Jumat, 29 Mei 2015

Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP

Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP

Bambang Soesatyo  ;  Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
KORAN SINDO, 27 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Kepastian langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional.

Namun, konsekuensinya menjadi sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik dalam negeri gaduh. Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu Munas Ancol, sejatinya tidak merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang berlatar belakang sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Pasalnya, konflik kepengurusan Partai Golkar merupakan kepentingan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa justru Menteri Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu? ”Menteri Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5).

Pengajuan banding menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah nasional (Munas) Ancol pimpinan AL dkk sebagai pihak yang kalah atau dirugikan. Namun, jika kemudian rencana pengajuan banding itu justru diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas nama kepentingan Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi bahwa sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan wewenang Menteri Laoly.

Lalu, di mana posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas. Memang, dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri Yasonna menghentikan banding atas putusan PTUN itu.

Pertanyaan berikutnya tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu tidak sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk tetap memimpin Partai Golkar. Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi, salah satu target Menteri Yasonna tercapai, yakni berlarut- larutnya konflik internal Partai Golkar.

Upaya lain untuk memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional, juga terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya bersama pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU) Pilkada. Banding Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU Pilkada, jelas terlihat sebagai upaya agar konflik PPP dan Golkar terus berkepanjangan.

Salah satu tujuan jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam melakukan persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid, takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai pilkada tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun ini.

Perlawanan

PPP dan Golkar tentu tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri Laoly bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan menjadi luka sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar dan kader PPP. Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut memperuncing pertikaian internal parpol, sudah barang tentu DPR akan mengambil sikap. Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi konsekuensinya.

Kegaduhan itu bisa saja dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR akan berupaya meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan intervensi pemerintah terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR. Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik tahu bahwa Presiden telah meminta Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap banding.

Maka selama tidak ada tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly melakukan banding, Golkar dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly. Golkar dan PPP sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak dapat mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di berbagai daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput jika mereka menduduki kantor KPU daerah.

Hari-hari ini, Golkar terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta pengurus daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif terhadap gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate, setelah PTUN membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu munas Ancol.

Kader Partai Golkar tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak sekadar bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai Golkar adalah keberanian dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling legitimate memimpin kepengurusan Partai Golkar? Persoalan internal Partai Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri, Presiden Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Kepengurusan Partai Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di Ancol, Jakarta, yang diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan karenanya tidak legitimate . Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta, dokumen, dan surat mandat palsu.

Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua umum parpol anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas Ancol itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi, sehingga ada alat bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat yang dipalsukan.

Bahkan, tidak lama lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang mengotaki sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu itu. Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol, berarti pemerintah mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk.

Lantas, bagaimana harus menjelaskan kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh kesadaran menoleransi aksi kejahatan politik seperti itu? Bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah kalau Munas abalabal sebuah partai politik kemudian mendapat legitimasi dari pemerintah? Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti pemerintah tidak mau mengakui kesalahannya.

Dengan mempertahankan posisi seperti, pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah terjebak akibat kepentingan sempit,yakni ingin menghancurkan Golkar dan PPP. Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar