Kamis, 25 Juni 2015

#AyoMondok Menjawab Persoalan Besar Bangsa

#AyoMondok Menjawab Persoalan Besar Bangsa

Anton Prasetyo  ;   Pengajar di Pondok Pesantren Nurul Ummah, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MUTAKHIR, gerakan nasional #AyoMondok ramai diperbincangkan. Pertanyaannya, kenapa gerakan yang digagas Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) ini cepat mendapat respons positif dari pemerintah dan mayoritas masyarakat? Bukankah di negeri ini sudah banyak lembaga pendidikan yang lebih maju? Sementara, pondok pesantren masih dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional yang –oleh sebagian golongan– dianggap ketinggalan zaman.

Jawaban utama atas semua pertanyaan tersebut pasti bukan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua dan khas di Indonesia. Khoirul Anam (2015) menuliskan bahwa pada 1718 di kabupaten Pasuruan telah berdiri sebuah pesantren yang terkenal dengan nama Sidogiri. Beberapa tahun kemudian, pesantren-pesantren ‘pionir’ turut bermunculan, di antaranya Pesantren Jamsa ren, Solo (1750), Miftahul Huda, Malang (1768), Buntet, Cirebon (1785), dan Darul Ulum Banyuanyar, Madura (1787).

Jika yang dipermasalahkan ialah kualitas intelektual siswa (santri) pondok pesantren lebih mendalam jika dibanding kan dengan jebolan lembaga pendidikan lain, jawabannya bisa `ya'. Namun, jawaban itu tidak mutlak karena negara kita ¬selain mengirim TKI ke negara tetangga pada setiap tahunnya¬ selalu mengirimkan anak-anak muda yang menguasai ilmu pengetahuan brilian, dan banyak dari mereka bukan lulusan pondok pesantren.

Realitas semacam ini sejatinya menunjukkan bahwa kedalaman intelektual tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan kenyamanan hidup. Ada sisi lain, selain intelektual, yang diharapkan masyarakat dari pondok pesantren. Harapan tersebut ialah jawaban atas persoalan-persoalan yang selama ini mendera bangsa Indonesia, bahkan dunia.Masyarakat memiliki trust bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan besar tersebut.

Dua persoalan besar

Gerakan radikal dan krisis moral merupakan dua permasalahan utama bangsa. Keduanya membuat bangsa menjadi tidak aman, busung lapar, anak putus sekolah di manamana, hukum bak pisau yang tumpul ke atas, hingga virus korupsi semakin merebak dan menggerogoti para penggawa bangsa. Sampai sekarang, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut hasilnya masih nihil.

Gerakan radikal dimasukkan ke draf persoalan besar bangsa karena segala tindak tanduknya selalu mengusik ketenteraman masyarakat. Bagi masyarakat umum, mereka selalu waswas untuk melakukan aktivitas rutin yang oleh kaum radikal dianggap menyimpang.Terlebih, kaum radikal juga acap kali menyebar teror yang tidak menyedapkan. Belum lagi mengingat rekam jejak pergerakannya, berulang kali bom diledakkan di tempattempat umum hingga merusak fasilitas publik dan menelan korban nyawa masyarakat tidak berdosa.

Ketidaknyamanan juga dirasakan sesama penganut agama (Islam). Terhadap sesama kaum muslimin (umat Islam) yang tidak sepaham, kaum radikal selalu melontarkan perkataan-perkataan tidak sedap. Bahkan, tradisi-tradisi keagamaan --yang notabene ciptaan para waliyullah dan ulama-- dan sudah lama mendarah daging di kalangan umat pun tak lepas dari hujatan. Mereka seakan merasa menjadi tangan kanan Tuhan yang mendapatkan hak prerogatif untuk masuk ke surga.Terbukti, terhadap kelompok yang berseberang dengannya, mereka sering membidahkan, mengafirkan, bahkan mengancam terjerumus ke neraka.

Oleh sebagian besar pendapat, tumbuh-suburnya gerakan radikalisme di negara ini disebabkan oleh dangkalnya ilmu agama.Pelaku radikalisme mempelajari ilmu agama secara instan tanpa peduli kekuatan fondasi. Padahal, terkait dengan hal ini, Imam Ibnul Qayyim (691–751 H) pernah berpesan, “Barang siapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka hendaknya ia menguatkan dan mengukuhkan fondasinya serta bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya, ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekukuhan fondasinya.”

Di Indonesia, kaum radikal banyak yang belajar agama (hanya) dengan buku-buku terjemahan. Banyak dari mereka tidak menguasai bahasa Arab, bahkan membaca saja tidak lancar. Padahal, bahasa komunikasi antara Tuhan, nabi, dan umat manusia di sekeli ling nabi ialah bahasa Arab. Dengan kata lain, ketika seseorang akan memperdalam agama Islam, ia harus me nguasai bahasa Tuhan, yakni bahasa Arab.

Perbedaan mempelajari agama Islam antara menggunakan bahasa Arab dan terjemah sangat besar. Nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab) menjadi kunci utama dalam memahami agama Islam. Dikisah kan, Imam Al-Duali tercengang mendengar seseorang membaca Alquran (Qs At-Taubah: 3), Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasulihi. Ayat ini artinya, “Sesungguhnya, Allah membiarkan orang-orang musyrik dan rasul-Nya.” Padahal, ayat tersebut mestinya dibaca Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasuluhu yang artinya “Sesungguhnya, Allah dan rasul-Nya membiarkan orang musyrik.”

Kisah ini menunjukkan betapa kesalahan satu harakat (sandangan) dalam bahasa Arab –karena keawaman tata bahasa– memiliki dampak yang sangat besar. Sementara, kesalahan seperti ini jika dibiarkan akan menjadikan kerusakan pemahaman agama yang berdampak pada kesalahan amaliah. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang masih telaten mengajarkan ilmu tata bahasa Arab hingga saat ini.

Kelompok radikalisme juga menjadi sumber ketidaknyamanan masyarakat karena bersikap eksklusif. Mereka menganggap bahwa pendapat diri dan golongannya merupakan yang paling benar. Sebaliknya, pendapat orang atau golongan lain selalu salah. Pondok pesantren mengajarkan kepada para santri untuk selalu bersikap inklusif, toleran terhadap perbedaan. Pondok pesantren memiliki salah satu model belajar bernama ‘musyawarah’.

Di dalam kelas musyawarah, para santri dituntut aktif untuk menyuarakan pendapatnya terhadap masalah keislaman (baca: biasanya persoalan fikih) dengan referensi kitab-kitab induk. Dalam prosesnya, antara satu santri dengan yang lainnya sering tidak mendapatkan titik temu jawaban terhadap satu masalah, karena mereka berbeda pandangan dengan referensi yang sama-sama kuat. Terhadap kenyataan ini, para santri tidak memaksakan menyamakan jawaban, tetapi mereka memiliki jawaban yang beragam yang semua bersumber dari ulama-ulama terdahulu. Melalui kelas kecil inilah para santri tidak hanya dituntut untuk memperluas pengetahuan agama, tetapi juga sikap toleran terhadap perbedaan yang ada.

Sementara, untuk dampak dari krisis moral, tak dapat ragukan lagi. Hukum bisa dibeli, korupsi merajalela, suap-menyuap di mana-mana, semua ialah dampak dari krisis moral penduduk bangsa. Yang mengejutkannya, banyak lembaga pendidikan formal yang mestinya mendidik anak asuhnya agar bermoral malah bertindak amoral. Terbukti, banyak pendidik yang bertindak amoral (seks di luar nikah) dengan anak didik. Banyak pula perguruan tinggi menjual ijazah palsu kepada masyarakat umum yang gila pangkat dan jabatan.

Sementara itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan full day school. Semenjak bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan selama tidur, para santri selalu mendapatkan dan harus mengamalkan pendidikan. Di pondok pesantren, santri tidak hanya dituntut menjadi seorang yang ilmiah tanpa amaliah ataupun amaliah tanpa ilmu, tetapi mereka harus menjadi sosok yang ilmiah yang amaliah. Inilah nilai pendidikan pondok pesantren yang diharapkan dapat memperbaiki moral bangsa.

Bagi pondok pesantren, adanya gerakan nasional #AyoMondok merupakan berkah tersendiri. Hanya saja, dengan adanya ‘berkah’ ini, sanggupkah pondok pesantren mempertahankan jati diri? Harapannya begitu, jangan sampai ‘berkah’ ini justru menjadikan pondok pesantren ikut tersungkur menjadi lembaga pendidikan yang ‘apalahapalah’ itu. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar