Sabtu, 27 Juni 2015

Bumi makin Panas

Bumi makin Panas

  Topo Suprihadi  ;   Dosen Fisika di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Doktor Fisika Justus Liebig University of Giessen Jerman
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

US Department of Com Commerce cq National Oceanic Atmospheric Administra tion melaporkan kenaikan suhu permukaan tanah dan lautan di seluruh dunia 0,82 °C (1,48°F) di atas rata-rata suhu abad ke-20 pada kuartal pertama 2015. Kenaikan suhu yang terjadi merupakan bagian kecenderungan kenaikan suhu sejak Revolusi Industri dan diprediksikan berlanjut ke depan, di saat dalam 100 tahun berikut diperkirakan mencapai 1 °C¬6,5 °C. Dunia berada dalam pemanasan global.

Pemanasan global merupakan pemicu dan bentuk awal dari perubahan iklim. Pemanasan global muncul dari efek rumah kaca ketika konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama CO2, berlebihan di atmosfer. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah panel PBB yang mencakup lebih dari 1.300 ilmuwan seluruh dunia, dalam Assessment Report 5 2014, menyatakan, `Human interference with the climate system is occurring, and climate change poses risks for human and natural systems'.

Sinyalemen lanjut IPCC ialah kenaikan suhu di atas 1 °C tidak dapat dihindari mengingat GRK di atmosfer telanjur berlebihan. Padahal, kenaikan suhu di atas 1 °C dapat menimbulkan respons yang tak terduga dan nonlinear yang mengarah kepada kerusakan fatal ekosistem.

Pernyataan IPCC itu bukan cek kosong. Terbukti dari kejadian badai tropis dengan durasi, frekuensi, dan intensitas yang meningkat. Musim kering berkepanjang an dengan intensitas kekeringan lebih tinggi dan beberapa kali berlanjut kebakaran hutan di beberapa wilayah dunia termasuk Indonesia. Muncul gelombang panas (India) yang mematikan, pelelehan dataran Larson B Antartika yang berlangsung lebih cepat dari yang diprediksikan, dan termutakhir ialah gelombang panas terjadi di Pakistan yang menewaskan lebih dari 400 orang.

Kemendesakan tanggapan

PBB menanggapi serius kebolehjadian paparan risiko, bahaya, serta kerentanan sistem manusia dan sistem lingkungan hidup yang ditimbulkan pemanasan global, dengan mendorong tindakan mitigasi radikal melalui proposal kesepakatan yang mengikat untuk mencapai pembatasan pemanasan global tak lebih dari 2 °C. Proposal akan diajukan pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21 di Paris, Desember 2015.

Menurut IPCC, seandainya emisi CO2 dihentikan hari ini, hal itu tidak segera mampu menahan laju kenaikan suhu. Sudah cukup banyak CO2 di atmosfer dengan waktu hidup 20¬200 tahunan. Oleh karena itu, bersamaan dengan proposal kesepakatan tadi, IPCC juga menyampaikan lima butir alasan untuk prihatin yang meminta perhatian khusus dari para pembuat kebijakan dunia, sebagai berikut:

Peningkatan suhu rata-rata global 2 °C relatif terhadap suhu rata-rata dunia pada 1990; 

1. Berdampak signifikan pada banyak sistem unik dan rentan serta kecenderungan peningkatan status kepunahan pada spesies terancam.

2. Meningkatkan risiko kejadian ekstrem, termasuk banjir, kekeringan, gelombang panas.

3. Memunculkan dampak negatif di beberapa wilayah di dunia (negara-negara di sekitar Benua Arktika, pulau-pulau kecil), dan ancaman baru yang signifi kan pada kelompok populasi rentan, misalnya masyarakat yang tinggal di pedalaman atau pegunungan dan pantai dengan tingkat kemiskinan yang signifi kan.

4. Mempunyai agregat dampak negatif, terutama kenaikan risiko kekurangan air bersih dalam berbagai aspek gangguan kesehatan manusia termasuk penyakit masa depan yang belum diketahui.

5. Memunculkan kejadian tunggal skala besar, seperti pelelehan sebagian besar lapisan es Greenland dan lapisan es Antartika Barat (sudah terjadi pada dataran Larson B Antartika) yang memberi kontribusi signifi kan kenaikan permukaan laut mencapai dari 4-6 m.

Lima butir alasan untuk prihatin sebenarnya merupakan sebuah proposal kepada para pemimpin negara sedunia untuk menjadikan bagian pertimbangan dalam penyusunan kebijakan setempat.

Adaptasi dan mitigasi

Selain sebagai proposal butir pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, lima butir alasan untuk prihatin sekaligus merupakan rekomendasi arah tindakan adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi pemanasan global. Mengingat representasi paparan risiko, bentuk bencana, dan kerentanan butir demi butir tergantung geologi, geografi, dan topografi wilayah, perlu pendalaman dan analisis spesifik memadai terkait dengan manajemen mitigasi dan adaptasi yang menjangkau bagian hulu dan hilir dari risiko. Manajemen pada hilirnya saja, yaitu penanggulangan bencana, berharga lebih mahal. Sementara itu, manajemen bagian hulu sudah harus muncul dalam seluruh aspek kebijakan wilayah dalam bentuk analisis risiko.

Realisasi pembatasan pemanasan global tak lebih dari 2 °C tidak dicukupkan dengan pengurangan emisi CO2 saja pada level tertentu seperti halnya Protokol Kyoto, tetapi mengarah kepada eliminasi rezim bahan bakar fosil menjadi rezim bahan bakar miskin emisi CO2. Implementasi kesepakatan bisa saja mempunyai peta jalan sampai dengan 2050, tetapi tak urung sektor yang segera terimbas ialah industri energi listrik. Rezim teknologi kaya emisi CO2 mayoritas industri energi listrik dan sektor itu merupakan sistem ekonomi raksasa yang dihuni orang banyak. Sementara itu, kandidat paling rasional pengganti rezim teknologi kaya emisi CO2 ialah teknologi nuklir jika ditinjau dari kelayakan teknis seperti syarat utama miskin emisi CO2 ataupun kapasitas pasok, karakter intermitensi dan dispatchability, serta keekonomian dalam era rezim miskin CO2. 

Namun, teknologi nuklir masih menyisakan masalah penerimaan masyarakat.
Indonesia yang terletak di khatulistiwa, pinggiran cincin api, dan sebagai negara kepulauan berada di posisi kritis terhadap dampak pemanasan global. Selama ini, respons tepat terhadap dampak pemanasan global belum menjadi ‘mainstream’ para pembuat kebijakan. Semoga hal itu tidak dibayar mahal oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar