Sabtu, 11 Juli 2015

Urgen Tidaknya Reshuffle Kabinet

Urgen Tidaknya Reshuffle Kabinet

   Laode Ida  ;  Wakil ketua DPD RI 2004–2014;
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ
                                                         JAWA POS, 10 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DESAKAN dilakukannya pergantian atau reposisi (reshuffle) anggota kabinet belakangan ini terasa menguat. Bahkan, saking bergairahnya sebagian kalangan, sangat terkesan seolah-olah mereka sudah memaksa Presiden Joko Widodo untuk segera melengserkan beberapa menteri yang dinilai tidak perform.

Pihak-pihak yang mendesakkan reshuffle tersebut, tampaknya, mendapat amunisi kuat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan setidaknya tiga lembaga survei (PolTracking, Indo Barometer, dan Alvara) yang mengevaluasi enam bulan kinerja pemerintahan Jokowi. Hasilnya kurang lebih sama. Yakni, menunjukkan tren kian menurunnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan putra Solo itu.

Kondisi perekonomian kita (pada 2015 ini) yang kurang menggembirakan, agaknya, memperkuat daya desak untuk setidaknya tim pembantu presiden di bidang ekonomi segera diganti.

Kerja dengan Gelisah

Respons terhadap desakan reshuffle itu semula hanya disambut Wapres Jusuf Kalla (JK), sedangkan Presiden Jokowi masih diam saja. Namun, belakangan isyaratnya mulai sedikit jelas. Selain sudah dipanggilnya sejumlah figur ekonom dan tokoh masyarakat ke istana, beberapa kali pejabat yang pernah menemui presiden seperti Ketua MPR Zulkifli Hasan mengungkapkan ke publik keinginan Jokowi terkait dengan perombakan kabinet itu. Ya, akhirnya semua bergantung pada presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi atau pemilik hak prerogatif, apakah mengganti menteri (merombak kabinetnya) atau tidak.

Tingginya keinginan banyak pihak untuk dilakukannya reshuffle sebenarnya lebih merupakan bagian dari konsekuensi begitu besarnya harapan masyarakat terhadap pasangan Jokowi-JK. Semua itu tentu tidak salah, namun juga bisa dikatakan tidak realistis. Mengapa?

Pertama, para anggota kabinet sudah pasti secara internal lebih dahulu harus melakukan berbagai penyesuaian (adjustment) dengan barisan birokrasi yang dipimpinnya. Kabinet sekarang ini baru kerja tujuh bulan lebih sedikit sehingga terlalu singkat untuk segera melihat produk-produk kerja maksimal sesuai harapan publik yang sebagian awam terhadap internal birokrasi.

Program-program kementerian juga harus di-review dan berusaha disesuaikan dengan visi-misi Presiden Jokowi yang terdapat dalam dokumen Nawacita. Saat mereka mulai bekerja itu, kelompok-kelompok masyarakat di luar terus saja ribut mengkritik tanpa tahu kondisi internal kementerian. Aneh, bukan? Sebagai manusia biasa, pastilah para menteri juga merasa waswas atau gelisah, bahkan tidak tenang bekerja. Mereka merasa terus dihantui berbagai kritik dan ancaman terkena reshuffle.

Pertanyaannya apakah kemudian figur-figur baru bisa langsung ’’tancap gas’’? Belum tentu. Bahkan, bukan mustahil akan lebih buruk. Apalagi kalau figur baru itu tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai di bidang tugas kementerian yang akan dipimpinnya.

Kedua, perlu dicatat juga, pada awal-awal pemerintahan Jokowi beserta kabinetnya, terjadi tensi politik yang tinggi. Di parlemen ada perkubuan, yakni KMP (Koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat), dengan skenario awal seluruh pimpinan DPR berikut alat kelengkapannya dikuasai KMP. Tepatnya ada ketegangan di parlemen yang turut berpengaruh terhadap kinerja para menteri sebagai mitra mereka.

Pada saat yang sama, muncul ketegangan antara KPK dan Polri dalam kasus penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kepemilikan rekening gendut dan masyarakat umumnya berpihak kepada KPK. Ketika ujung perseteruan itu ternyata KPK kalah oleh Polri, presiden pun dianggap lemah. Apalagi kemudian terjadi dualisme di Partai Golkar dan PPP di mana Menkum HAM Yasonna Laoly terkesan pasang badan membela salah satu kubu.

Tetapi, ternyata ketegangan di parlemen itu juga dijadikan momentum oleh sebagian figur politikus untuk barangkali ’’menawarkan diri’’ untuk masuk menjadi anggota kabinet melalui mekanisme reshuffle.

Sah Bersyarat

Kendati demikian, tentu reshuffle juga sah-sah saja dan itu merupakan hak prerogatif presiden. Hanya, hemat saya, hal itu dilakukan setelah secara cermat menggali akar permasalahan sehingga suatu kementerian tidak perform. Dalam proses-proses tersebut, figur menteri harus dilibatkan secara langsung sehingga bisa tahu sendiri akar penyebab tidak keberhasilannya. Jika bisa diperbaiki, presiden juga harus bijak memberikan kesempatan kepada para menteri yang bersangkutan untuk melakukannya. Jika ternyata tidak juga berubah, wajarlah dia segera diganti. Hal itu sekaligus akan menjadi acuan kerja pemerintahan yang baik.

Lebih dari itu, sistem rekrutmen juga harus diperhatikan. Sebab, tidak sedikit kritik yang mencurigai adanya figur-figur menteri yang direkrut tidak berdasar pertimbangan kapasitas dan integritas. Semua itu harus dijadikan pengalaman dan pelajaran bagi Presiden Jokowi, jangan sampai ketika melakukan reshuffle kembali menghadirkan figur-figur seperti itu.

Presiden juga harus memastikan adanya standar kinerja para menterinya sehingga evaluasinya pun jelas dan tidak subjektif. Sebab (mudah-mudahan saya keliru besar), sepengetahuan saya, belum pernah ada dokumen seperti itu. Karena itu, ketika pihak luar menilai ’’menteri tidak berkinerja’’, saya justru berpikir dua kemungkinan: (1) itu hanya orang awam yang tidak tahu duduk perkara, hanya dapat di ruang melalui pers untuk mengkritik, atau (2) ada pihak yang tidak puas terhadap Presiden Jokowi karena tidak kebagian jatah, baik di kabinet maupun di posisi strategis lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar