Kamis, 16 Juli 2015

Negara tanpa Bank

Negara tanpa Bank

Bambang Setiaji  ;  Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
                                                         JAWA POS, 14 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NEGARA tanpa bank. Gagasan nyeleneh tersebut merupakan wacana untuk mengevaluasi masih perlukah lembaga perbankan seperti model yang ada selama ini di masa depan. Hal itu bukan disebabkan tidak pentingnya dunia perbankan, akan tetapi saking pentingnya dunia perbankan. Perannya sangat sentral dalam ekonomi. Bahkan, sulit dibayangkan transaksi yang begini kompleks bisa dijembatani perbankan dewasa ini. Bukan saja transfer dana antarbank, tapi juga sistem ATM yang dapat diambil antar-bank lokal, bahkan diambil di luar negeri, di mana bank-bank sudah terkoneksi internet seluruh dunia. Saat mengambil uang di ATM di suatu negara yang jauh, saldo di bank lokal di suatu daerah langsung berkurang pada waktu yang sama.

Bank sekarang sudah merupakan barang publik. Perannya seperti jalan dan jembatan atau seperti sekolah di mana sekolah negeri dan swasta mendapat support dari pemerintah. Mengapa bank merupakan barang publik? Sebab, perannya sangat vital, misalnya dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Bank, lebih-lebih di Indonesia, masih merupakan lembaga pendanaan modal yang paling dominan. Bank juga vital dalam pembiayaan konsumsi besar, khususnya perumahan dan kendaraan bermotor. Bahkan, melalui kartu kredit sistem bank membiayai konsumsi kecil-kecil seperti berbagai alat rumah tangga, alat bekerja, handphone, dan komputer, bahkan membiayai sekadar makan malam di restoran.

Pada saat krisis, terasa sekali bank menjadi barang publik. Saat seperti itu negara harus membailout dan menjadi tanggungan rakyat semua melalui beban pajak. Negara kita merasakan betul hal itu pada 1998 dan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Demikian juga Amerika, negara liberal yang paling besar bersandar kepada swasta dan kebebasan swasta akhirnya memutuskan, karena peran publik bank yang demikian luas dan vital, negara akhirnya memberikan bailout.

Ketidakadilan Biaya Modal

Dengan membiarkan menjadi atau berperilaku secara swasta, ketidakadilan biaya modal merupakan masalah yang sangat serius. Di bankbank dengan fee based income yang besar, yaitu pendapatan di luar layanan kredit atau pembiayaan, seperti jasa ATM, jasa transaksi, kartu kredit, biaya provisi, bank-bank ini bisa memberikan biaya modal yang rendah. Ditambah lagi peraturan pemerintah di mana dana pemerintah yang belum digunakan diregulasi hanya untuk diparkir di bank BUMN menyebabkan biaya dana antar perbankan menjadi timpang.

Dalam hal penciptaan lapangan kerja yang menjadi concern negara, lebih banyak menjadi tugas usaha-usaha kecil. Usaha mikro umumnya untuk memperoleh lapangan kerja mandiri dan keluarga. Pengangguran di negara maju menjadi concern negara, terbukti dengan diberikannya tunjangan pengangguran supaya negara bisa membantu. Di negara kita pengangguran yang ingin mengentaskan dirinya sendiri dibebani biaya dana sampai 48 persen setahun. Hal ini merupakan ketidakadilan, lebih lagi kebutuhan modalnya hanya Rp 1 sampai 5 juta. Layak memperoleh biaya dana nol. Itu pun negara sudah seharusnya sangat berterima kasih karena rakyatnya bisa mengentaskan dirinya sendiri dan tidak memerlukan biaya tunjangan pengangguran. Masalah ini bisa teratasi apabila perbankan berubah menjadi barang publik seperti sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, di mana siswa memperoleh BOS.

Sekolah memang menjadi concern negara karena dianggap penting supaya rakyat memperoleh pengetahuan dasar tertentu untuk bisa menopang negara modern. Meski demikian, pekerjaan jauh lebih penting untuk menopang negara. Pekerjaan akan menopang kualitas hidup bersama, martabat rakyat, dan menopang pajak negara. Pekerjaan apabila tidak terjadi akan membuat kualitas kehidupan bersama merosot. Mereka akan menjadi beban keluarga dan negara.
Usaha membuat keadilan adalah inti dari keberadaan negara. Pajak, misalnya, diadakan untuk tujuan redistribusi dan keadilan. Di sisi pengeluaran negara juga selalu berorientasi keadilan, misalnya pengeluaran negara untuk kemiskinan, daerah tertinggal, dan masalah-masalah sekitar ini. Campur tangan negara untuk keadilan harga modal sungguh legitimated untuk diintervensi.

Jika negara kita memutuskan mengubah bank yang berperilaku swasta seperti yang terjadi sekarang menjadi bank berperilaku publik yang beroperasi seperti keberadaan sekolah, kemudian bagaimana bentuknya? Tentulah harus dipikirkan menjadi kenduri nasional bagaimana menciptakan regulasi yang mengubah peran perbankan menjadi barang publik seperti keberadaan sekolah. Bank adalah alat kelengkapan dan kebutuhan vital dengan tujuan utama menyediakan lapangan pekerjaan dan pekerjaan mandiri bagi rakyat.

Tentu saja pemerintah tidak perlu mengakuisisi saham-saham seluruh perbankan, tetapi diperlukan peran lebih aktif negara. Seperti dana BOS di sekolah, negara bisa menanggung biaya modal seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian, biaya dana yang dihadapi unit bisnis akan menurun.

Sistem ini tidak melepaskan negara dari globalisasi moneter. Bank-bank tetap terkoneksi internet seluruh dunia dan suku bunga tetap berfluktuasi mengikuti irama dunia. Tetapi, fluktuasi itu diredam negara dan rakyat dibiarkan memperoleh angsuran tetap yang rendah supaya bisnisnya bergairah, ada kepastian, dan yang paling penting menghilangkan pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar