Senin, 29 Juni 2015

Rekaman Ngaji

Rekaman Ngaji

  Junaidi Abdul Munif  ;   Penulis
KORAN TEMPO, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap Ramadan, banyak masjid dan musala memutar rekaman mengaji Al-Quran untuk menemani saat sahur dan menjelang berbuka puasa. Tujuannya ingin memberi kekhusyukan dan mendapatkan berkah pada bulan puasa.

Pada Ramadan tahun ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengimbau masjid-masjid tidak memutar rekaman lantunan ayat Al-Quran. Tahun lalu, JK, yang menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia, pernah melontarkan kritik azan subuh yang menggunakan pengeras suara terlalu keras. Bahkan masjid-masjid seolah berlomba menyuarakan azan subuh.

Anjuran Jusuf Kalla menuai banyak kecaman. Ada yang menganggap JK melarang orang mengaji. Di negeri yang masih mengidap euforia kebebasan pers, pernyataan JK mudah dipelintir.

Iwan Fals, dalam lagu Si Tua Sais Pedati (Sarjana Muda, 1981), menyinggung maraknya penggunaan teknologi dan mesin dalam kehidupan manusia, termasuk rekaman suara azan. Katanya, seakan suara azan yang dikasetkan, sementara itu sang bilal (gawat) pulas mendengkur. Lagu itu menjadi satire Iwan Fals terhadap gejala pemutaran kaset azan dan ayat Al-Quran. Tugas bilal dan qari (pembaca Al-Quran) telah digantikan oleh rekaman.

Memutar rekaman bacaan Al-Quran "dilegitimasi" teks Islam. Kaum muslim lekat dengan hadis Nabi yang mengatakan, pahala orang yang mendengar suara mengaji sama dengan pahala orang mengaji. Tentu yang dimaksud tidak hanya mendengar sambil lalu, tapi juga mendengar dengan memperhatikan apa yang dibaca.

Di masyarakat beredar anekdot, pada hari kiamat, yang masuk surga itu tape recorder, kaset, dan MP3. Sebab, benda-benda itulah yang rajin mengaji. Sedangkan manusia telah merasa puas hanya dengan memutar MP3 Al-Quran, sambil membalas pesan BBM, menjelajah Internet, berbalas komentar di Facebook, dan melakukan sederet kegiatan lain.

Cendekiawan Martin van Bruinessen (2013) menyimpulkan bahwa masyarakat menganggap fenomena pemutaran kaset mengaji dan MP3 dianggap sebagai propaganda dari Yahudi. Tujuannya untuk menjauhkan umat Islam dari tradisi mengaji secara langsung. Kebetulan pula, maraknya kaset ngaji berbarengan dengan riuhnya isu anti-Zionis di Indonesia.

Tampaknya kritik Jusuf Kalla mesti kita letakkan pada kesimpulan bahwa lebih baik mendengar secara langsung orang mengaji ketimbang melalui rekaman. Dalam suasana halaqah seperti itu, terjadi hubungan manusia yang paling genuine, pertemuan antarmanusia yang tidak memerlukan alat bantu apa pun. Orang berkumpul mendaras Al-Quran, bergantian membaca dengan keras, saling menyimak, dan mengingatkan kalau ada bacaan yang salah, mungkin hanya kita temui setelah salat tarawih. Mereka adalah orang yang masih setia tadarus dengan cara "konvensional".

Kita tampaknya perlu membaca hadis lain bahwa, dalam perkumpulan orang yang saling mendaras kitabullah, Allah akan menurunkan ketenangan dan rahmat. Mereka dikelilingi malaikat, serta Allah akan menyebut nama mereka di sisi-Nya. Begitu indah manfaat dari mengaji bersama secara langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar