Minggu, 28 Juni 2015

Kasus Engeline dan Opini Publik

Kasus Engeline dan Opini Publik

  Yasmin Muntaz  ;   Pemerhati Media; Alumnus Pascasarjana FHUI
KORAN SINDO, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah sebulan lebih berita Engeline mewarnai media. Bocah cantik itu telah menjadi perhatian publik sejak diberitakan hilang. Kasusnya semakin menyita perhatian setelah bocah delapan tahun itu ditemukan tak bernyawa pada 10 Juni lalu. Hingga tulisan ini dibuat, kasus pembunuhan Engeline masih menjadi headline karena pelakunya masih ”misterius”.

Kita semua mafhum, pelaku kekerasan terhadap anak bisa siapa saja, baik orang tua kandung maupun orang tua tiri/angkat. Namun, dalam kasus Engeline, stigma ibu tiri/angkat yang ”kejam” terasa begitu kuat. Masyarakat seolah sedang menyaksikan drama kekejaman ibu angkat dan penetapan Margriet sebagai tersangka pembunuhan, ibarat sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Padahal, fakta tidak mesti sejalan dengan opini masyarakat dan tidak dapat ”disinkronkan”. Timbulnya kecurigaan terhadap sang ibu angkat tentunya bukan berdasarkan stigma semata. Memang ada beberapa kejanggalan yang telah mengemuka di media dan masyarakat terkait lokasi ditemukannya jasad bocah malang itu. Namun, aparat belum menemukan bukti yang mengarah pada Margriet sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Margriet baru menjadi tersangka penelantaran anak.

Dalam kasus kriminal, media seringkali berpihak pada korban. Ketika berpihak pada korban, pemberitaan dapat menjadi bias karena empati ikut berperan di dalamnya. Di sejumlah tayangan, porsi wawancara dengan narasumber pun terasa kurang berimbang. Disengaja atau tidak, pakar yang diundang ternyata banyak yang mengarah pada keterlibatan sang ibu angkat. Tuduhan terhadap Margriet pun seolah dengan bebas bisa dilontarkan di media, dalam hal ini di televisi.

Sejumlah media sempat menayangkan kecurigaan Hamidah (ibu kandung Engeline) terhadap Margriet dengan cara ”digelontorkan” begitu saja sehingga durasinya menjadi panjang. Bahkan ada media yang memberi efek looping (pengulangan) dan echo (gema) pada suara tangis sang ibu kandung, juga dengan durasi yang cukup panjang. Tentu saja itu dapat mempermainkan emosi pemirsa.

Seperti media lain, tayangan berita di televisi juga terikat pada kaidah jurnalistik. Sesuai ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di mana untuk program siaran berita, media harus memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik.
Antara lain akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beriktikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan (misleading), tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, dan lain-lain. Program harus menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam peliputan dan tidak melakukan penghakiman.

Memang tidak semuanya demikian. Masih ada tayangan yang mencoba berimbang dengan menampilkan narasumber yang memiliki angle berbeda. Namun, pendapat narasumber tersebut kalah gaungnya dengan opini yang ada. Apalagi, media kurang banyak menggali keseharian Margriet dari sisi yang ”tidak negatif”.

Saat ini memang pemberitaan media sudah lebih berimbang dibandingkan pada awal penemuan jasad Engeline. Namun, opini publik yang telanjur terbentuk masih sulit bergeser dari ”praduga bersalah” (presumed guilty) terhadap Margriet sang ibu angkat.

Beberapa waktu lalu sempat ada tudingan bahwa pembunuhan siswi kelas 2 SD itu suatu ”konspirasi” dengan motif harta warisan. Banyak media yang mem-blow up tudingan tersebut tanpa dikritisi. Padahal, sebagai anak angkat, sesungguhnya Engeline tidak berhak atas warisan. Kalaupun iya, itu harus tertuang dalam surat wasiat. Karena ayah angkat Engeline memiliki istri dan anak kandung, secara hukum tidaklah mungkin bagi anak angkat untuk menerima sebagian besar harta. Meski sudah dibantah oleh pengacara Margriet, tak urung isu ini semakin memperkuat opini yang berkembang di masyarakat.

Dalam rangka menyajikan berita yang lebih objektif, media bisa mengkritisi dua hal. Pertama, soal saksi mahkota. Mengapa aparat terkesan begitu yakin dengan pengakuan Agus, padahal keterangannya kerap berubah-ubah? Dengan menyebut Agus sebagai saksi mahkota, artinya polisi sudah menyimpulkan ada tersangka lain. Karena saksi mahkota hanya ada dalam kasus kriminal yang dilakukan secara bersama-sama (sehingga seorang tersangka/terdakwa dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lainnya). Kalau memang polisi yakin ada tersangka lain, mengapa belum ditetapkan? Padahal Agus sudah dinyatakan sebagai saksi mahkota sejak pekan lalu.

Hal kedua yang perlu dikritisi adalah soal kekerasan seksual. Apakah kekerasan seksual pada akhirnya sudah dipastikan benar-benar tidak ada, atau meragukan, karena tidak dapat ditemukan? Dalam sebuah tayangan sempat dibahas: jika ada kekerasan seksual, tersangkanya mengarah pada Agus. Sedangkan jika tidak ada, kecurigaan mengarah pada Margriet. Lantas bagaimana jika tanda-tanda kekerasan seksual tidak bisa ditemukan akibat jarak antara kejadian dan penemuan jasad sudah hampir satu bulan? Atau, bagaimana jika akhirnya ditemukan jejak-jejak kekerasan seksual, namun polisi berpegang pada pengakuan Agus yang menyeret keterlibatan sang ibu angkat?

Semua perlu dikritisi media agar tidak timbul kesan bahwa polisi berada dalam tekanan dan sedang bekerja keras agar pengungkapan kasus ini dapat ”dicocokkan” dengan opini publik.

Aparat kepolisian memang tidak bisa serta-merta menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat. Aparat bekerja dalam koridor hukum dan berdasarkan alat bukti. Jika pada akhirnya Agus ditetapkan sebagai pelaku tunggal karena tidak terdapat alat bukti yang cukup untuk menetapkan Margriet (atau orang lain) sebagai tersangka pembunuhan, media memiliki tugas untuk meluruskan opini publik. Jangan ada lagi judul berita di media yang mengesankan bahwa kasus ini masih misterius dan belum sepenuhnya tuntas karena (seharusnya) masih ada tersangka lain dan sebagainya.

Polisi pun harus punya penjelasan atas sejumlah kejanggalan agar publik tidak meragukan hasil penyidikan. Sebaliknya, jika aparat menemukan bukti dan menetapkan Margriet sebagai tersangka pembunuhan anak angkatnya, media pun perlu bersikap objektif dengan mengkritisi. Tujuannya adalah dapat dipastikan bahwa penetapan tersebut betul-betul karena ada kesesuaian antara tersangka dan alat bukti, bukan ”disesuaikan” dengan opini publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar