Selasa, 14 Juli 2015

Memaafkan

Memaafkan

Kristi Poerwandari ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
                                                           KOMPAS, 12 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Secara awam orang berpikir, bila ia dapat membalas tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain, ia akan merasa lebih baik. Penelitian psikologi ternyata menunjukkan, pikiran dan perilaku membalas dendam malahan dapat membuat kita merasa lebih buruk.

"..the weak can never forgive. Forgiveness is an attribute of the strong." (Mahatma Gandhi)

Carlsmith (2008) membuat eksperimen "permainan investasi". Eksperimenter berpura-pura menjadi salah satu partisipan, dan melakukan kecurangan dalam permainan itu, yang membuat partisipan lain sangat menurun perolehan keuntungannya. Sebagian partisipan kemudian diberi kesempatan melakukan langkah-langkah untuk menghukum orang yang bermain curang.

Membalas membuat lebih buruk?

Semua yang diberi kesempatan mengambil kesempatan itu untuk membalas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang melakukan pembalasan merasa lebih buruk daripada yang tidak melakukan pembalasan, tetapi mereka yakin bahwa mereka akan merasa jauh lebih buruk lagi bila tidak melakukan pembalasan. Sementara itu, partisipan yang tidak diberi kesempatan untuk membalas menyangka mereka akan merasa lebih baik bila memperoleh kesempatan itu meski jika dibandingkan dengan yang diberi kesempatan membalas, mereka sesungguhnya menunjukkan perasaan lebih positif.

Jadi, semua pihak menyangka, membalas akan membuat mereka merasa lebih baik meski dalam kenyataannya, membalas itu membuat perasaan menjadi lebih buruk.

Mengapa demikian? Dugaannya adalah tanpa disadari, ada peningkatan rasa marah. Yang diberi kesempatan untuk membalas akan mengembangkan ruminasi, yakni pikiran yang terus berulang, obsesi mengenai kejadian telah dicurangi, dan obsesi untuk membalas tindakan curang itu. Sementara itu, yang tidak melakukan pembalasan tidak terobsesi pada kejadian, tidak terlalu ambil pusing tentang kejadian, lebih mudah melupakannya, dan tidak dikuasai oleh kemarahan.

Penelitian dalam konteks perkawinan (Fincham dan Beach, 2005) menemukan adanya perbedaan psikis para pihak. Yang bersalah cenderung mencari detail ingatan untuk meyakinkannya bahwa perilakunya dapat dimaafkan. Sementara yang diperlakukan buruk akan terus teringat detail dari perilaku buruk tersebut sehingga mengalami kesulitan untuk memaafkan. Jadi, yang bersalah mungkin akan melihat pasangannya berlebih-lebihan dalam bereaksi ("Memang saya salah, tetapi cuma seperti itu kok reaksinya berlebihan banget?"). Sikap berlebih-lebihan itu sendiri dilihatnya sebagai tidak tepat (= merupakan kesalahan). Sementara itu, yang diperlakukan buruk merasa pasangannya menganggap sepele persoalan sehingga makin merasa marah. Dalam situasi demikian, kedua belah pihak melihat pihak lain sangat negatif dan interaksi yang destruktif dapat makin meningkat.

Fasilitasi memaafkan

Kita jadi mengerti bahwa kesediaan memaafkan memang memiliki banyak manfaat positif. Memaafkan dapat meningkatkan perasaan lebih sehat karena individu menghayati perubahan positif dalam emosi. Yang diperlakukan buruk dapat mengembalikan perasaan berdayanya, sekaligus mengembangkan harapan lebih positif mengenai hidup.

Enright dkk (1989) mengembangkan model empat fase untuk memfasilitasi proses memaafkan. Dalam fase "membuka", individu mengidentifikasi luka psikologis yang dialami serta perasaan dan pikiran yang terjadi dalam diri (rasa marah, malu, kemungkinan pengambilan penyimpulan secara salah). Dalam fase "mengambil keputusan", individu merenungkan pemahamannya mengenai "memaafkan" untuk kemudian membuat komitmen sadar untuk memaafkan. Dalam fase "bekerja", individu mencoba memahami perspektif dari pihak yang melakukan kesalahan untuk dapat mengembangkan rasa peduli dan empati.

Fase terakhir adalah fase "memperdalam", individu menyadari bahwa semua manusia itu rentan melakukan kesalahan, termasuk dirinya sendiri, yang juga pernah melakukan kesalahan. Ia kemudian dapat mengembangkan pemaknaan baru mengenai apa yang terjadi. Dengan menemukan makna positif dari peristiwa yang sebelumnya dimaknai sangat negatif, ia menemukan kedamaian. Ini membuka pemahaman bahwa diri bukan sepenuhnya korban, dan kemampuan mengelola emosi secara lebih sehat.

Konteks makro

Model ini dicobakan sebagai kurikulum di beberapa sekolah di Irlandia dan Amerika, di lingkungan yang banyak dilingkupi kemiskinan dan kekerasan, dan menunjukkan bahwa kadar kemarahan siswa yang menerimanya menurun.

Bagaimanapun, memaafkan tidak dapat dipaksakan. Cairns dkk (2005) menemukan bahwa memaksa orang atau kelompok memaafkan pihak lain yang berlaku buruk akan menjadi kontraproduktif, apalagi bila yang melakukan kesalahan merasa tidak bersalah, tidak meminta maaf, dan terus melakukan tindakan-tindakan buruk.

Lesson-learned kita adalah memaafkan tidak dapat dipaksakan, tetapi dapat difasilitasi untuk terjadi dan akan membantu diri merasa lebih damai. Di tingkat makro-kebijakan, tetap sangat perlu dipastikan berlakunya berbagai konsep dan mekanisme untuk menjamin keadilan sosial dan hukum, selain langkah pemaafan dan rekonsiliasi antarkelompok. Selamat melanjutkan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar