Selasa, 30 Juni 2015

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi

  Aunur Rofiq ;   Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
KORAN SINDO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tercatat paling lambat dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 hanya mencapai 4,71%, atau di bawah ekspektasi pemerintah sebesar 5,1%. Pencapaian ini lebih rendah dari pertumbuhan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,14%.

Penurunan ekonomi selama kuartal I/2015 mengindikasikan adanya penurunan aktivitas ekonomi. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini, meningkatkan risiko di sektor usaha dan perbankan. Dari sisi kegiatan ekspor impor, dalam kuartal I/2015 ekspor turun 11,7% sementara impor juga anjlok hingga 15%. Sejumlah indikator seperti penjualan ritel, properti, automotif, dan penjualan semen juga dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Otoritas moneter juga menyampaikan realisasi penyaluran kredit tidak setinggi harapan semula.

Permintaan sektor industri juga menurun. Sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor terbesar penyumbang perekonomian, menunjukkan penurunan aktivitas ekonomi sebesar 0,71% dibandingkan kuartal IV/2014. Industri yang mengalami penurunan produksi seperti industri barang galian bukan logam turun 6,64%, peralatan listrik turun 4,74%, industri kayu, barang dari kayu dan gabus serta barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya turun 4,38%, pengolahan tembakau turun 3,15% dan lainnya.

Penurunan aktivitas ekonomi juga disebabkan turunnya konsumsi masyarakat akibat naiknya harga barang keperluan sehari-hari serta penurunan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh dunia usaha. Jumlah tenaga kerja yang tidak terserap bertambah sebagai imbas dari turunnya aktivitas ekonomi pada kuartal I tersebut.

Tekanan yang dihadapi dunia industri berdampak terhadap menciutnya kesempatan kerja. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur di Indonesia dalam kurun satu tahun terakhir saja telah bertambah sekitar 300.000 orang dengan total per Februari 2015 mencapai 7,4 juta orang.

Sementara dari sisi perbankan, pertumbuhan kredit hanya mencapai 12 persen dalam kuartal I/2015. Kondisi likuiditas industri perbankan juga lebih longgar pada kuartal I/2015 dibanding periode yang sama pada kuartal I/2014. Efek dari perlambatan ini, Bank Indonesia (BI) harus menampung dana dari kelebihan likuiditas perbankan. Sejumlah bank yang mengalami kelebihan likuiditas karena minim permintaan kredit, memilih memarkirkan dana di BI daripada dananya menganggur.

Sebenarnya, imbal hasil penempatan dana di BI lebih kecil dibandingkan bank menyalurkan kredit. Misalnya per Maret 2015, bank akan memperoleh imbal hasil 6,13% dari penempatan dana di BI. Sedangkan jika disalurkan menjadi kredit, bank akan memperoleh imbal hasil sekitar 10,52%.

Dalam kondisi penurunan aktivitas ekonomi seperti saat ini, perbankan memiliki risiko jika mengejar pertumbuhan laba terlalu tinggi. Jika mengejar pertumbuhan terlalu tinggi, akan berdampak pada kredit macet (NPL).

Otoritas moneter juga memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga deposit facility pada 5.50% dan lending facility pada 8,00%. Keputusan tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga agar inflasi berada pada sasaran inflasi 4,1% pada 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.

Sebagaimana laporan Bank Indonesia, Indonesia mencatat perbaikan kinerja neraca transaksi berjalan pada kuartal I/2015. Posisi neraca transaksi berjalan Indonesia pada periode itu mengalami penurunan defisit menjadi USD3,8 miliar, setara dengan 1,8% dari produk domestik bruto (PDB). Jurang defisit transaksi berjalan tersebut melandai dibandingkan dengan posisi pada kuartal IV/2014 yang mencapai USD5,7 miliar atau 2,6% terhadap PDB. Tentu saja, perbaikan kinerja neraca transaksi berjalan itu menyiratkan optimisme. Hanya, tren perbaikan itu harus berkelanjutan, seperti perbaikan neraca transaksi berjalan bukan sekadar impor minyak yang anjlok, sehingga mencuatkan kecemasan dalam jangka panjang manakala harga minyak kembali melonjak.

Menjaga Ekspektasi

Meski ekonomi tengah melemah, Indonesia tetap dianggap sebagai negara yang punya potensi besar untuk tetap tumbuh. Dalam kondisi realisasi investasi dan belanja pemerintah yang belum optimal, ekspor yang masih lemah, pilihan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi.

Dari sisi konsumsi, Indonesia masih memiliki kelas menengah yang besar sebagai pendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat. Menurut Boston Consulting Group (BCG) pada 2013, golongan kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang dan di prediksi pada 2020 angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk Indonesia.

Data tersebut memperkuat keyakinan bahwa ekspektasi masa depan ekonomi masih tetap positif. Konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, di mana saat ini sekitar 60% pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Hal ini bisa menjadi pendorong bagi masuknya investasi. Indonesia membutuhkan banyak investasi saat ini, untuk mengoptimalkan perekonomian yang masih tumbuh di bawah potensinya.

Untuk kuartal II/2015, ada peluang ekonomi tumbuh lebih tinggi mengingat ada pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) yang baru diluncurkan semester kedua, yang diharapkan bisa membawa dampak positif terhadap pergerakan ekonomi.

Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat dialokasikan senilai Rp1.319,5 triliun. Dari jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur. Belanja untuk pembangunan infrastruktur ini diharapkan bisa menimbulkan multiplier effect terhadap peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta, sehingga sektor riil kembali bergerak. Jika sektor riil bergerak maka akan mendorong pertumbuhan investasi dan konsumsi.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi kuartal I/2015 mencapai Rp124,6 triliun. Ini naik 16,9% dari masa sebelumnya, Rp106,6 triliun. Realisasi investasi tiga bulan pertama 2015 terdiri atas penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp42,5 triliun, naik 22,8%, serta penanaman modal asing (PMA) Rp82,1 triliun atau naik 14,01%. Pada tahun 2015, pemerintah menargetkan investasi Rp524 triliun.

Dalam kondisi ekonomi yang melemah, pemerintah harus memberikan perhatian terhadap sektor-sektor yang memiliki prospek tumbuh dan menyerap banyak tenaga kerja serta mampu dibiayai perbankan. Dalam kuartal I/2015, beberapa kegiatan produksi yang tumbuh positif adalah lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10,53%. Sektor lainnya adalah lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tumbuh 14,63%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar