Minggu, 12 Juli 2015

Kekuasaan dan Kebodohan

Kekuasaan dan Kebodohan

   Jakob Sumardjo  ;  Budayawan
                                                           KOMPAS, 11 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekuasaan negara di tangan orang-orang bodoh dan bebal akan mendatangkan musibah, baik rakyatnya bodoh maupun rakyatnya pintar. Kekuasaan apa pun di tangan orang-orang pintar dan bijaksana akan mendatangkan berkah, baik rakyatnya bodoh maupun rakyatnya pintar. Kuasa adalah wewenang untuk menentukan, baik pemerintahan maupun pengadilan. Yang punya kuasa selalu jauh lebih sedikit daripada mereka yang di bawah kekuasaan. Maka, mereka yang berkuasa memiliki hak-hak istimewa dan berbagai kewajiban yang juga istimewa.

Kalau negara tidak aman, kalau negara kelaparan, kalau negara semrawut, alamat kesalahan pada penguasa, bukan pada rakyat. Rakyat tidak pernah salah, yang salah penguasa.

Sebaliknya, kalau rakyat hidup makmur dan tercukupi kebutuhannya, yang berjasa adalah para penguasa. Rakyat akan memasang potret diri mereka di kamar depan rumah dan membikin patung-patungnya.

Rakyat memilih penguasa untuk memenuhi kebutuhan esensialnya, yakni hidup sehat walafiat, serba kecukupan, dan aman tenteram hidup bersama. Kewajiban para penguasa adalah menghadirkan ketiga kebutuhan dasar rakyat itu. Kekuasaan berkhianat kalau bekerja sebaliknya, misalnya berobat ke luar negeri ketika rakyatnya tak mampu berobat, memiliki banyak rumah, kendaraan pribadi dan kebun-kebun luas, sementara rakyat digusur rumahnya dan berdesakan dalam bus transportasi umum.

Kekuasaan demikian bukan hanya bodoh, melainkan juga buta-tuli dan berhati batu. Kekuasaan yang cerdas senantiasa melihat dan mendengar suara rakyat dan peka terhadap kegagalan menyejahterakan rakyatnya.

Kekuasaan yang bodoh tidak malu dirinya super sejahtera sementara rakyat yang menjadi tanggung jawabnya ada di bawah garis kemiskinan. Penguasa-penguasa yang demikian itu adalah predator yang rakus menghabisi bagian rakyatnya.

Pemimpin cerdas

Singapura baru saja kehilangan bapak bangsanya, Lee Kuan Yew. Negara pulau kecil ini berhasil menyejahterakan rakyatnya jauh di atas Indonesia yang kaya raya sumber alamnya. Seluruh rakyat Singapura mengakui kekuasaan cerdas tokoh ini. Jelaslah bahwa kegagalan negara dan bangsa kita disebabkan oleh berkuasanya yang bodoh.

Lebih baik memiliki kekuasaan cerdas meskipun rakyatnya bodoh atau kekuasaan bodoh meskipun rakyatnya cerdas?

Akhir-akhir ini tampak kegeraman rakyat Indonesia yang cerdas terhadap mereka yang memegang kekuasaan, tetapi pamer kebodohan. Kekuasaan yang bodoh ini sangat berbahaya ketika mereka keras kepala mempertahankan otak udangnya sebagai satu-satunya kebenaran.

Di masa lampau wewenang kekuasaan negara bersifat ilahiah. Kekuasaan itu suci. Sampai sekarang pun samar-samar kepercayaan itu masih hidup, misalnya setiap calon penguasa diambil sumpah di bawah kitab suci. Namun, kesucian kekuasaan itu sudah amat tercemar di Indonesia. Mulut tidak sejalan dengan hati dan perbuatan. Mereka menafikan wewenang yang ilahiah itu. Kekuasaan tidak hanya bodoh, tetapi juga penuh cemar.

Semua perbuatan kekuasaan itu berakar dari niat kekuasaan. Meskipun niatnya baik, tetapi bodoh dalam pemikiran, hasil kerjanya tidak baik.

Sebaliknya, apabila sejak awal niat kekuatannya tidak baik, tetapi pemikirannya cerdas, kegagalan dapat dicari dalihnya. Yang paling celaka kalau niatnya sudah tidak baik dan pemikirannya juga bodoh. Maka, kegagalan dibela mati-matian. Itulah yang terjadi sekarang.

Berawal dari niat

Akar kekuasaan ada di niat. Niat baik hanya dapat dibuktikan dengan hasil kerja kekuasaan, bukan pada kata-katanya. Mengingat kegagalan demi kegagalan kekuasaan di Indonesia selama ini, apakah niat para penguasanya memang tidak baik (tidak untuk menyejahterakan rakyat) ditambah pemikirannya juga bodoh atau niatnya sebenarnya baik hanya pemikirannya bodoh (tidak membumi dalam realitas)?

Kalau niat kekuasaan sejak awal sudah tidak baik, dengan pemikiran apa pun hasilnya tentu tidak baik. Namun, kalau niat kekuasaannya baik, meski gagal, jelas pemikirannya yang jelek. Ini akibat tak percaya pada hasil pemikiran bangsa sendiri.

Kita cenderung meniru keberhasilan bangsa-bangsa lain. Padahal, kesuksesan tiap negara dan bangsa bertolak dari realitas persoalan mereka. Kita tidak bisa meniru negara dan bangsa lain.

Mungkin kebodohan jenis inilah penyebab bangsa ini gagal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar