Jumat, 26 Juni 2015

Constitutional Complaint dan Pengujian UU

Constitutional Complaint dan Pengujian UU

Janedjri M Gaffar  ;   Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang
KORAN SINDO, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perlindungan hak konstitusional warga negara menjadi arus utama negara hukum konstitusional modern. Dimulai dari berkembangnya paham konstitusionalisme hingga terbentuknya lembaga dan mekanisme hukum guna melindungi hak konstitusional warga negara, bahkan dari keputusan atau tindakan negara itu sendiri.

Salah satu mekanisme hukum perlindungan hak konstitusional yang tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia saat ini adalah constitutional complaint atau pengaduan konstitusional, yaitu pengaduan warga negara terhadap tindakan atau keputusan organ negara, termasuk putusan pengadilan, yang dianggap melanggar hak konstitusional nya.

Hampir di semua negara, Mahkamah Konstitusi (MK) dan institusi sejenis memiliki wewenang memutus perkara pengaduan konstitusional, termasuk di tiga negara yang banyak menjadi referensi pada saat pembentukan MK-RI, yaitu di Jerman, Austria, dan Korea Selatan. Dalam perkembangannya, perkara pengaduan konstitusional menjadi perkara terbanyak yang diterima dan diputus oleh MK di ketiga negara tersebut.

Melihat MK di ketiga negara itu, tentu menimbulkan pertanyaan ketika MK-RI melalui Perubahan UUD 1945 dikonstruksikan tanpa wewenang memutus pengaduan konstitusional. Kewenangan memutus pengaduan konstitusional tidak diberikan untuk mencegah terjadinya penumpukan perkara dan menghindari persinggungan dengan kewenangan MA.

Pengaduan Konstitusional dalam PUU

Tidak adanya kewenangan memutus pengaduan konstitusional tidak berarti sama sekali kewenangan MK tidak memiliki elemen pengaduan konstitusional. MK-RI memiliki kewenangan memutus Pengujian Undang-Undang (PUU) yang dalam beberapa aspek berbeda dengan kewenangan judicial review yang dimiliki oleh MK di negara lain, termasuk di Jerman, Austria, dan Korea.

Dari sisi objek kewenangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang dapat diajukan pengujian, MK-RI lebih sempit karena terbatas pada undangundang, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan MA. Pemisahan semacam itu tidak dikenal di negara lain. MK negara lain memiliki wewenang melakukan judicial review terhadap semua produk hukum.

Dilihat dari pihak yang diberi kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian, di Indonesia lebih luas. Jika di negara lain pada umumnya membatasi pemohon hanya lembaga negara atau pejabat tertentu, Indonesia memberikan kesempatan luas bahkan kepada perorangan warga negara. Pemberian legal standing kepada perorangan warga negara sebenarnya merupakan elemen dari mekanisme pengaduan konstitusional.

Apalagi pada saat permohonan diajukan oleh perseorangan yang telah mengalami kerugian hak konstitusional secara spesifik dan nyata akibat diberlakukannya suatu ketentuan undang-undang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perkara PUU di MK yang diajukan oleh perorangan warga negara yang mengalami kerugian nyata dan spesifik memiliki karakter pengaduan konstitusional.

 Beberapa perkara yang sangat jelas elemen pengaduan konstitusionalnya antara lain adalah permohonan pengujian pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP yang diajukan oleh Eggi Sujana dan Padapotan Lubis, serta pengujian pembatasan PK dalam KUHAP yang diajukan oleh Antasari Azhar. Pengujian pasal-pasal penghinaan terhadap presiden adalah pengujian Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP.

Pemohon pada saat itu telah diputus bersalah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap presiden yang diatur di dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Demikian pula dengan pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHP yang membatasi PK hanya satu kali, juga diajukan oleh Antasari Azhar pada saat yang bersangkutan sudah divonis dan sudah mencoba untuk mengajukan PK lebih dari satu kali namun ditolak karena adanya ketentuan pembatasan itu.

Elemen pengaduan konstitusional yang bersifat individual ini dalam perkembangan perkara di MK telah menimbulkan pembedaan antara isu hukum pelaksanaan norma dan konstitusionalitas norma. Beberapa perkara dinyatakan ditolak oleh MK dengan alasan bahwa kerugian yang diderita oleh pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kesalahan dalam pelaksanaan norma.

Tentu hal ini tidak akan terjadi jika pengaduan konstitusional menjadi satu kewenangan tersendiri. Di sisi lain, ada juga ahli yang menganalisis perkara tertentu yang sesungguhnya bersifat individual dan seharusnya tidak diputus oleh MK melalui PUU yang putusannya bersifat erga omnes.

Kasus ini antara lain pengujian ketentuan pembatasan PK yang diajukan oleh Antasari Azhar. Jika kasus tersebut diputus melalui pengaduan konstitusional, tentu tidak menimbulkan persoalan hukum karena putusan pengaduan konstitusional yang spesifik untuk kasus yang dihadapi oleh pemohon.

Pilihan Sistem

Walaupun secara general terdapat teori yang bersifat umum, setiap negara pasti memiliki pembeda dengan negara lain. Demikian pula terkait dengan kewenangan MK. Setiap negara dapat saja memiliki kekhasan masing-masing di samping kesamaan-kesamaan. Sebaliknya, setiap negara tentu dapat saja melakukan perubahan dengan belajar dari konstruksi dan pengalaman negara lain yang dipandang sesuai.

Ini adalah pilihan sistem yang masing- masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Keberadaan mekanisme pengaduan konstitusional yang diikuti pula dengan kewenangan judicial review terhadap seluruh produk hukum memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan adanya pengaduan konstitusional adalah menjadi salah satu instrumen mengawal konstitusi dan yang lebih penting lagi adalah mengawal pelaksanaan putusan MK.

Pada saat MK sudah memutus judicial review, tidak ada kekhawatiran lagi terhadap pelaksanaan putusan itu karena dapat dijamin melalui wewenang judicial review terhadap aturan lebih rendah dan melalui pengaduan konstitusional terhadap tindakan dan keputusan negara.

Kelemahan yang utama dari adanya pengaduan konstitusional adalah penumpukan perkara di MK karena objek pengaduan konstitusional yang sangat luas, walaupun pengalaman dari beberapa negara menunjukkan sangat sedikit perkara yang dikabulkan. Kelemahan selanjutnya adalah prosedur yang harus ditempuh oleh warga negara cukup panjang karena biasanya disyaratkan semua upaya hukum biasa telah ditempuh (exhausted).

Selain itu, pada titik tertentu di beberapa negara kewenangan ini menempatkan MK sebagai lembaga yang lebih superior dibanding dengan MA karena putusan MA yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dibatalkan MK jika melanggar hak konstitusional warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar