malaysia, terutama pembiayaan pengungsi dan proses legal lainnya. Ada dua kategori yang dibuat pemerintah RI yaitu mereka yang masih ditampung di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kemenkumham dan mereka yang berada di luar Rudenim yang telah diproses dan dinyatakan sebagai pengungsi oleh UNHCR.

Terkait pembiayaan dan proses legal lainnya, koordinasi dengan UNHCR dan organiasi kemanusiaan dunia lain seperti Badan Urusan Migrasi Internasional (International Organization for Migration – IOM) juga mutlak diperlukan. Aksi kemanusiaan dibutuhkan menghadapi krisis pengungsi di perairan Asia Tenggara. Supaya solusinya lebih meyakinkan, dibutuhkan diplomasi kemanusiaan agar komunitas global secara bersama menangani krisis tanpa pendekatan saling menyalahkan dan menekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar