Selasa, 26 Mei 2015

Polri dan Pelayanan

Polri dan Pelayanan

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
KORAN TEMPO, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Hidup bernegara adalah hidup be konstitusi. Konstitusi, dengan kata lain, menjadi acuan berperilaku. Berbicara tentang organisasi kepolisian, dapat dimaknai bahwa Polri-dan masyarakat-harus mengidentifikasi jati diri serta tujuan kerjanya dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan sebagai basis konseptual dan filosofisnya.

Jika pertanyaan "apa instrumen utama yang paling personel kepolisian butuhkan" diajukan ke lingkungan Polri, ketaatan kepada aturan organisasi dipastikan menjadi jawaban populer. Namun di situlah persoalan muncul. Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 menyebutkan, "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum." Berbeda dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Fungsi Kepolisian Negara RI, yang justru menempatkan tugas menegakkan hukum pada urutan awal, mendahului tugas melindungi, mengayomi, dan melayani publik.

Perbedaan "tipis" pada kedua referensi Polri itu bukan semata-mata masalah redaksional dan berimplikasi mendalam. Dengan asumsi ketaatan pada aturan merupakan instrumen utama Polri dalam bekerja, perbedaan antara UUD RI dan UU Polri akan memunculkan kebingungan dalam institusi Polri beserta para personelnya tentang alam berpikir dan pola tindak-tanduk seharusnya dalam kultur organisasi Polri.

Berhadapan dengan anomali dalam ketentuan formal Polri tersebut, UUD RI kudu diketengahkan dan UU Polri diketepikan. Untuk itu, perlu selekasnya ditetapkan agenda revisi terhadap UU Polri. Sangat konstruktif apabila prakarsa untuk itu digulirkan langsung dari Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo.

Pada aras operasional, landasan kerja sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan adalah kesantunan (civility). Untuk memperoleh personel Polri dengan sukma sedemikian rupa, sebagaimana ditegaskan lewat sekian banyak kajian tentang perpolisian modern, Polri sedari hulu sudah harus mendesain proses seleksi dan perekrutannya dengan memastikan bahwa hanya kandidat dengan tendensi kekerasan seminimal mungkin yang dapat bergabung. Muatan dalam proses pendidikan dan pelatihan kepolisian pun harus disinkronisasi, yakni proporsi terbesar dialokasikan untuk bidang-bidang pelajaran yang menonjolkan pembangunan kompetensi lunak (soft power) personel Polri.

Dalam konteks itu, transformasi Kopassus menjadi sebuah fenomena mencengangkan. Lazimnya mesin perang kelas satu, prinsip kerjanya adalah "bunuh atau terbunuh".

Namun, pada ulang tahunnya yang ke-63 belum lama ini, terlihat betapa Kopassus cakap dalam mendesain ulang cetak biru dirinya di tengah-tengah papan catur kontemporer. Mereka melek terhadap dinamika eksternal-global. Secara internal, alih paras sedemikian rupa dapat diartikan sebagai penegasan suratan tangan tentara Indonesia dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Sembari menyaksikan Kopassus dengan penuh kebanggaan, saya mendesis optimistis, "Polri, sudah barang tentu, tak mau ketinggalan kereta!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar