Jumat, 29 Mei 2015

Problematika Migas Nasional

Problematika Migas Nasional

Prima Mulyasari Agustini  ;  Executive Director of
Centre for Energi & Strategic Resources Indonesia (CESRI)
REPUBLIKA, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sejak harga fluktuatif BBM dirasakan masyarakat, semua mata tertuju pada kondisi migas nasional. BBM bersubsidi yang sejak lama menjadi polemik telah diputuskan pemerintah untuk dicabut, hanya menyisakan jenis solar dan minyak tanah yang masih bersubsidi.

Efek domino penetapan harga keekonomian ini tak bisa disangkal menyebabkan harga kebutuhan lainnya tinggi. Impor BBM menjadi isu hangat, belum lagi soal mafia migas, praktik korupsi dalam proses tender yang berujung pembubaran Petral. Masyarakat yang awalnya tidak peduli, sebulan sekali mereka akhirnya bersiap diri menunggu informasi perubahan harga BBM.

Aspek terpenting dalam pengelolaan migas adalah tersedianya pasokan migas dengan harga terjangkau dan terdistribusi dengan baik. Kondisi ideal yang diharapkan itu berbenturan dengan kenyataan semakin sulitnya sumber pasokan migas diproduksi di dalam negeri. Untuk menjaga kontinuitas pasokan inilah, yang akhirnya diputuskan untuk melakukan impor BBM. Besarnya angka impor BBM dan mekanisme impornya menjadi perhatian publik hingga berujung pada keputusan Pertamina melikuidasi Petral.

Ketidakjelasan posisi SKK Migas yang dibentuk sementara menggantikan BP Migas, yang sudah dinyatakan bubar oleh Mahkamah Konstitusi, ditambah skandal korupsi yang diduga terkait pemenangan tender pada perusahaan tertentu, semakin menambah suram bisnis migas kita. Belum lagi, tak usainya revisi Undang-Undang Migas baru yang menjadi payung hukum bagi bisnis migas di Indonesia tentu akan berdampak bagi ketahanan energi nasional.

Banyaknya persoalan pada bisnis migas semakin sulit diselesaikan di tengah rendahnya harga minyak dunia yang 50 dolar AS per barel. Pada  kuartal I 2015, National Oil Company kita, mencatat kerugian besar. Kerugian terjadi karena faktor inventori, di mana terdapat selisih harga dari pembelian minyak dan BBM sejak Oktober 2014 yang dibeli dengan harga tinggi dan dijual ketika harga minyak sudah turun.

Kerugian perusahaan pelat merah ini karena di sektor hilir tidak mampu ditopang oleh pendapatan bisnis hulu yang juga melemah karena rendahnya harga minyak dunia. Jika kondisi ini dibiarkan, semakin sulit negeri ini melanjutkan pembangunan mengingat sektor migas memberikan kontribusi sekitar 20 persen pendapatan nasional.

Kondisi ketidakmampuan negeri ini menghasilkan BBM sesuai kebutuhan masyarakat yang mencapai 1,6 juta barel per hari telah membuka keran impor yang begitu besar. Impor BBM yang mencapai 800 ribu barel per hari bukanlah angka kecil. Besarnya angka impor ini telah menjadikan Indonesia sebagai price taker, apalagi dengan kondisi yang spesial untuk BBM jenis Premium, yang hanya diperuntukkan bagi negeri ini. Besarnya kebutuhan impor dalam negeri menyebabkan Indonesia tidak punya bargaining position yang menguntungkan.

Selama ini impor BBM dilakukan melalui Petral yang notabene anak perusahaan Pertamina, yang berkantor di Singapura. Banyak sekali isu terkait Petral hingga munculnya rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk menata ulang perusahaan ini. Padahal, usulan penataan atau bahkan pembubaran Petral bukan satu-satunya cara menyelesaikan persoalan bisnis migas.

Jika tudingan ada mafia migas pada tubuh Petral, harus dipastikan bahwa praktik yang dianggap janggal dan merugikan pun harus dihentikan. Mestinya, jika pemerintah menemukan kejanggalan pada manajemen dan mekanisme impor BBM yang dilakukan Petral, perbaiki saja internalnya, buat aturan mainnya, dan buktikan jika Petral benar sebagai sarang mafia. Usulan beberapa kalangan untuk meminta audit forensik terhadap Petral sebelum dilikuidasi total dan mendapat respons cepat dari Pertamina perlu diapresiasi. Pertanyaan kritisnya, jika Petral diaudit, mengapa sektor lain yang sudah nyata-nyata menghasilkan tersangka tak terlihat ada langkah menuju audit?

Inilah yang patut disayangkan, rekomendasi Tim Reformasi Tata kelola Migas tak terkait bisnis hulu dan tidak memotret persoalan yang dihadapi SKK Migas. Apakah rekomendasi parsial ini ada kaitan dengan kepentingan sejumlah kalangan dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang Migas baru?

Idealnya, jika ingin mencari kejelasan soal simpul bisnis migas, audit harus dilakukan menyeluruh, baik sektor hulu migas yang terkait kontrak kerja sama, cost recovery, tender penjualan minyak mentah milik negara dulu dan kini, hingga sektor hilir lainnya, termasuk Petral dan impor BBM.

Dalam dua minggu terakhir, gelombang tudingan adanya mafia migas di Petral seolah sudah mengarah pada upaya mendiskreditkan Pertamina. Padahal, untuk menyelesaikan sengkarut Petral cukup dengan kebijakan likuidasi tanpa adanya upaya mengaitkan dengan mafia migas.

Dengan tekanan ini, Pertamina yang kerap disandingkan dengan Petronas tentu semakin sulit mengejar posisi yang lebih baik di mata internasional. Beban beratnya akan semakin menyulitkan "berlari dan terbang". Isu sarang mafia sekaligus sapi perah dan menjadi bancakan partai mestinya tak terjadi.

National oil company hendaknya didorong untuk berkembang melebarkan sayap, membawa kesejahteraan bagi negeri agar bisa berkontribusi maksimal bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional, bukan malah membebaninya dengan beragam isu, termasuk isu mafia.

Upaya pemerintah yang menghapus subsidi BBM untuk jenis Premium dan rencana Pertamina meluncurkan BBM minimal RON 90 (Pertalite) dan meningkatkan pengguna Pertamax atau Pertamax Plus untuk kebutuhan BBM dalam negeri tampaknya perlu komitmen lebih pasti. Untuk memproduksi BBM yang dikenal lebih ramah lingkungan dan hemat konsumsi ini, produksinya sangat terbatas karena kondisi kilang yang sudah tua.

Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas terkait kilang minyak yang sekarang beroperasi untuk disiapkan bagi kebutuhan penyediaan Pertamax, tampaknya sulit terwujud. Kondisi kilang yang sudah tua memerlukan biaya tinggi untuk operasionalnya.

Konsekuensi dari sampainya harga Premium pada angka keekonomian, mampu membuat kilang baru demi ketahanan energi nasional. Bukankah kondisi yang sangat riskan ketika pasokan BBM-nya lebih berharap pada kebaikan negara lain untuk mengekspor minyaknya ke negeri ini. Menyegerakan pembangunan kilang melalui skenario extraordinary merupakan hal penting bagi ketahanan energi nasional.

Membangun ketahanan energi nasional yang kuat perlu komitmen semua stakeholder. Jangan membuat regulasi yang justru semakin mengacaukan tata kelola migas dengan produk-produk perundangan, seperti undang-undang, perpres, ataupun permen yang tidak merujuk pada konstitusi. Buatlah kebijakan tata kelola energi yang berpihak pada rakyat banyak untuk keberlangsungan generasi dan negeri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar