Senin, 29 Juni 2015

Lagu dan Agama

Lagu dan Agama

  Bandung Mawardi  ;   Esais
KORAN TEMPO, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 1934-1936, Sukarno sering berkorespondensi dengan A. Hassan mengenai agama. Di Endeh, Flores, Sukarno mendapat kiriman buku-buku dari A. Hassan di Bandung. Sukarno mulai tekun membaca dan menulis artikel-artikel bertema Islam. Pemikiran Sukarno tentu tak searah A. Hassan. Hubungan itu perlahan retak saat tahun-tahun menjelang kemerdekaan. Perbedaan arah berkaitan dengan pemikiran agama dan kebangsaan. Sukarno serius membesarkan nasionalisme bercap Indonesia. Di seberang, A. Hassan rajin memberi kritik dan serangan atas nasionalisme berdalih agama.

Serangan terhadap nasionalisme mengarah ke bendera, lagu, patung, upacara, sistem pemerintahan, dan akhlak pemimpin. Pada 1941, A. Hassan mengeluarkan buku berjudul Islam dan Kebangsaan. Buku kecil berisi perlawanan atas pemikiran-pemikiran Sukarno berkaitan dengan Islam dan Indonesia.

Kita simak pemahaman A. Hassan mengenai lagu: "Orang Islam jang sebenarnja, orang jang berakal waras, tidak perloe hormatkan lagoe jang tak hidoep, tak berakal, tak tahoe menerima atau menolak penghormatan… kaoem kita meniroe segala sesoeatoe perboeatan jang terbit dari Eropah dengan harapan, bahwa gaja-gaja dan aksi-aksi luaran itoe bisa djadi kaki atau tangan boeat kemadjoean dan kemerdekaan."

Kalimat-kalimat itu merupakan sindiran kepada Sukarno sebagai penganjur pembuatan lagu-lagu bertema nasionalisme, sejak masa akhir 1920-an. Gubahan lagu W.R. Soepratman menjadi pilihan untuk membesarkan nasionalisme dengan memperdengarkan lagu dalam rapat-rapat umum dan acara politik kebangsaan. Kita menduga sindiran itu tak bergema atau memberi pengaruh besar. Pada masa 1940-an, lagu-lagu kebangsaan malah semakin bertambah. Kaum pergerakan kebangsaan memilih lagu sebagai propaganda dan penguatan demi pencapaian kemerdekaan. Lakon kemerdekaan pun memuat lagu-lagu. Sejarah turut bergerak dengan lagu-lagu.

Namun, pada 1953, terbit buku berjudul Lagu-lagu Sekolah Agama susunan Kasim St. M. Sjah. Buku itu memuat 23 lagu. Penerbitan buku dipicu saran dan keluhan dari para guru di pelbagai madrasah dan para pejabat di Djawatan Pendidikan Agama. Kasim menerangkan: "…dibutuhkan njanjian-njanjian di sekolah-sekolah agama, maka kami susunlah lagu-lagu ini, jang kata-katanja sebahagian besar menggambarkan kebesaran agama Islam dan perdjuangan-perdjuangan Nabi besar kita Muhammad s.a.w. berserta pengikut-pengikut beliau dan nabi-nabi lain pada menegakkan agama Allah." Orang-orang diajak berlagu agar semakin meningkatkan kemauan menjadi manusia mulia dan menghamba pada Tuhan. 

Kini kemeriahan lagu-lagu bertema agama di Indonesia sering memuncak saat Ramadan dan Lebaran. Album-album lagu bercap religi sering diproduksi sebagai suguhan dakwah. Kita tentu mengingat lagu-lagu Bimbo, Rhoma Irama, Hadad Alwi, Gigi, Opick, dan Ungu sebagai para pelantun lagu-lagu religi. Kelompok musik Gigi dan Opick bisa dianggap paling rajin dalam mengeluarkan album-album religi setiap tahun. Agenda mengalami Ramadan mulai berkaitan dengan lagu-lagu yang mengandung pesan-pesan agama. Kita pun sering melihat acara pengajian, diskusi, atau buka puasa bersama menghadirkan para artis atau kelompok musik: memberi "hiburan" bernuansa agama. Di Indonesia, lagu-lagu memperindah dan mengajak ke renungan-renungan religius meski tak menampik ada maksud hiburan dan komersial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar