Jumat, 26 Juni 2015

Dana Aspirasi atau Dana Konspirasi?

Dana Aspirasi atau Dana Konspirasi?

  Dadan S. Suharmawijaya  ;   Wakil Direktur
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP
JAWA POS, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEPERTI virus yang bangkit dari tidur, dana aspirasi DPR kembali membuat akal sehat meriang. Setelah ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun lalu, usul dana aspirasi DPR kali ini bagaikan mengetes seberapa kuat pemerintahan Joko Widodo.

Jokowi, sebagaimana disebut Menteri Bappenas Adrinof Chaniago, menolak gagasan DPR tersebut (Jawa Pos, 26/6). Namun, seperti halnya dalam penolakan revisi UU KPK, Joko belum berbicara langsung soal dana aspirasi Rp 20 miliar per daerah pemilihan (dapil) itu. Sikapnya, tampaknya, masih gamang.

DPR sebenarnya sudah berupaya ”menginternalisasikan” isu dana aspirasi tersebut. Yakni, menetapkannya dalam paripurna menjadi Peraturan DPR tentang Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). DPR memang berwenang membuat peraturan yang mengikat dirinya. Namun, untuk mengadakan dana aspirasi Rp 11 triliun, DPR jelas butuh teken presiden karena terkait dengan APBN yang berbentuk undang-undang.

Buah pikir menguasai duit negara dari DPR itu menunjukkan adanya keterputusan dalam peta hubungan fungsi, tugas, dan wewenang DPR (secara kelembagaan); hak dan kewajiban anggota DPR (secara perorangan); sistem perencanaan pembangunan; serta proses penyusunan APBN.

Secara kelembagaan, DPR memang memiliki fungsi anggaran. Sementara itu, secara perorangan, anggota DPR memiliki hak dan kewajiban berdasar UU yang sama pasal 80 huruf j dan pasal 81 huruf i dan j. Mereka berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan dapil. Sementara itu, kewajiban mereka adalah menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen.

Di sisi lain, ada sistem perencanaan pembangunan dan penyusunan APBN. Empat elemen itu seharusnya menjadi penopang terciptanya integrasi, harmonisasi, dan sinergi, baik antardaerah, antarruang (interspacial), antarwaktu, antarfungsi pemerintah, maupun antara pusat dan daerah, dalam mewujudkan pembangunan nasional.

Namun, dalam praktiknya, hal tersebut diletakkan terpisah. Perencanaan pembangunan yang ditindaklanjuti dengan penyusunan RAPBN diletakkan sebagai tugas dan wewenang eksekutif. Baru belakangan di ujungnya bertemu dengan tugas, fungsi, dan wewenang lembaga DPR untuk menyetujui atau menolaknya.

Akibatnya, hak dan kewajiban anggota DPR seakan tidak terintegrasi dalam siklus ini. Karena itu, kini muncul UP2DP atau dana aspirasi.
Logika akal sehatnya, seharusnya warga dapil maupun warga dalam musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang berjenjang adalah warga yang sama. Dengan demikian, perencanaan dan pendanaan program pembangunan dapat melalui sistem dan pendanaan program pembangunan yang terintegrasi.

Memang, selama ini jarang ada anggota DPR yang telaten terlibat dalam musrenbang yang memang harus sabar mendengar warga yang kerap ”cerewet”. Kalau memang serius memperjuangkan aspirasi, untuk setiap anggota DPR, selain harus terlibat dalam musrenbang nasional di pusat, semestinya dia terlibat dalam musrenbang provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi dapilnya. Di situ usul-usul untuk merealisasikan janji-janji saat kampanye bisa dipaparkan dan disesuaikan dengan prioritas. Tidak main cegat di ujung yang memungkinkan negosiasi untuk sejumlah program titipan.

Sistem musrenbang yang transparan dan inovatif kian sulit diterobos aksi ”cegatan” itu. Provinsi DIJ, misalnya, memiliki program Jogja Plan. Provinsi NAD punya program Kendali Hulu Hilir Pembangunan serta Provinsi Kalteng dan Kota Surabaya memiliki e-musrenbang.

Melalui Jogja Plan, warga DIJ yang usul programnya tidak terakomodasi dalam musrenbang bisa langsung mengusulkan program secara sektoral maupun spasial dengan menunjuk lokasi tertentu secara jelas. Begitupun pada e-musrenbang Kota Surabaya.

Bila DPR memaksakan diri dengan keputusan sekarang dan selanjutnya melempar bola panas ke presiden untuk mengakomodasinya dalam RAPBN 2016, akan banyak kesulitan. Apalagi rangkaian musrenbang praRAPBN 2016 sudah tuntas. DPR bisa saja (menakut-nakuti) menginterpretasi presiden dengan alasan yang bisa dibuat belakangan. Tetapi, persoalan tidak sesederhana itu.

Nomenklatur APBN tidak mungkin mengakomodasi program yang pasti tidak sama antardapil. Ketidakjelasan nomenklatur tersebut tentu menjerumuskan kuasa pengguna anggaran (KPA) dari institusi eksekutif mana pun karena sulit mempertanggungjawabkannya. Bisa menjadi bencana hukum.

Kalau memang usul dana aspirasi per dapil tersebut mau menerapkan sistem perencanaan pembangunan dengan pendekatan spasial, bukankah itu bisa dialokasikan menjadi dana transfer ke daerah, baik menjadi bagian dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK)? Bisa saja diformulasikan dengan jumlah kursi dari kabupaten/kota yang menjadi dapil atau bagian dapil tertentu.

Namun, itu pun memunculkan problem ketimpangan. Sebab, kalau dikalkulasi berdasar kelompok pulau, sekitar 54 persen terdistribusi di Jawa dan 22 persen di Sumatera. Selebihnya di Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang masing-masing kebagian kurang dari 10 persen.

Kalau memakai jalan sah dan transparan mentransfer ”dana aspirasi” ke dapil itu tidak memuaskan DPR juga, jangan-jangan memang ada maksud konspiratif. Siapa tahu orang-orang parpol memang sedang mencari sumber duit dari uang negara yang dilegalisasikan serampangan. Mirip susulan dana Rp 1 triliun per parpol yang pernah dilontarkan Mendagri Tjahjo Kumolo, orang dalam pemerintahan Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar