Jumat, 26 Juni 2015

Clickbait dalam Jurnalisme Online

Clickbait dalam Jurnalisme Online

Amalia Nurul Muthmainnah  ;   Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Airlangga Surabaya
JAWA POS, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKHIR-akhir ini, setiap kali membuka Facebook, ada saja informasi baru terkait perkembangan kasus Engeline yang muncul di timeline saya. Baik itu informasi dari page media yang saya ikuti atau sekadar berita-berita yang di- share teman-teman Facebook saya. Hajaran informasi yang bertubi-tubi semacam itu lantas membuat saya (dan mungkin juga Anda) jadi tak berkutik. Setiap menit, bahkan detik, akan selalu ada informasi terhangat dari beragam media online yang disebarluaskan di berbagai media sosial. Kita tentu tak akan mampu menyerapnya satu per satu. Hanya informasi yang ” eye-catching” yang akan mendapat perhatian lebih.

Saya yakin orang-orang di balik media online pun tahu itu. Sehingga mereka menjadikan judul sebagai senjata menarik pembaca. Judul harus menarik adalah lagu lama dalam dunia jurnalistik. Namun, apa jadinya bila judul hanya mencari sensasi tanpa mementingkan substansi? Apa jadinya bila judul tak lagi mencerminkan isi, tapi sekadar resonansi tak berarti?

Umpan demi Klik

Jurnalisme online ibarat makanan cepat saji dalam dunia jurnalistik. Karakteristiknya berbeda dengan jurnalisme cetak, radio, ataupun televisi. Ia dituntut bisa serbalebih: lebih aktual, lebih ringkas, serta lebih mudah dipahami. Orientasi bisnisnya pun tak sama. Bukan lagi oplah atau rating yang dipentingkan, melainkan traffic (jumlah pengunjung situs media tersebut) tinggi demi mendatangkan iklan.

Sayangnya, seperti yang saya sebutkan di awal, tak mudah menjadikan suatu informasi untuk ”sempat” dibaca. Konten media sosial yang kerap dinikmati lewat ponsel pintar dengan ukuran layar terbatas lantas membentuk pembaca dengan daya baca pendek. Kita kemudian hanya menjadi generasi scrolling timeline yang gemar melihat dan memindai informasi. Faktanya, menurut riset Science Daily pada 2012, kita melihat suatu situs hanya dalam 2,6 detik sebelum memutuskan untuk membacanya. Bahkan, riset NICHCY pada tahun yang sama menunjukkan bahwa rata-rata pembaca online hanya membaca 20 persen dari keseluruhan kata dalam satu halaman!

Maka, menjadi wajar bila kemudian media online menerapkan strategi-strategi demi menarik perhatian pembaca. Salah satunya lewat judul sebagai hal yang paling awal dilirik pembaca. Judul-judul yang menggoda di timeline media sosial tentu akan membuat pembaca mengklik link judul atau read more yang disediakan. Fenomena ini disebut sebagai clickbait atau umpan klik. Clickbait ”memaksa” pembaca membuka situs media online tersebut lewat judul yang sensasional, yang tentu akhirnya akan berdampak pada traffic. Bahkan, beberapa media online negeri ini menerapkan sistem agar pembaca harus berkali-kali mengklik dan berganti halaman hanya untuk membaca satu berita.

Judul yang ”wah” dengan isi menggugah tentu tak akan jadi masalah. Sayangnya, judul bombastis malah lebih banyak yang menjebak pembacanya. Judul yang ada seolah-olah menggambarkan kondisi A+++, namun nyatanya isi beritanya sekadar A. Bahkan lebih parah lagi bila judulnya A, namun isinya malah membahas Z. Judul-judul yang bersebaran di media sosial kini pun tak ubahnya judul ala koran kuning: berbau seks dan kriminal.

Fenomena clickbait, menurut saya, merupakan bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik. Khususnya pasal 3 yang mengatakan bahwa wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik yang menyesatkan. Bila judulnya saja menipu kita, lantas pantaskah isinya kita percaya? Ini tentu ironi. Zaman kian maju, jangan sampai jurnalisme kita justru melangkah mundur.

Pembaca Harus ”Membaca”

Di sisi lain, ternyata ada yang lebih berbahaya daripada judul-judul menyesatkan tersebut. Yakni pembaca yang hanya membaca judul beritanya, namun langsung menyebarkannya di media sosial miliknya. Ia yang begitu mudahnya terpesona tiap kali menemukan informasi-informasi bombastis di media sosial. Ia yang akan dengan mudahnya mengamini setiap informasi yang disodorkan ke hadapannya. Kemudian menghamburkannya tanpa melakukan validasi, tanpa adanya upaya untuk memverifikasi dengan berita-berita lain di media lain.

Hal itu tidak salah, namun berbahaya. Sebab, setiap berita yang disajikan media hanyalah kepingan-kepingan fakta di tengah derasnya banjir informasi. Dan layaknya banjir yang disebabkan alam, banjir informasi pun sebenarnya banyak menghanyutkan hal yang sama, yakni sampah! Maka, jangan sampai kita hanya menjadi saluran sampah. Ikut andil dalam prosesnya, namun tak pernah bertanya-tanya sampah tersebut asalnya dari mana, oleh siapa, dan atas dasar kepentingan apa.

Justru, di era banjir informasi seperti ini, penting bagi kita menjadi pembaca dengan idealisme tinggi. Yang selalu merasa skeptis pada informasi yang didapatkan. Skeptis, bukan sinis. Pilah dan pilih informasi secara rasional sebelum memutuskan untuk menyebarkannya.

Setidaknya, setiap kali menemukan berita dengan judul ”menarik” di media online ataupun media sosial, bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah berita ini sudah saya baca dengan saksama dan komprehensif? Apakah menurut saya informasi-informasinya benar? Apakah informasinya juga baik untuk publik? Dan yang terpenting, apakah informasinya berguna untuk diketahui orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar