Selasa, 30 Juni 2015

Pers, Mahasiswa, dan Kedaulatan Rakyat

Pers, Mahasiswa, dan Kedaulatan Rakyat

  Gunarto ;   Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJUMLAH aktivis kampus dan elemen organisasi kemahasiswaan se-Indonesia, termasuk di kota Semarang, menggelar aksi demonstrasi dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2015.

Isu yang mereka usung sangat kontroversial, yakni turunkan Presiden Joko Widodo karena dinilai gagal menstabilkan harga BBM, tak mampu merenegosiasikan kontrak kerja industri pertambangan dengan negara asing, dan terus membumbungnya nilai dolar terhadap rupiah (SM, 21/5/15). Pada akhir aksi terjadi insiden yang dirasakan melecehkan insan pers.

Seorang aktivis mahasiswa peserta aksi di depan Gedung DPRD Jawa Tengah mengatakan,’’ media dhobol dan hanya mau memberitakan kalau ada proyek.” Pernyataan tersebut merugikan pers dan masyarakat, bahkan ada tuntutan pernyataan tersebut dibawa ke ranah hukum dengan tuduhan mencemarkan nama baik wartawan.

Aktivis mahasiswa itu telah meminta maaf secara spontan dengan pernyataan maaf secara tertulis kepada seluruh media massa. Bahkan terjadi islah setelah ada mediasi antara PWI Jawa Tengah dan pimpinan fakultas serta aktivis mahasiswa di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng (SM, 26/5/15).

Namun insiden itu melahirkan pesan serius bahwa mahasiswa yang berjuang untuk kedaulatan rakyat belum seluruhnya menjiwai makna dan fungsi pers dalam menegakkan kebebasan pers, yang merupakan ciri utama kedaulatan rakyat.

Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan,’’kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Sistem Sosial

Kausalitas ketidakpahaman mahasiswa terhadap makna kebebasan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat juga bagian dari produk sistem sosial, dan mahasiswa berada di dalamnya. Sistem sosial masyarakat saat ini berciri individualisme, pragmatisme dan materialisme, sangat jauh dari sistem masyarakat zaman pendiri negara ini yang berciri gotong royong, menjunjung idealisme dan berorientasi kepentingan kesejahteraan bangsa. Dengan kata lain sistem sosial sangat berpengaruh bagi perkembangan kebebasan pers serta pemahaman mahasiswa tentang hakikat kebebasan pers.

Perkembangan kebebasan pers Indonesia menurut Fred S Siebert dan Wibur Schram (2006) membedakan teori kebebasan pers menjadi empat, yaitu teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, dan teori pers tanggung jawab sosial. Dalam pers otoriter, pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Pers dimanfaatkan negara untuk menginformasikan program pembangunan dan pers tidak boleh mengkritik.

Sebaliknya, teori pers liberal beranggapan pemerintah dilarang campur tangan kepada pers karena hakikatnya manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio di mana kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan hidup manusia.
Sintesis kedua teori pers di atas melahirkan teori pers tanggung jawab sosial. Dasar fundamental dari teori ini adalah kebebasan pers yang harus disertai tanggung jawab kepada sosial masyarakat. Yakni, tugas hakiki pers dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan, meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Konsideran Huruf b UU Nomor 40 Tahun 1999).

Bagaimana supaya ke depan tidak terulang, dan mahasiswa bisa menjadi garda terdepan untuk mengawal kebebasan pers sebagai perwujudan utama kedaulatan rakyat? Selain itu, bagaimana merekonstruksi kemitraan media dan mahasiswa dalam mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu keterwujudan kebenaran dan keadilan, kesejahteraan seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertama; secara yuridis UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan undang-undang pers terbaik untuk melahirkan kebebasan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Bandingkan dengan UU Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 4 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers, sebagai produks rezim Orde baru yang sangat represif. Namun ke depan perlu terus menyosialisasikan UU Nomor 40 Tahun 1999 khususnya kepada mahasiswa, buruh, kelas menengah dan penegak hukum.

Kedua; secara sosiologis ketidakpahaman mahasiswa terhadap kebebasan pers sebagai pilar utama kedaulatan rakyat juga merupakan problematika sosial yang lebih luas. Untuk itu gagasan UU Pers dan Kode Etik Wartawan masuk dalam kurikulum perguruan tinggi sebagai mata kuliah wajib, perlu diapresiasi oleh dunia kampus dan tokoh-tokoh masyarakat.

Ketiga; secara filosofis kebebasan pers sesungguhnya bertujuan mewujudkan kebenaran dan keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan substansi dari cita-cita kedaulatan rakyat. Untuk itu, diperlukan fungsi negara untuk melindungi dan melaksanakan kebebasan pers sebagai wujud kedaulatan rakyat. Perwujudannya adalah dengan memberikan dukungan dana lewat APBN dan APBD provinsi dan kabupaten/- kota, sampai betul-betul dilaksanakan kebebasannya oleh seluruh elemen di republik ini.

Keempat; perlu penguatan pers kampus lewat jalinan kemitraan aktivis mahasiswa dengan PWI, semisal dalam seminar bersama, focus group dicussion (FGD) guna meningkatkan pengelolaan dan profesionalisme pers kampus.

Terlebih bila melihat sejarah tokoh-tokoh pers yang berjuang memerdekakan Indonesia adalah wartawan-wartawan yang dilahirkan di kampus, seperti WR Supratman, sebagai pencipta lagu ‘’Indonesia Raya’’ atau Bung Tomo yang memelopori gerakan perlawanan terhadap penjajah di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar