Selasa, 26 Mei 2015

Kebebasan Pers dan Papua

Kebebasan Pers dan Papua

Sabam Leo Batubara ;  Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
KOMPAS, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Indonesia di bawah Presiden Soekarno membebaskan Papua dari penjajahan Belanda pada 1 Mei 1963. Namun, baru 52 tahun kemudian, presiden ke-7 RI, Joko Widodo, menyuarakan kebijakan reformis: pers bebas melakukan kegiatan jurnalistik di daerah itu.

Dalam blusukan-nya di Kampung Wapeko, Kecamatan Kurik, Merauke, Papua (10/5), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pers silakan datang dan meliput di Papua, sama seperti meliput di provinsi lain di Indonesia. Wartawan asing mulai hari ini diberi kebebasan datang meliput ke Papua.

Sehari sebelumnya (9/5), seusai memberikan keputusan pemberian grasi kepada lima narapidana politik di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, Jokowi menyatakan keinginannya menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera.

Keinginan tersebut sejalan dengan sambutan Jokowi pada Perayaan Natal Nasional di Stadion Mandala Jayapura (27/12/2014 malam) yang mengemukakan agar semua pihak mengakhiri konflik dan menghentikan kekerasan di Papua. Semua pihak agar bersatu untuk membangun tanah Papua yang damai serta memelihara saling rasa percaya.

Apa beda Papua selama 52 tahun tanpa kebebasan pers dengan Papua mendatang, ketika wilayah itu akan dibuka bebas untuk pers? Dengan kebebasan pers, media nasional dan asing akan mendapat kesempatan memasok ketersediaan informasi yang faktual, benar, dan berimbang. Apakah kekerasan masih berlanjut? Apakah kehadiran TNI dan Polri di wilayah itu dalam rangka bergiat merebut hati dan dukungan rakyat Papua, ataukah masih juga mengedepankan pendekatan keamanan? Dari pasokan informasi bersumber media dan berbagai instansi pemerintah, Jokowi akan dimungkinkan mewujudkan keinginan dan kebijakannya secara tepat.

Selama 52 tahun ini pers dalam negeri dan asing tidak diberi kebebasan melaksanakan fungsi kontrol sosial. Pers tidak dapat melaksanakan perannya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menyimpang dari amanat UUD 1945 bahwa rakyat Papua juga memiliki hak konstitusional untuk dilindungi, dicerdaskan kehidupannya, dan dimajukan kesejahteraannya.

Pemasok kebenaran tentang apa yang terjadi di Papua selama ini hanya bersumber dari ABRI/ TNI dan Polri. Hasilnya, kebijakan Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY selalu sejalan dengan laporan aparat keamanan bahwa keadaan di Papua kondusif, aman, dan terkendali. Paradoksnya, pihak-pihak yang berani menyuarakan bahwa hak-hak sipil rakyat Papua tertindas dapat berhadapan dengan aparat keamanan. Mereka rentan dituduh mendukung kegiatan separatis dan terancam dipidanapenjarakan.

Tantangan

Bagaimana aparat pelaksana di lapangan—baik sipil maupun aparat keamanan—menindaklanjuti keinginan dan kebijakan presiden itu?

Segera setelah Jokowi mengatakan membebaskan wartawan datang dan meliput ke Papua, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menambahkan bahwa pewarta asing tak perlu meminta izin khusus dari Kementerian Luar Negeri untuk meliput di Papua.

Besoknya di Makassar (11/5) Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengemukakan ”Petunjuk presiden sudah jelas bahwa wartawan asing sudah boleh masuk ke Papua. Aturan main dan teknisnya akan disusun bersama Menko Polhukam.”

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq (12/5) mengatakan pernyataan Jokowi yang akan membuka akses pers asing ke Papua bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 30 Ayat (2) dan (3) UU itu mempersyaratkan lembaga penyiaran asing yang akan melaksanakan peliputan di Indonesia harus mendapat izin.

Merujuk kepada pernyataan ketiga pejabat itu, hendaknya aturan main kunjungan jurnalistik asing ke Papua yang mau disusun tersebut sejalan dengan UU No 40/1999 tentang Pers dan mengindahkan standar profesional pekerjaan jurnalistik.

Pertama, aturan main itu tidak lagi mempersyaratkan adanya petugas negara yang mendampingi wartawan asing dalam melakukan kegiatan jurnalistik di Papua. Ketentuan seperti itu meniru kebijakan tentara pendudukan Jepang. Ketika itu berlaku aturan main dalam pekerjaan jurnalistik oleh pers Indonesia: harus didampingi seorang sidooin. Kehadirannya berfungsi sensor. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) UU Pers, pengoperasian pendamping tersebut melanggar prinsip kebebasan pers.

Kedua, berdasarkan standar keprofesionalan pekerjaan jurnalistik, jika di Papua terjadi peristiwa tertentu yang memiliki nilai berita, maka unsur kecepatan peliputan menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, izin kunjungan jurnalistik wajar diterbitkan secepatnya.

Ketika terjadi gempa bumi dan tsunami Aceh pada Minggu pagi (26/12/2004), malamnya ratusan wartawan asing terhambat di Bandar Udara Polonia, Medan. Atas pendekatan anggota Dewan Pers, Wakil Presiden Jusuf Kalla pada malam itu juga turun tangan. Hasilnya, instansi imigrasi dan aparat keamanan malam itu juga menerbitkan izin bagi wartawan masuk ke Banda Aceh. Dampaknya, fakta dan kebenaran tentang bencana itu terungkap menjadi pengetahuan dunia dan bantuan internasional mengalir.

Dari uraian di atas tersimpul bahwa dengan ditegakkannya kebebasan pers di Papua, Jokowi tidak perlu lagi mengandalkan blusukan langsung ke Papua sebagai kiat untuk memperoleh informasi yang faktual, benar, dan berimbang. Bagi Jokowi, penegakan kebebasan pers di Papua adalah strategi awal menuju solusi Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar