Senin, 29 Juni 2015

Guru Demokrasi

Guru Demokrasi

  Jean Couteau ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS, 28 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah tulisan mewakili lebih dari sekadar opini sang penulis. Karena hadir dalam momen tertentu gelombang sejarah, sang penulis selalu menyeleksi topik dan mengambil sikap di dalam hal-hal yang lima puluh tahun kemudian bakal dianggap tidak relevan....

Dengan lain kata dia terbawa arus. Namun, bila dia lebih dari sekadar pencatat, dan meskipun arus sejarahnya memang membawanya, dia tidak akan membiarkan dirinya hanyut. Dia memahami bahwa di seberang arus sana, ada sesuatu yang lebih kekal, yang hendaknya senantiasa menjadi tujuannya: sejumlah prinsip yang membuatnya melampaui zaman dan tempatnya.... Wartawan ideal adalah penulis seperti ini.

Itulah sekelumit pikiran yang tebersit di benak saya ketika memikirkan nasib para penulis Kompas selama 50 tahun, setelah surat kabar kesayangan kita ini didirikan pada tanggal 28 Juni 1965.

Kompas memilih saat yang paling sulit untuk dilahirkan, yaitu beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965. Zaman penuh paranoia, penuh skizofrenia juga, di mana suasana Perang Dingin berkelindan dengan semangat merdeka. Bahasa politik zaman itu sarat persaudaraan, tetapi sarat juga permusuhan.

Oleh pemimpinnya, Indonesia dirumuskan sebagai anggota suatu gerakan ”pembebasan” revolusioner lintas bangsa—dengan musuh ”reaksioner” secara lokal dan musuh ”imperialis” secara internasional. Rakyatnya tentu saja tersihir dan tak peduli paradoks. Ia menelan dengan penuh semangat, baik acuan pada teori konflik yang Marxis (kelas, revolusioner, imperialisme, feodal) maupun acuan pada teori konsensus nasional dan agamis (gotong royong).

Yang mengemuka kala itu adalah retorika, dan yang menguasai retorika adalah sang pemimpin besar Soekarno. Bisa jadi rakyatnya semakin miskin dan pabrik-pabrik tidak berjalan, tetapi tidak apa-apa: Indonesia diyakini kala itu mampu mengatasi segala rintangan. Realitas wajib tunduk; ekonomi wajib turut; partai politik wajib bersatu; ”imperialis” wajib takluk.... Pendeknya Indonesia menjadi negara teater, dan teater itulah yang menjadikan bangsanya suatu bangsa besar.

Masalahnya, lama-kelamaan teater itu menjadi drama: pertarungan verbal menjadi pertarungan nyata; persaudaraan antar-bangsa menjadi konfrontasi; konsensus Nasakom menjadi gelanggang permusuhan; kaum cendekiawan (Manikebu) dan militer kian capek menyaksikan kontradiksi antara norma ideal yang muluk dan kenyataan yang menyedihkan. Maka, drama memuncak menjadi darah pada pengujung bulan Oktober 1965. Hingga tatanan yang telah berlaku hingga waktu itu—Orde Lama—seketika tumbang. Sang proklamator revolusioner kiri digeser oleh seorang ”smiling general” bersemangat kanan. Kuasa retorika diganti oleh kuasa realita: Wacana revolusi dan keadilan sosial ”out”, wacana stabilitas dan pembangunan ekonomi ”in”. Marx dan teori konflik harus mengalah pada Rostow dan teori ”take-off”-nya.

Zaman Orde Baru telah tiba. Alhasil ekonomi memang membangun. Pragmatisme merajalela. Yang tadinya dimusuhi sebagai imperialis disulap sebagai investor, sementara rekan-rekan Indonesia-nya diangkat menjadi konglomerat atau ditolerir sebagai koruptor. Rakyat tidak lagi lapar. Namun, meski ekonomi tumbuh, hilanglah impian keadilan sosial, yang semakin mengakar di antara masyarakat Indonesia. Jadi bila ”retorika” presiden pertama telah sering memicu konflik, ”realita” sosial presiden kedua, yang telah muncul dalam darah, kerap juga bermuara konflik.... Orde Baru pada gilirannya tumbang. Terbukalah pintu untuk demokrasi.

Itulah saat yang telah lama dinantikan oleh Kompas. Selama puluhan tahun, generasi demi generasi, wartawannya terpaksa pasrah mengalah. Baik di dalam tajuk maupun di dalam beritanya, mereka lebih menyiratkan daripada menyatakan, mengimbau daripada menegaskan. Namun, bak setangkai bambu yang menunduk di hadapan badai, Kompas tidak pernah pecah dan selalu mampu kembali berdiri tegak.

Mengapa? Karena senantiasa setia pada segelintir prinsip yang dipegang teguh: humanis-spiritual atas segalanya; rasional; hati-hati terhadap retorika radikal apa pun tetapi teguh di dalam menuntut keadilan; bersemangat dalam kebinekaan dan terbuka terhadap perbedaan. Pendeknya, yakin bahwa kunci kebersamaan yang sukses terletak pada proses tawar-menawar antarkelompok sosial-ekonomi, religius, dan etnis yang disokong oleh landasan hukum yang kokoh. Pendeknya, Kompas selama 50 tahun adalah guru demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar