Kamis, 30 Juli 2015

Ketika Investor Jadi Panglima

Ketika Investor Jadi Panglima

Firdaus Cahyadi ;  Direktur Eksekutif One World-Indonesia
                                                           KOMPAS, 29 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekhawatiran para pegiat lingkungan hidup terhadap penyatuan izin lingkungan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Penanaman Modal akhirnya terbukti sudah. Pada awal Juli ini, sebuah portal berita memberitakan bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengusulkan penyederhanaan perizinan izin mendirikan bangunan (IMB) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007, dengan penghapusan persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).

Amdal adalah salah satu prasyarat pembangunan yang berpotensi berdampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Kini, ketika perizinan disatukan di bawah koordinasi BKPM, amdal pun diusulkan dihapuskan. Alasannya jelas: amdal adalah instrumen lingkungan yang menghambat investasi.

Kepala BKPM sepertinya lupa atau tak peduli bahwa diabaikannya amdal menjadi pemicu kerusakan lingkungan hidup. Kehancuran ekologis di Jakarta adalah salah satu contohnya. Di Jakarta, daerah resapan berupa ruang terbuka hijau (RTH), situ, ataupun hutan kota telah banyak berubah fungsi menjadi kawasan komersial, apartemen, perumahan mewah, dan juga pusat perbelanjaan.

Sudah tampak jelas bagaimana hilangnya hutan kota di Jakarta untuk pembangunan yang mengabaikan lingkungan hidup. Lihatlah hutan kota di kawasan Senayan. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektar ini sebagai RTH. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), dan bangunan megah lainnya.

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini, hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002, selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), dan Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka 2006). Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Krisis ekologis

Apa dampak dari pembangunan yang mengabaikan lingkungan hidup itu? Krisis ekologis! Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah ternyata justru menjadi air larian (run off) penyebab banjir. Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta menyebutkan, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.

Perencanaan air larian dan juga limbah dalam suatu bangunan itu muncul dalam dokumen amdal. Jika kemudian amdal dalam mendirikan bangunan dihapuskan, hampir dapat dipastikan krisis ekologis akan semakin mudah terjadi dan meluas.

Contoh nyata sebuah kegiatan pembangunan yang mengabaikan amdal adalah kasus Lapindo. Pada 2009, Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menilai kasus lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas merupakan akibat amdal yang diremehkan. Bahkan menteri lingkungan hidup saat itu juga menengarai banyak perusahaan, rumah sakit, dan sebagainya yang meremehkan amdal. Menurut dia, Menneg LH telah menghentikan puluhan proyek yang tidak layak lingkungan hidup dengan instrumen amdal. Penghentian itu bukan dimaksudkan untuk menghalangi investasi, melainkan didasarkan kajian ilmiah untuk menghindari bencana ekologis seperti lumpur Lapindo.

Padahal, amdal dan perizinan lingkungan hidup lainnya bukan hanya persoalan teknis di lapangan dan laboratorium. Ada dimensi sosial di dalamnya, yaitu partisipasi publik. Dalam perizinan lingkungan hidup, masyarakat yang berpotensi terkena dampak dari pembangunan atau investasi itu harus dilibatkan sejak awal. Dengan dihapuskannya amdal oleh BKPM, hampir dapat dipastikan persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan diabaikan.

Penyingkiran partisipasi warga dan pengabaian dampak lingkungan hidup ini tentu akan menjadi berita gembira bagi para investor. Namun, hal itu akan menjadi kabar buruk bagi warga. Investasi memang akan lebih mudah, tetapi kerusakan lingkungan hidup juga akan semakin cepat dan meluas.

Jika memang pemerintah, dalam hal ini BKPM, ingin memotong birokrasi perizinan, seharusnya yang lebih banyak dipotong adalah birokrasi yang memang diciptakan untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan amdal, yang dibuat bukan sebagai pintu masuk korupsi, tetapi untuk sarana pengendalian pembangunan agar tidak membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan hidup. Masih banyak perizinan lain di luar lingkungan hidup yang bisa dipangkas.

Saat ini kita memang butuh investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keberlanjutan ekologi akan menjadi pertumbuhan ekonomi semu. Di atas kertas memang terlihat ada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya justru banyak warga yang menderita karena keselamatannya terancam akibat kerusakan lingkungan hidup.

Presiden Joko Widodo harus melihat usul BKPM yang ingin menghapuskan amdal ini sebagai sinyal yang membahayakan keselamatan warga dan lingkungan hidup. Usul ini harus dengan tegas ditolak, sebab bagaimanapun kewajiban pemerintah adalah melindungi keselamatan warganya. Banyaknya investor tidak akan bermakna jika itu justru mengancam keselamatan warga. Oleh karena itu, keselamatan rakyat yang seharusnya menjadi panglima, bukan investor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar