Selasa, 26 Mei 2015

Menegakkan Etika Kekuasaan

Menegakkan Etika Kekuasaan

Lukman Hakiem  ;  Anggota DPR RI 2004-2009
REPUBLIKA, 11 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Pada 19 Desember 1948, pagi sekali, tentara Belanda menyerbu ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, menangkap Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri. Serangan militer juga dilakukan Belanda tehadap ibu kota Sumatra Tengah, Bukittinggi. Belanda mau mengakhiri riwayat RI yang kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Di tengah deru pesawat tempur Belanda yang menyerang Yogya, Bung Karno dan Bung Hatta memimpin sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota dan memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara yang sedang di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Mandat juga diberikan kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat jika upaya Sjafruddin di Sumatra tidak berhasil.

Segera sesudah mendengar kabar didudukinya Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin Republik, Sjafruddin yang tidak pernah mengetahui ada mandat untuk dirinya menemui Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatra (kompempus, sekarang gubernur) Mr TM Hasan guna mendiskusikan kemungkinan kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif di dalam maupun luar negeri. Karena itu perlu segera dibentuk pemerintahan darurat untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam keadaan bahaya.

Pada mulanya Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Apalagi, Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatra tak ada yang memegang mandat membentuk pemerintahan. Namun, tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan telah mengatasi aspek hukum. Maka pada 19 Desember 1949 sore tercapai kesepakatan membentuk pemerintahan darurat dengan Sjafruddin sebagai ketua dan TM Hasan sebagai wakil ketua.

Eksistensi PDRI diakui para pemimpin Republik, termasuk Panglima Besar Jenderal Sudirman di Jawa. Pesan yang disampaikannya melalui pesawat radio berpengaruh positif terhadap eksistensi Republik. Siaran radio PDRI yang sampai di New Delhi mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru, untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna memberi dukungan kepada Indonesia.

Konferensi mendesak PBB supaya melakukan berbagai upaya memulihkan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahirlah Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi militer, membebaskan para pemimpin RI yang ditahan, dan kembali ke meja perundingan.

Belanda yang semakin terjepit posisinya, melalui Wakil Ratu Belanda di Indonesia, Dr Beel, mencoba mengelak dari Resolusi DK PBB. Dia mengundang para pemimpin Indonesia yang saat itu dikumpulkan di Bangka untuk datang ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, langsung dari Bangka. Rencana Beel ditolak. Para pemimpin RI menuntut agar sebelum KMB dilaksanakan, kedudukan RI dipulihkan.

Sikap para pemimpin di Bangka itu didukung para pemimpin yang tidak ditawan seperti Dr Darmasetiawan, Dr Halim, dan M Natsir. Ketiga tokoh mengingatkan agar para pemimpin di Bangka tidak meninggalkan PDRI dan menjadikan berdirinya pemerintahan RI di Yogyakarta sebagai kartu penting perundingan dengan Belanda.

Mr Mohamad Roem yang sejak awal terlibat proses perundingan dengan Belanda gigih mempertahankan garis perjuangan itu. Ketika Ketua Komisi Tiga Negara (KTN), Merle Cohran, mengundang Belanda dan Indonesia untuk memulai perundingan di Jakarta pada 30 Maret 1949, Roem menolak. Roem menegaskan, dia hanya bersedia membicarakan lebih dulu secara detail segi-segi praktis pemulihan RI di Yogyakarta.

Setelah tidak mampu mengelakkan desakan internasional, akhirnya perundingan Belanda dengan Indonesia dimulai di Jakarta pada 14 April 1949. Delegasi Belanda dipimpin Dr JH van Roijen, dan delegasi Indonesia dipimpin Roem.

Berbeda dengan Roijen yang dalam pidato di awal perundingan bernada lemah lembut, Roem berpidato tegas dan keras. "Agresi militer Belanda yang kedua mengakibatkan hlangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya perundingan damai," kata Roem seraya mengingatkan "Resolusi DK PBB pada 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Setelah itu baru soal lain bisa dibicarakan kemudian."

Perundingan yang berakhir 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-Roijen sebagai "Pernyataan Permulaan mengenai Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta." Atas dasar Pernyataan Roem-Roijen itulah tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden dan Wapres serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogya.

Mengenai pentingnya kembali ke Yogya sebagai prasyarat pelaksanaan KMB, Roem mengatakan, "Kami secara fisik lemah di Bangka, tapi sekembali di Yogyakarta kami bisa mengatur kembali kekuatan kami dan rakyat, dan seterusnya mengatur kembali daerah yang lain."

Sebagai salah satu episode terakhir revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh atas kedaulatan Negara Republik Indonesia (Serikat), pernyataan Roem-Roijen adalah peristiwa bersejarah sangat penting. Bagi Roem, pernyataan itu menempatkannya dalam deretan diplomat dunia dengan hasil karya yang senapas dengan nama pribadinya.

Meskipun Pernyataan Roem-Roijen menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang. PDRI merasa ditinggalkan. Dalam kata-kata Sjafruddin, "Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Sukarno—yang waktu itu bukan menjabat presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan Van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI-lah pada waktu itu satu-satunya pemerintah yang sah".

Jenderal Sudirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya, tidak terima penggunaan istilah "pengikut Republik yang bersenjata" dalam Pernyataan Roem-Roijen. Bagi Sudirman, penggunaan istilah itu menganggap Angkatan Perang RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.

Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu menggelisahkan. Setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogya menanti kedatangan Sjafruddin dan Sudirman. Kedatangan Sjafruddin dan Sudirman bagi para pemimpin yang berada di Yogyakarta sangat krusial. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi juga bagi keutuhan RI.

Ternyata Sjafruddin dan Sudirman kembali ke Yogya. Kedua pemimpin itu meninggalkan kepentingan subjektif dan memilih nilai lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Mereka kembali ke Yogya, demi keutuhan perjuangan.

Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-Roijen, dan Yogya kembali memperlihatkan pilihan para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni ikhtiar menegakkan etika kekuasaan. Seperti dicatat Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tecermin dari kalimat pendek yang diucapkan Sjafruddin dalam sidang kabinet 13 Juli 1949. "PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar