Rabu, 24 Juni 2015

Politik Pembaruan Hukum

Politik Pembaruan Hukum

  Albert Hasibuan  ;   Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014
KOMPAS, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keluhan dan kerisauan saya terhadap perkembangan hukum saat ini rupanya juga dirasakan oleh Radhar Panca Dahana dalam "Kriminalisasikan Bangsa Ini" yang tersua di halaman Opini Kompas edisi 29 Mei.

Radhar dalam karangannya mengemukakan, "Kitab hukum-juga politik-itu bukan untuk mencipta keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan, melainkan sekadar mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan dari 0,1 permil bangsa ini saja."

Dari tulisan itu saya mendapat kesan bahwa dia sudah berada dalam tahap keprihatinan dan kecewa terhadap perkembangan hukum akhir-akhir ini. Radhar kecewa karena hukum tidak lagi menciptakan keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) juga berpendapat sama ketika  menyatakan, "Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, upaya pembenahan dan perbaikan di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan yang mustahil dilakukan."

Sebelumnya KY mengemukakan, "Institusi penegak hukum yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan justru menjadi kurang dipercaya oleh masyarakat. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk."

Seperti diketahui, penilaian KY ini merupakan permintaan kepada saya sebagai anggota Wantimpres untuk menulis artikel di buku Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia yang diterbitkan pada 2012.

Timbul pertanyaan: mengapa sekarang ini hukum, yang seharusnya bertindak sebagai pembebas dan pencerah masyarakat, masih dijadikan alat mempertahankan kekuasaan seperti dikemukakan Radhar Panca Dahana? Lalu, mengapa hukum dan penegak hukum yang seyogianya  melaksanakan keadilan berdasarkan keadilan hukum justru mempraktikkan hal-hal kebalikannya yang bersifat antitesis?

Menurut saya, salah satu jawabannya adalah kita harus terlebih dulu melihat dari perspektif sejarah, yaitu Orde Baru, yang berkaitan secara berkesinambungan dengan reformasi, khususnya reformasi hukum.

Perspektif sejarah

Dari perspektif sejarah ini, kita telah mengalami selama Orde Baru  kekuasaan yang amat berperan menjadikan hukum sebagai alatnya. Tidak salah kalau kita sebut bahwa pada masa itu hukum telah dijadikan sebagai alat kekuasaan yang menghalalkan segala cara demi menghasilkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Sosiolog Jerman, Maximilian Weber (1864-1920), menyebut fenomena ini sebagai Politisches Rechts atau politik hukum yang memastikan penerapan hukum yang dipengaruhi aneka kekuasaan dan kepentingan. Apa yang disebut Weber dengan Recht der Machthaber atau hukum dari yang punya kekuasaan merupakan legitimasi secara bebas menggunakan hukum untuk mencapai kepentingan tertentu.

Kemudian, setelah Orde Baru berakhir dan berlangsung Era Reformasi yang bersifat korektif terhadap hal-hal yang ademokratis, dengan sendirinya hukum mengalami pembaruan dan reformasi. Namun, apa lacur, setelah pembaruan hukum berlangsung 17 tahun,  masyarakat merasa bahwa perkembangan hukum tak seperti yang diharapkan. Masyarakat merasa pada saat ini perkembangan hukum mirip dengan situasi pra-Reformasi 1998.

Kalau boleh saya katakan, hukum sekarang hampir-hampir melaksanakan proses pengulangan sejarah dengan masa Orde Baru. Yang jelas, akibatnya, timbul tendensi masyarakat yang menganggap wibawa dan otoritas hukum merosot. Masyarakat ragu terhadap tujuan ideal dan penegakan hukum itu.

Dengan wibawa hukum seperti ini, dengan sendirinya masyarakat skeptis bahwa hukum akan memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama tanpa diskriminasi. Ketentuan equality before the law and equal protection of law atau kesamaan di muka hukum dan perlindungan yang sama bisa dianggap oleh masyarakat sebagai sebutan yang tidak berarti apa-apa alias kosong.

Juga mereka kurang percaya terhadap hukum yang ramah kepada yang lemah, miskin, dan terpinggirkan karena dari pengalaman praktis sehari-hari, hukum cenderung berpihak kepada yang punya kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi.  Kita kenal sebutan "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas".

Selanjutnya masyarakat juga ragu bahwa hukum akan memperlakukan setiap anggota masyarakat secara adil karena sering kali hukum cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang yang mempunyai privilese atau kelebihan tertentu. Menurut saya, semua ini akan memengaruhi kesadaran dan perasaan hukum masyarakat terhadap kepatuhan hukum. Padahal, kesadaran hukum memainkan peran penting dan menentukan pelaksanaan prinsip konstitusional negara hukum atau rechtsstaat.

Sikap kita

Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi keadaan ini? Bagaimana kita mengadakan koreksi untuk menjalankan pembaruan hukum?

Pertama, menurut pendapat saya, harus ada politik pembaruan hukum dari pemerintah yang mendorong berbagai program pembaruan hukum berdasarkan sembilan program Nawacita. Seperti diketahui, program ke-4 Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla berbunyi, "Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya".

Kedua, harus ada ide dan konsep-konsep baru di bidang hukum dan penegakan hukum sesuai dengan Era Reformasi. Dalam hal ini, karena sekarang ini sangat sedikit ide dan konsep hukum yang baru, saya menyayangkan dihentikan dan pembubaran Komisi Hukum Nasional yang dipimpin Prof Sahetapy dan Prof Mardjono Reksodiputro yang telah giat dan produktif menyusun konsep-konsep hukum yang baru.

Ketiga, pengawasan dengan intensif secara eksternal masyarakat dan internal penegak hukum terhadap perkembangan hukum agar sesuai dengan pembaruan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar