Minggu, 28 Juni 2015

Dongeng dari Negeri Tembakau

Dongeng dari Negeri Tembakau

  Mohamad Sobary,  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Syahdan, kata orang-orang tua, ada kisah turun-temurun yang sampai di telinga kita. Pada zaman dahulu ada seorang kakek yang mendaki Gunung Sumbing di Temanggung, Jawa Tengah. Dalam pendakiannya itu, di suatu tempat, yang sudah dekat dengan puncak gunung tersebut, sang kakek berteriak dengan perasaan terkejut bercampur rasa kagum: ”iki tambaku”, inilah obatku.

Apa yang disebut obat itu? Sang kakek membungkuk dan mencabut sejenis tetumbuhan liar di hutan, yang belum dibudidayakan petani. Menurut dongeng yang kini menggelantung di dahan-dahan, di ranting, maupun di pohon-pohon dan di batu-batu, kata ”tambaku” itu berubah bunyi menjadi ”tembako”, kemudian menjadi ”mbako”. Orang Jawa, sejak dulu hingga kini, menyebutnya ”mbako”. Kita tahu artinya tembakau yang kita kenal sekarang.

Sejak dulu, ketika jenis tetumbuhan itu masih liar, hingga sekarang, sesudah dibudidayakan petani menjadi tanaman yang terpelihara dengan baik, tetumbuhan itu tidak berubah. Batang dan daun-daunnya masih seperti yang dulu. Batang maupun daun-daunnya mengandung sejenis ”bulu-bulu” lembut. Bila kita menyentuhnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan yang sedikit ditekan, keluarlah sejenis cairan yang sedikit berlendir. Jika cairan itu dijilat, rasanya pahit. Inilah pahit tembakau, yang kita kenal sampai sekarang.

Rasa pahit itu merupakan sejenis racun yang bisa digunakan sebagai obat. Tidak ada catatan yang ditinggalkan pada kita, penyakit apa yang bisa diobati dengan tanaman tersebut. Para leluhur tidak memiliki tradisi mencatat apa yang mereka kerjakan. Obat dan sistem pengobatan berkembang secara terbatas dan hanya dikenang berdasarkan ingatan yang juga terbatas.

Begitu suatu generasi berlalu, sebagian cara pengobatan dan jenis-jenis penyakit yang diobatinya ikut hilang tertiup badai perubahan. Modernisasi, kemajuan, dan perkembangan zaman, menelan apa saja yang tak sejalan dengan semangat zaman itu. Tradisi dan segenap tata cara yang dimuliakan masa lalu juga ikut lenyap. Sistem pengobatan modern yang lebih maju, lebih efisien, dan mungkin kelihatan lebih bergengsi mendesak jauh sistem pengobatan nenek moyang kita.

Apa yang modern bertahan. Yang tua-tua perlahan-lahan lenyap tanpa sisa.
Meskipun begitu, ada yang tetap tinggal, tak pernah tergusur, dan tetap jaya: tembakau tetap tembakau. Sistem budi daya tanaman tembakau bukan semakin surut, melainkan semakin maju. Si kakek yang disebut sebagai penemu bibit tembakau tadi di dalam dongeng disebut sebagai pemelihara tanaman tembakau. Kakek itu bukan orang biasa. Orang-orang tua menyebutnya Ki Ageng Makukuhan. Karena beliau hidup di daerah Kedu, beliau pun bergelar Ki Ageng Kedu.

Beliau juga dikenal sebagai Prabu Makukuhan, Sunan Makukuhan, Wali Agung Makukuhan. Pada masa hidupnya, sang wali pernah berguru pada Sunan Kudus. Di dalam dongeng tersebut, ada tiga serangkai yang bekerja sama dan saling menolong. Sunan Makukuhan mengurus sistem budi daya tembakau. Sunan Kudus disebut pengolah produk tembakau. Di zaman itu ada pedagang terkemuka yang menangani penjualan produk olahan tembakau dari Sunan Kudus. Pedagang itu bernama Dampo Awang, yang juga dikenal dengan sebutan Panglima Ceng Ho.

Kita tidak tahu bagaimana tata kelola perdagangan tembakau pada zaman itu. Tapi, kita tahu, Ceng Ho memiliki kapal besar dan beliau berlayar ke tempat-tempat yang jauh dari negeri kita. Kecuali dijual di negerinya, China, dapat diduga bahwa panglima itu juga menjualnya di negeri-negeri lain yang berada dalam jalur pelayarannya.

Sunan Makukuhan, Sunan Kudus, dan Dampo Awang bekerja sama dengan baik. Tiap pihak menghormati pihak lain. Mereka saling membutuhkan. Masing-masing saling melengkapi.

Dongeng dari negeri tembakau memberitahukan kepada kita bahwa sejak dulu tembakau sudah merupakan produksi pertanian yang diperdagangkan lintas negara, lintas benua, dan lintas bangsa. Kita tahu bahwa kelangsungan hidup tanaman tembakau terjaga dengan baik. Masa hidupnya yang melintasi abad-abad yang begitu panjang. Konsumen dan produsen bekerja sama, saling membantu, dan saling menolong. Konsumen bergantung pada produsen, dan sebaliknya, produsen tak bisa berproduksi tanpa konsumen.

Kisah-kisah masa lalu, dongeng dari negeri tembakau, tetap hidup pada hari ini. Tembakau, produk dunia pertanian itu, kaya dengan dongeng dan kisah-kisah yang melibatkan para tokoh besar yang bukan orang setempat.

Dongeng dari negeri tembakau menggambarkan jalinan kehidupan yang terjaga secara harmonis. Kita menikmati kisah kehidupan yang rukun dan damai.

Dongeng dari negeri tembakau mungkin gambaran sebuah surga kecil di bumi. Ini surga yang diciptakan dan dipelihara manusia. Di dalamnya alam dan manusia hidup berdampingan. Manusia menjaga alam. Tapi, manusia juga menikmati keagungan alam itu bagi keselarasan hidupnya.

Dongeng dari negeri tembakau itu kisah masa lalu, milik masa lalu, yang kini menjadi milik kita. Tapi, sekarang muncul dongeng baru: dongeng asing yang menakutkan. Siang maupun malam para petani di negeri tembakau merasa terancam. Siang maupun malam hidup mereka tidak tenteram.

Syahdan, di dalam mimpimimpi mereka terbayang raksasa bule sebesar gunung yang siap mencaplok seluruh ladang pertanian tembakau yang mereka miliki.
Kalau tanaman tembakau, satu-satunya sumber kehidupan ekonomi dicaplok habis tanpa sisa, nasib hari depan para petani pun berada dalam bahaya. Membunuh petani yang tak punya hari depan sama mudahnya dengan memijit buah tomat. Para petani akan mati dengan sendirinya.

Raksasa bule sebesar gunung itu pandai dan kaya raya. Menghadapi politisi, mereka berbicara politik dengan canggih. Di depan para birokrat, mereka berbicara mengenai tata kelola pemerintahan yang adil dan demokratis. Di depan orang-orang kesehatan, mereka berbicara mengenai cara menjaga kesehatan masyarakat. Tapi, bukan hanya itu. Mereka juga membawa uang yang tak terbatas jumlahnya.

Politisi, para birokrat, dan orang-orang kesehatan takjub melihat kehebatannya. Mereka pun terpesona pada kemurahan hatinya. Uang dalam jumlah tak terbatas tadi dibagi-bagi begitu saja. Tujuannya hanya satu: mereka diminta membantu raksasa bule tadi menghancurkan kehidupan di negeri tembakau.
Para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan diberi tahu bahwa tembakau berbahaya sehingga harus dihancurkan.

Para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan, bekerja dengan sikap dan penuh pengabdian pada si raksasa bule. Para prajurit masing-masing yang taat dan patuh sesudah melihat bahwa di balik perintah atasan mereka ada pula uang yang besar jumlahnya. Para petani tembakau risau. Tapi, kemudian mereka melawan dengan gigih. Mereka mempertahankan hak hidup yang terancam.

Dongeng dari negeri tembakau pun kemudian bertambah satu babak baru: babak perlawanan terhadap ancaman raksasa bule sebesar gunung yang dibantu para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar