Minggu, 31 Mei 2015

Pendidikan dalam Masyarakat Kredensial

Pendidikan dalam Masyarakat Kredensial

A Helmy Faishal Zaini  ;  Anggota Komisi X DPR RI
KOMPAS, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Berita mengenai 18 perguruan tinggi yang diduga mengeluarkan ijazah palsu sungguh sangat meresahkan kita bersama. Berita itu juga memperpanjang daftar suram wajah pendidikan kita.

Di antara sekian problem yang masih menghiasi pendidikan kita, soal mekanisme evaluasi dan minimnya riset, misalnya, maka soal ijazah palsu ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Apa yang diungkapkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir bahwa ada 18 perguruan tinggi yang ditengarai melakukan praktik jual-beli ijazah patut untuk kita prihatinkan dan juga layak untuk kita sesalkan. Lebih dari itu, lebih penting lagi untuk kita sikapi adalah apa sesungguhnya akar persoalan dari praktik jual-beli ijazah palsu tersebut.

Formalistik-pragmatis

Saya tertarik untuk mengutip pendapat sosiolog Randall Collins. Dalam bukunya yang terkenal, The Credential Society: A Historical Sociology of Education and Stratification (1979), ia mengatakan bahwa gejala yang dialami negara-negara berkembang di dunia adalah gejala kredensialisme. Suatu penyakit sosial yang lebih menekankan aspek legalitas dan formalitas belaka.

Collins dengan sangat jitu membidik perilaku sosial masyarakat modern yang cenderung legal-formalistik, kaku, dan prosedural. Keadaan yang demikian sesungguhnya boleh jadi pangkal bencana sosiologis, sebab kebudayaan yang lebih mengedepankan formalitas lambat laun akan meninggalkan substansialitas itu sendiri. Padahal, substansi itu, bagaimanapun, keadaannya, jauh lebih penting dibandingkan dengan formalitas.

Dalam logika masyarakat kredensial, yang utama dan yang terutama adalah ijazah. Ijazah adalah supremasi tertinggi yang digunakan sebagai senjata dalam mengarungi kehidupan sehari- hari, terutama dalam dunia kerja yang cenderung kapitalistik seperti hari ini.

Dengan dinamika pergerakan masyarakat kredensial yang begitu dinamik tersebut, hari ini kita memasuki apa yang disebut Udiansyah (2012) dengan inflasi kredensialisme. Inflasi kredensialisme adalah keadaan di mana kita berada pada ruang-ruang pendidikan yang cenderung lebih mengedepankan sikap kapitalis, pragmatis, dan tak rasional lagi.

Keadaan demikian sesungguhnya merupakan arus balik tujuan nasional pendidikan kita. Tujuan nasional pendidikan kita, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3 menyebutkan "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Jadi tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menemukan jati dirinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Artinya, keberhasilan pendidikan berada pada apakah ia berhasil mencetak manusia beriman dan bertakwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, bukan pada seberapa panjang deretan titel kesarjanaan yang berhasil ia capai.

Iman dan takwa adalah ranah afektif, dibuktikan dengan moralitas dan perilaku sehari-hari, sementara deretan titel kesarjanaan adalah ranah kognitif. Dua hal yang sungguh jauh berbeda.

Arus balik tujuan pendidikan yang lebih mengarah kepada masyarakat kredensial, yang cenderung mementingkan formalitas belaka itu, sesungguhnya tak terlepas juga dari peran lembaga pendidikan yang makin hari semakin berwatak kapitalistik. Kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan yang didirikan atas dasar berorientasi keuntungan.

Motif pendirian lembaga pendidikan yang bermuara pada keuntungan inilah yang menjadi lahan subur persemaian praktik jual-beli ijazah palsu. Masyarakat yang formalistik dan cenderung pragmatis bertemu dengan lembaga pendidikan yang berorientasi keuntungan dan kapitalistik, meminjam istilah orang Jawa, adalah ibarat tumbu ketemu tutup (jodoh).

Ritual pesantren

Kita sesungguhnya memiliki catatan sejarah yang bisa dijadikan acuan dan contoh nyata tentang bagaimana membangun, mengelola, serta merawat "idealisme" lembaga pendidikan. Catatan sejarah itu dimiliki orang- orang pesantren. Dulu orang membuat pesantren selalu diawali ritual-ritual mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berpuasa dan juga berdoa. Ritual tersebut adalah medium dalam rangka mencari keridaan Tuhan. Artinya, landasan dan motif utama pendirian lembaga pendidikan bukanlah materi.

Apa yang dilakukan lembaga pendidikan hari ini, yang cenderung pragmatis itu, sesungguhnya berbalik 180 derajat dari apa yang diwariskan nenek moyang kita. Mendirikan lembaga pendidikan dengan motif materi memang tak sepenuhnya buruk, tetapi-persoalannya kemudian- arus materialisme tersebut lambat laun ternyata menggerus substansi praktik pendidikan itu sendiri. Alhasil, yang terjadi kemudian adalah sebagaimana yang kita hadapi hari ini: banyak praktik jual-beli ijazah bertebaran.

Saya sepakat dengan langkah yang dilakukan Kemenristek dan Dikti yang akan segera mencabut izin operasional perguruan tinggi yang terbukti melakukan praktik jual-beli ijazah. Lebih dari itu, Kemenristek dan Dikti juga harus menarik dan mencabut seluruh ijazah yang terbukti didapatkan dari proses jual-beli.

Dalam pada itu, banyaknya kalangan masyarakat yang meyakini bahwa angka 18 perguruan tinggi yang diduga melakukan praktik jual-beli ijazah itu sesungguhnya sangat sedikit, hendaknya dijadikan kerangka masukan bagi Kemenristek dan Dikti mengusut sejauh mana keakutan praktik jual-beli ijazah ini. Sebab, sangat mungkin kasus ini adalah fenomena gunung es, yang tampak adalah puncaknya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar