Rabu, 29 Juli 2015

Komposisi Pimpinan KPK

Komposisi Pimpinan KPK

Eddy OS Hiariej ;  Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
                                                           KOMPAS, 28 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat ini Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi tengah memilah, memilih, dan mempertimbangkan sejumlah nama bakal calon pemimpin KPK yang telah lolos dari seleksi tahap sebelumnya.

Pansel KPK akan bekerja seakurat mungkin untuk menentukan-paling tidak-delapan calon yang akan diajukan kepada Presiden. Kemudian ditambah dua calon yang telah lolos seleksi sebelumnya, Presiden akan mengajukan 10 calon pemimpin KPK kepada DPR untuk memilih lima dari 10 calon tersebut sebagai pemimpin KPK definitif yang terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua.

Dari bakal calon yang telah lolos seleksi, latar belakang mereka pun beraneka ragam. Ada akademisi, polisi, jaksa, praktisi hukum, dan pekerja lembaga swadaya masyarakat. Bahkan ada beberapa bakal calon yang juga berasal dari bagian internal KPK. Jika merujuk dari latar belakang calon, tak ada persyaratan khusus untuk menjadi pemimpin KPK.

Berdasarkan Pasal 29 Undang- Undang KPK, persyaratan pemimpin KPK selain WNI, bertakwa kepada Tuhan, berusia minimal 40 tahun dan maksimal 65 tahun, memiliki integritas moral, berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian, serta pengalaman sekurang- kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan.

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimanakah sebaiknya komposisi pimpinan KPK? Untuk menjawabnya, penting dipahami bahwa tugas, fungsi, dan wewenang KPK merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana, khususnya dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku universal dikenal asas integrated criminal justice system atau satu kesatuan sistem peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk memproses suatu perkara pidana.

Asas diferensiasi fungsional

Selain integrated criminal justice system, juga dikenal asas diferensiasi fungsional yang berarti meskipun ada satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana, aparat penegak hukum yang bekerja di dalamnya memiliki tugas dan fungsi berbeda. Polisi sebagai penjaga pintu gerbang dalam sistem peradilan pidana melaksanakan fungsi penyidikan, jaksa memegang tugas penuntutan, dan hakim melakukan tugas mengadili. Advokat berfungsi sebagai penyeimbang dalam melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa untuk menjamin jalannya perkara pidana secara proporsional dan profesional.

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya tindakan penyidikan dan penuntutan, tak ada kesamaan pelaksanaan tugas dan fungsi berdasarkan asas diferensiasi fungsional. Jika korupsi ditangani oleh polisi, asas diferensiasi fungsional berlaku mutlak karena polisi hanya melaksanakan fungsi penyidikan, sedangkan fungsi penuntutan tetap ada pada kejaksaan. Jika tak terdapat cukup bukti, berdasarkan Pasal 109 KUHAP, polisi dapat menghentikan penyidikan.

Hal ini berbeda dengan penanganan korupsi oleh kejaksaan yang mana asas diferensiasi fungsional tidak berlaku sebab yang melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan adalah kejaksaan. Akan tetapi, sama seperti polisi, jika dalam proses hukum tak ditemukan cukup bukti, perkara dapat dihentikan atau jaksa dapat menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan.

Lebih khusus lagi jika korupsi ditangani oleh KPK. Selain tak mengenal asas diferensiasi fungsional karena penyidikan dan penuntutan berada pada KPK, berdasarkan Pasal 40 UU a quo, KPK tak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Konsekuensinya, KPK harus bertindak secermat mungkin dan ekstra hati-hati dalam dua hal. Pertama, untuk menetapkan suatu peristiwa hukum adalah tindak pidana korupsi. Kedua, untuk menetapkan siapa yang menjadi tersangka dari tindak pidana korupsi itu. Kecermatan dan kehati-hatian dalam bekerja secara mutatis mutandis juga berlaku bagi pimpinan KPK.

Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin KPK tak hanya disyaratkan integritas moral semata, tetapi juga memiliki kapasitas intelektualitas memadai dan profesional dalam melaksanakan tugas. Berdasarkan latar belakang bakal calon yang telah diseleksi secara teliti, penting kiranya Pansel KPK mempertimbangkan memasukkan mereka yang berlatar belakang polisi dan jaksa masing-masing satu orang ke dalam komposisi pemimpin KPK.

Adanya komposisi demikian tidaklah dimaksud sebagai perwakilan institusi Polri dan Kejaksaan Agung, tetapi semata-mata hanya pertimbangan profesionalitas pemimpin KPK yang bekerja secara kolektif kolegial. Dasar argumentasi yuridis teoretiknya, pertama, ketentuan Pasal 21 Ayat (4) UU KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Artinya, pemimpin KPK tak hanya melaksanakan tugas dan fungsi manajerial administrasi semata atau pengambil kebijakan, tetapi juga dituntut melaksanakan fungsi yang bersifat teknis yuridis.

Kedua, Feeney dalam Managing of Criminal Justice menyatakan bahwa profesionalisme aparat penegak hukum tak hanya berdasarkan pengetahuan teoretik semata, tetapi juga pengalaman dan kinerjanya dalam menangani suatu perkara yang telah dilakukan bertahun-tahun. Berdasarkan apa yang dikatakan Feeney dan jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (4) UU a quo, untuk melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan oleh pemimpin KPK, keberadaan mereka yang memiliki latar belakang polisi dan jaksa dalam komposisi pimpinan KPK menjadi relevan.

Ketiga, berdasarkan Pasal 6 UU a quo, KPK harus melaksanakan fungsi supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana mungkin melaksanakan fungsi supervisi jika tak memahami fungsi penyidikan dan penuntutan dalam tataran teoretik ataupun praktis. Dapatlah dibayangkan jika dalam komposisi pemimpin KPK yang juga melaksanakan fungsi teknis yuridis, tak ada satu pun yang berlatar belakang polisi atau jaksa.

Bagaimana mungkin bisa menilai kinerja bawahannya yang melaksanakan penyidikan dan penuntutan, sementara tak ada satu pun unsur pimpinan yang memahami teknis penyidikan dan penuntutan dalam tataran praktis. Adanya kekhawatiran oleh sebagian orang bahwa masuknya mereka yang berlatar belakan polisi dan jaksa akan dipengaruhi institusi asalnya haruslah dinafikan. Lebih dari 10 tahun keberadaan KPK, kekhawatiran ini tak terbukti dalam tataran empiris.

KPK pernah dipimpin seorang berlatar belakang polisi dan dalam masa jabatannya mantan Kepala Polri dijerat dengan tindak pidana korupsi. Demikian pula KPK pernah dipimpin seorang berlatar belakang jaksa dan pada saat itu seorang jaksa yang tadinya memiliki konduite kerja baik diseret ke pengadilan tipikor dalam suatu operasi tangkap tangan. Sebagai catatan akhir, ketika seseorang terpilih sebagai pemimpin KPK, dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya bersifat mandiri dan tak boleh dipengaruhi atau terpengaruh siapa pun, termasuk institusi tempat ia berasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar