Minggu, 31 Mei 2015

Mengapa Kita Pesimistis?

Mengapa Kita Pesimistis?

Anton Hendranata  ;  Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Di awal terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memimpin bangsa ini, mereka disambut meriah dengan gegap gempita. Bukan hanya oleh rakyat Indonesia sendiri, melainkan juga oleh bangsa-bangsa besar di dunia.

Optimisme yang melempem, bahkan menuju kesirnaan, secara naluri muncul kembali ke permukaan. Gairah bangsa ini meletup kembali. Harapan besar menuju Indonesia yang kuat dan disegani secara aklamasi ada di pundak pemimpin baru dengan gaya santun merakyat.

Harus diakui, di awal pemerintahan JKW-JK, mereka langsung dihadapkan pada situasi yang teramat sulit. RAPBN 2015 yang dirancang pemerintah sebelumnya tidak cocok dengan Nawacita yang dicanangkan oleh mereka.

Ujian pertama, yang memerlukan nyali, ialah menaikkan harga bensin dan solar pada November 2014 ketika harga minyak dunia naik tajam. Rakyat tersentak dan mengeluh. Saya kira ini reaksi normal karena kenaikan harga BBM pasti akan menaikkan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Inflasi yang naik tinggi akan menyengsarakan rakyat kebanyakan.

Pelaku ekonomi dan analis dikagetkan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang langsung merespons kenaikan suku bunga dari 7,50 persen menjadi 7,75 persen, dengan alasan untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan tekanan inflasi tetap terkendali. Padahal, ini kan harga yang diatur pemerintah, yang bersifat sementara dan tak permanen, di mana inflasi akan turun lagi secara perlahan.

Rasional dan terukur

Kegelisahan akibat kenaikan harga BBM dan suku bunga BI untungnya tidak berlangsung lama. Di luar dugaan, harga minyak dunia anjlok hingga pernah di bawah 50 dollar AS per barrel pada Januari 2015.

Kondisi ini tidak disia-siakan pemerintah. Pada 1 Januari 2015, reformasi migas dicanangkan. Subsidi bensin dicabut dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar Rp 1.000 per liter. Normalnya pencabutan subsidi BBM akan ditolak rakyat, tetapi kali ini tidak karena dibarengi penurunan harga bensin menjadi Rp 7.600/liter dari Rp 8.500/liter dan solar menjadi Rp 7.250/liter dari Rp 7.500/liter. BI sebagai otoritas moneter menurunkan suku bunga menjadi 7,50 persen.

Tidak ada yang menyangka reformasi migas bisa secepat itu. Pemerintah baru terbebas dari sandera subsidi BBM yang setiap tahun selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN. Penghematan dari subsidi BBM menyebabkan ruang fiskal pemerintah melebar. Keinginan JKW-JK untuk membangun infrastruktur, yang selama ini bobrok, secara intensif dan berkelanjutan seharusnya sangat realistis.

Subsidi energi yang berkurang drastis dari Rp 350 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 138 triliun di 2015 menjadi angin segar buat APBN pertama pemerintahan JKW-JK. Postur APBN-P 2015 menjadi lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat. Rencana fantastis bahwa pengeluaran untuk membangun infrastruktur meningkat 63 persen; dari sebelumnya Rp 178 triliun menjadi Rp 290 triliun pada 2015. Kalau ini bisa direalisasikan dan konsisten diteruskan selama lima tahun pemerintahan JKW-JK, fundamental perekonomian Indonesia akan sangat kuat. Potensi tinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mudah dicapai, dengan tren inflasi yang turun dan stabil, disertai dengan nilai rupiah yang rasional dan terukur.

Niat mulia ini sayangnya tak mudah dilakukan. Selalu ada tantangan dari kubu yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam enam bulan pemerintahan JKW-JK, situasi politik masih penuh ketidakpastian. Isu pergantian kabinet selalu diembuskan politisi, yang tentunya membuat resah para pembantu presiden. Rakyat pun mulai bosan melihatnya: kapan, ya, elite politik berdamai dan satu visi untuk menuju Indonesia hebat?

Situasi semakin berat. Perekonomian pada kuartal I-2015 terlihat sangat lesu dengan hanya tumbuh 4,7 persen. Profit perusahaan anjlok, pelaku usaha cenderung menurunkan target produksi dan penjualan. Tekanan inflasi meningkat karena kenaikan harga minyak dunia. Bank mengalami kesulitan untuk menyalurkan kreditnya, tecermin dari pertumbuhan kredit yang hanya 11,3 persen pada April 2015, sementara rupiah masih berkutat di atas Rp 13.000 per dollar AS.

Kemunculan isu bahwa BI bisa diintervensi dan tidak independen makin membumbui lemahnya perekonomian domestik. Kalau melihat logika dan kronologi kebijakan moneter dan makroprudensial yang diambil, rasanya BI masih berintegritas, apalagi undang-undang menjamin independensi BI. Ketika ini dilanggar, kepercayaan akan luntur dan bisa menimbulkan biaya ekonomi sangat mahal, yang merusak sendi perekonomian.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa ada koordinasi dan komunikasi yang positif antara pemerintah dan BI, termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentunya koordinasi dan komunikasi yang menghargai peran dan kontribusi masing-masing.

Realisasi penerimaan pajak yang kurang memuaskan di kuartal I dan kemungkinan besar target kenaikan pajak 30 persen sulit terealiasi. Rasanya target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,4 persen kurang realistis, perkiraan kami hanya 5-5,1 persen pada 2015.

Dengan situasi politik dan ekonomi yang memprihatinkan, ditambah kondisi global yang tak menentu, terutama kapan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya, adalah reaksi yang cukup wajar kalau insan ekonomi mulai getir terhadap kepemimpinan JKW-JK. Tingkat kepercayaan masyarakat mulai menurun, rasa kecewa mulai menyelimuti optimisme di awal pemerintahan JKW-JK.

Beri kesempatan

Euforia kepemimpinan JKW-JK mulai meredup. Pasar saham dan pasar obligasi mengalami tekanan. Investor asing sudah mulai mundur perlahan dari perekonomian Indonesia. Di saat kita hampir sepakat pada 2015 merupakan tahun yang sulit dan bergejolak, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) malah memberikan penilaian positif terhadap perekonomian Indonesia. S&P sangat mengapresiasi kebijakan pemerintahan JKW-JK, terutama penghapusan subsidi BBM yang dinilai tidak produktif.

Gonjang-ganjing politik tidak berpengaruh signifikan terhadap penilaian S&P pada perekonomian Indonesia. Kelihatannya decoupling antara politik dan ekonomi masih berlaku untuk Indonesia. Politik jalan sendiri dengan hiruk-pikuknya, sedangkan ekonomi jalan sendiri dengan tantangan domestik dan eksternalnya.

Oleh karena itu, mengapa kita sebagai bangsa harus pesimistis, sementara pihak luar yakin kepada Indonesia di masa depan. Penilaian positif dari lembaga pemeringkat sekaliber S&P saya kira madu yang memberikan spirit bagi pemerintahan JKW-JK. Obat manjur mencabut subsidi BBM, walaupun terasa pahit dalam jangka pendek, saya rasa akan berbuah manis kalau realisasi pembangunan infrastuktur dijalankan dengan konsisten.

Konektivitas antardaerah akan berjalan mulus, distribusi barang dan jasa akan berjalan lancar. Pembangunan regional akan secara kontinu menuju konvergensi, bukan divergensi. Semua itu pada akhirnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan kekuatan ekonominya. Kita beri pemerintah kesempatan membuktikan janjinya, sambil menunggu penilaian S&P untuk mendapatkan peringkat investasi (investment grade) pada tahun depan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar