Selasa, 30 Juni 2015

Darurat Keolahragaan Nasional

Darurat Keolahragaan Nasional

  Tandiyo Rahayu  ;   Guru Besar Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 15 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT artikel ini ditulis, rasanya sebagian besar masyarakat Indonesia sedang merasa ciut menyaksikan laga sepak bola Indonesia vs Thailand di ajang SEA Games. Selain itu, Indonesia berada di peringkat ke-5 perolehan medali emas, di bawah tuan rumah Singapura; Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Dengan 33 keping medali emas, 41 perak, dan 54 perunggu, ditambah kekalahan 0-5 Timnas U-23 atas Thailand, sangat sulit bagi Indonesia mengelak dari situasi darurat keolahragaan nasional. Siapa yang bersalah atas keadaan darurat olahraga ini?

Kita semua. Dalam 50 tahun terakhir bangsa Indonesia tidak lagi pernah menganggap olahraga sebagai urusan negara dan masal a h serius. Bangsa ini juga sudah tak lagi menggarap olahraga sebagai aset yang bisa memberi kebanggaan pada bangsa dan negara. Namun bangsa ini secara serentak akan berteriak panik, menggerutu, menghujat kiri kanan saat olahragawan nasional kita terseok-seok dan terengah-engah menggapai kehormatan di kancah internasional. Dalam keterpurukan prestasi itu tiba-tiba seluruh elemen masyarakat merasa berkepentingan mengurus olahraga melalui komentar yang tidak terkendali.

Wakil rakyat dan masyarakat awam menempatkan diri sebagai pihak yang dirugikan dan dipermalukan oleh prestasi olahraga. Apa sebenarnya maunya? Tidak peduli namun mengharap prestasi cemerlang. Tidak meletakkan urusan olahraga sebagai urusan bangsa namun menuntut kebanggaan melalui prestasi olahraga. Sebenarnya Indonesia memiliki perangkat sistem keolahragaan lengkap. Tersedia UU Sistem Keolahragaan Nasional yang mengatur seluruh kepentingan namun belum juga sepenuhnya ditaati. Ada SDM dengan jumlah lebih dari 200 juta manusia, tentunya dapat ditemukan setidak-tidaknya 200 orang yang mampu bersaing di level internasional dan mendatangkan kebanggaan. Dana pun ada kalau memang mau menyisihkan anggaran. Buktinya megaprojek Hambalang Sport Centre sudah bergulir. Cerdik pandai di bidang keolahragaan juga banyak. Indonesia memiliki puluhan lembaga pendidikan tinggi keolahragaan (FIK/FPOK/- JPOK) dan tiap tahun meluluskan ribuan sarjana keolahragaan. Apa yang kurang?

Kekurangannya hanya satu, yaitu niat kuat untuk berubah. Kita memang tidak memiliki niat kuat untuk mengubah keadaan. Institut Olahraga Tahun 2012 sebenarnya terbit setitik harapan untuk merintis kebangkitan keolahragaan nasional melalui rencana pembukaan lembaga pendidikan, yang waktu itu disebut Institut Olahraga Indonesia (IOI). Lembaga ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan tenaga keolahragaan nasional yang profesional dan berkualitas. Setitik harapan itu kemudian harus layu dan hanya tertinggal dalam setumpuk naskah akibat banyaknya tarik-menarik kepentingan dan ada halhal teknis politis yang tidak ada kaitannya langsung dengan keolahragaan.

Sekarang merupakan momentum tepat untuk kembali menyalakan api harapan itu. Sudah saatnya naskah IOI kembali dibuka, diwujudkan, dirawat, dan dibesarkan secara profesional. Idealnya, institut itu dibangun dalam bentuk sekolah atau lembaga pendidikan kedinasan, sepenuhnya dibiayai negara dengan pendekatan pendidikan ikatan dinas. Rekrut olahragawan berprestasi nasional yang tertarik berkarier sebagai tenaga keolahragaan. Beri mereka beasiswa ikatan dinas untuk belajar di IOI, beri mereka pendidikan dan bekal sport science yang purna. Datangkan ahli ilmu keolahragaan terbaik dari seluruh penjuru dunia untuk ikut mengajar dan menguatkan serta memperkaya bekal ilmu keolahragaan.

Lulusan IOI langsung diangkat jadi pegawai negeri, tugaskan mereka di seluruh pelosok negeri ini, baik di sport research centre maupun di lapangan, untuk menemukan dan membina bakat-bakat terbaik. Dengan bekal ilmu dan pengetahuan dari IOI, mereka yang mantan olahragawan berprestasi niscaya mampu menemukan penerus mereka, tidak perlu lagi ada upaya-upaya naturalisasi olahragawan asing. Western Australian Institute of Sports (WAIS) merupakan contoh nyata. Di lembaga ini bertebaran para Olympian bergelar PhD dari berbagai disiplin ilmu. Banyak di antara mereka pernah menyandang gelar juara atau rekor dunia di cabang masingmasing, dan mereka bekerja sama membangun keolahragaan di Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar