Kamis, 30 Juli 2015

Mengakui Calon Tunggal

Mengakui Calon Tunggal

Adi Sutarwijono ;  Anggota Komisi Bidang Hukum dan Pemerintahan
DPRD Kota Surabaya
                                                         JAWA POS, 28 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

CALON tunggal bergulir menjadi isu penting dan kontroversial dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak 2015. Itu menunjuk calon kepala daerahcalon wakil kepala daerah yang terlalu kuat sehingga tidak muncul penanding lain. Mereka biasanya calon incumbent yang sukses memimpin daerahnya dan didukung rakyat secara luas.

Atas gejala itu, Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 ”mengancam” menunda pilkada di suatu daerah. Pasal 89A ayat (3) mengatur, jika hanya satu pasang calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah yang memenuhi syarat, pemilihan tidak akan digelar 9 Desember 2015. Pemilihan akan dilakukan dalam pilkada serentak berikutnya.

Calon tunggal menjadi kontroversial karena fakta politiknya memiliki legitimasi kuat, namun ketentuan pilkada mengharuskan diikuti minimal dua pasang calon. Lantas, dari ketentuan itu, muncul skenario ”calon boneka” yang mendampingi calon kuat. Atau memberikan ruang penjegalan oleh partai-partai politik dengan tidak mengusung calon lain sehingga pilkada ditunda.

Pilkada Rezim Kompetisi

Aturan pilkada memang tidak memberikan ruang bagi calon tunggal kendati UU 8/2015 merumuskan pilkada secara fleksibel. Yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dan wakilnya secara langsung dan demokratis. Prinsip kedaulatan rakyat, juga frasa ”langsung dan demokratis”, sebenarnya memberikan ruang bagi pilkada dengan satu pasang calon.

Namun, ruang itu tertutup ketika di level prosedur ditentukan pilkada minimal harus diikuti dua pasang calon. Itu ditetapkan UU 8/2015 serta diterjemahkan secara teknis dan operasional pada peraturan KPU.

Ketentuan dua pasang calon menunjukkan praktik demokrasi di negeri ini yang menganut rezim kompetisi dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Ini serupa praktik di Barat. Maka, secara negatif dapat dinyatakan, kedaulatan rakyat tidak bisa diwujudkan tanpa persaingan dan demokrasi tidak bisa diselenggarakan.

Model kompetisi tidak menghitung, pertama, jika partai-partai politik sepakat mengajukan calon tunggal dalam pilkada. Dan pilihan itu sah. Kedua, ketakutan kalah sehingga tidak mengajukan calon. Karena kekalahan identik menanggung rugi tenaga, waktu, dan pasti materi, serta reputasi. Siapakah yang mau jadi tumbal?

Ketiga, pemboikotan pilkada oleh partai-partai politik dengan tidak mengusung pasangan calon dan membiarkan calon lain tampil tunggal. Maka, pilkada tidak bisa digelar dan kedaulatan rakyat gagal diwujudkan.

Keempat, potensi transaksi di level elite partai untuk mengajukan calon boneka semata memenuhi prosedur dua pasang calon. Transaksi itu merupakan ”anak haram” pesta demokrasi yang niat awalnya untuk mewujudkan daulat rakyat.
Tak pelak, ketentuan dua pasang calon memang memiliki sisi gelap yang bahkan dapat menyandera kedaulatan rakyat.

Model Konfirmasi

Penundaan pilkada, alih-alih ingin memberikan kepastian, justru menyulut masalah baru. Aturan itu terganjal ketentuan UU 8/2015, yang lebih tinggi daripada peraturan KPU, yang mengharuskan pilkada tepat waktu. Juga aturan telak pasal 201 ayat (1) bahwa Pilkada 2015 dilakukan untuk jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah yang habis 2015 dan rampung antara Januari–Juni 2016.

Ayat berikutnya, Pilkada 2017 dilaksanakan untuk kepala daerahwakil kepala daerah yang habis 2017 dan selesai Juli–Desember 2016. Tidak ada slot aturan bagi ”pemindahbukuan” waktu pilkada, dari 2015 menjadi 2017. Dengan aturan penundaan, bukankah KPU justru melegalkan ketidaktepatan waktu?

Masalah calon tunggal harus dituntaskan. Apabila hanya dibuat aturan tambal sulam, di depan bakal kembali menjadi batu sandungan. Jika ditunda, adakah jaminan Pilkada 2017 diikuti minimal dua pasangan calon? Bagaimana bila berulang calon tunggal? Akankah pilkada diundur kembali jadi 2018?

Karena itu, secara legal, mendesak diupayakan ruang hukum yang mengakui pemberian suara rakyat dalam pilkada yang diikuti calon tunggal. Upaya itu bisa melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, perubahan undang-undang, atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika terdapat daerah yang gagal pilkada karena tidak terpenuhi standar dua pasang calon sehingga mendesak untuk ditangani.

Jika ketentuan dua pasang calon berbasis kompetisi, regulasi baru untuk calon tunggal bisa mengadopsi model yang berbasis konfirmasi. Yaitu meminta pendapat rakyat: apakah setuju atau tidak atas calon tunggal yang ditetapkan KPU. Rakyat bisa memberikan suara pada bilik di TPS-TPS dengan mencoblos kolom ”setuju” atau ”tidak setuju”.

Bila mayoritas setuju, calon tunggal kepala daerah dan wakil secara sah dapat ditetapkan sebagai pemimpin baru, kemudian dilantik. Dalam pemilihan kepala desa, lazim diterapkan mekanisme yang mirip model tersebut. Yakni, disediakan pilihan ”bumbung kosong” jika pemilihan diikuti calon tunggal. Pemimpin yang terpilih pun memegang legitimasi kuat.

Mengadopsi kearifan lokal, pengakuan terhadap calon tunggal terbukti dapat mewujudkan kedaulatan rakyat secara langsung dan demokratis. Model itu menjadi varian lain dari praktik demokrasi selain kompetisi dan musyawarah yang kita kenal.

Bila calon tunggal diberi ruang regulasi, sirkulasi kepemimpinan tidak terhambat. KPU tak perlu menunda pilkada. Juga tidak perlu takut pemboikotan partai-partai politik yang memacetkan pilkada. Kedaulatan rakyat pun dapat diwujudkan tepat waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar